Status

1470 Kata
"Selamat Siang, Mas Bima!" Suara nyaring Malia membuat semua mata pengunjung cafe menoleh padanya. Bima tersenyum seraya membalas sapa. "Aku bawain Mas Bima makan siang." Malia mengulurkan sebuah paper bag berisi kotak makanan. "Buat saya aja, nih?" Bima melirik ke arah Langit yang tengah melayani pelanggan. Malia mengangguk. "Aku mau ajak Langit makan siang," sahutnya. "Oh! Makasih banyak. Mau minum?" "Ice tea!" Sahut Malia, lalu berjalan mencari kursi kosong. Tak dipedulikannya pandangan orang-orang yang menatapnya. Ia seperti senang mendapatkan perhatian itu. Langit melirik jam tangannya. Sudah pukul dua belas lewat sepuluh menit. Cafe sudah mulai sepi. Ia lalu melepas apron dan menghampiri Malia sambil membawa es teh pesanannya. Hari ini ia memang berjanji untuk menemaninya makan siang bersama. "Mau makan di mana?" Tanya Langit seraya mengikuti langkah Malia keluar dari dalam cafe. "Di kantin!" Jawaban Malia membuat Langit seketika menghentikan langkah. "Kamu bilangnya mau makan nasi Padang?" Protesnya. "Loh, kan, di kantin juga ada Makanan Padang?" Sahut Malia dengan wajah tak berdosa. Langit menarik nafasnya. Malia memang pintar sekali memanipulasi kata. Ia tahu di kantin ada penjual Makanan Padang, tapi ia mengira Malia akan mengajaknya makan di Restoran Padang di luar gedung, bukan di kantin. "Tapi, kenapa harus di kantin, Mal? Kamu tahu di sana ramai, kan?" Malia mengangguk. "Iyaa... terusnya kenapa?" Ucapnya sambil kembali menatap Langit dengan wajah 'tanpa dosa' nya. Langit menatapnya tak percaya. Ia tahu Malia hanya berpura-pura tak mengerti. Karena dia sebenarnya tahu jika saat ini hampir semua orang di Bagja Tower tengah berada di kantin untuk makan siang. Dan dia juga tahu, kalau mereka berdua tengah menjadi bahan gosip warga gedung ini. Dan sekarang dia malah sengaja ingin memamerkan hubungan mereka yang tak jelas ini? Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru juga dua hari mereka berbaikan dia sudah kembali berulah. "Kenapa?" Tanya Malia yang ternyata memperhatikannya sejak tadi. "Enggak!" Sahut Langit dengan malas. Percuma berdebat dengan seorang Drama Queen seperti Malia. Lagipula, bukankah sudah tugasnya untuk menemani Sang Putri ke mana pun dia ingin pergi? Apalagi ia sudah menerima p********n di muka. Pengganti uang sewa cafe yang digratiskan Pak Subagja. Mungkin buat mereka seratus juta itu adalah nilai yang kecil. Tapi baginya, itu adalah jumlah yang terlalu besar untuk imbalan menjadi seorang 'teman' Malia. Sampai-sampai ia merasa tak pantas untuk menolak apa pun permintaannya. Dan benar saja, sesampainya di kantin semua mata memandangi mereka. Langit bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Ia benci sekali menjadi pusat perhatian. Hampir tak ada yang tak mengenali mereka di sana. Dan bahkan sebagian dari mereka adalah pelanggan Cafe Dewa. Ia tahu mereka sudah membicarakannya sejak lama. Dan ia juga yakin mereka pasti sudah menganggapnya sebagai cowok matrialistis yang hanya ingin mendekati Malia demi uang. Meski memang itulah kenyataannya. Tapi Malia tampak menikmati semua perhatian itu. Ia membalas senyuman dan sapaan orang-orang dengan ramah. Dan ia terus menggandeng tangan Langit. Memesankan makanan untuknya dan menariknya ke meja kosong di tengah-tengah kerumunan. Ia seolah tak peduli dengan wajah Langit yang tampak kesal. "Gimana, cafe sekarang sudah mulai ramai lagi?" Tanya Malia tiba-tiba. Tumben banget tanyain cafe, batin Langit. "Lumayan!" Sahutnya masih dengan raut wajah yang kesal. "Sejak kamu mulai merayu mereka lagi?" Sindir Malia. "Mal, please! Jangan mulai keributan lagi. Kamu udah janji gak akan ganggu kerjaanku lagi, kan?" Malia terdiam. "Ok!" sahutnya dengan wajah cemberut. Kini Langit paham. Semua ini masih tentang kecemburuannya. Ia memang tak lagi melarangnya, tapi ia juga ingin semua orang tahu, bahwa ia adalah miliknya. Tak boleh ada seorang pun yang mengganggunya. "Habis ini mau ke mana?" Tanya Langit sambil mengaduk-aduk nasi rendangnya yang baru datang. "Nungguin kamu!" Sahut Malia dengan entengnya. Langit mengangkat kedua alisnya. "Di cafe?" Tanyanya. Malia mengangguk. "Mal, kamu kan, udah janji?" Langit menatap Malia dengan mata melotot. "Ok! Ok! Aku tunggu di kantor Papa. Tapi sesekali aku akan nengokin kamu," sungutnya. "Terserah!" Langit akhirnya mengalah. Ia malas untuk berdebat lagi. Malia memandangi wajah Langit yang tertunduk. Disembunyikannya senyumnya. Ia senang sekali melihat wajah Langit yang kesal. Dengan cepat Langit menghabiskan makanannya. Ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Tapi dilihatnya makanan di piring Malia yang hampir tak disentuhnya. "Kamu gak makan?" Tanyanya. "Aku masih kenyang! Tadi aku sarapan banyak di rumah," Sahut Malia sambil mengusap-usap perutnya. Ya, Tuhan! Langit hampir saja tak bisa menahan dirinya. Malia benar-benar telah membuatnya kehilangan kesabaran. "Kalau kamu udah kenyang, terus ngapain ngajak aku makan di sini?" Tanyanya dengan geram. "Karena kalau aku gak ajak makan, kamu pasti gak makan. Cuma makan roti? Iya, kan?" Sahutnya tanpa rasa bersalah. Langit menggeleng. Ia tak percaya alasan Malia. Benar saja dugaannya. Malia memang tidak berniat untuk makan siang di kantin. Itu bukan gayanya. Dia hanya ingin mempertontonkan hubungan mereka saja. Dia memang selalu memikirkan dirinya sendiri, dan tak perduli perasaannya. "Ok. Kita balik sekarang." Langit menarik tangan Malia, lalu mengantarkannya hingga benar-benar masuk ke dalam kantor Pak Subagja. Ia ingin memastikan Malia benar-benar menunggu di sana. Bima memandang Langit dengan bingung sesaat ia tiba di cafe. "Cepat banget makannya? Malia ke mana?" Tanyanya. "Di kantor Papanya," sahut Langit enggan. Ia malas bercerita. "Banyak yang nanyain, lu tuh, di chat" Langit membuka pesan-pesan yang masuk itu. Lalu mengeleng-gelengkan kepalanya. Drama Malia akhirnya sukses membuat mereka menjadi trending topic warga Bagja Tower. Semua menanyakan tentang status hubungannya dengan Malia. Langit menghembuskan nafas dengan kesal. Kenapa mereka usil sekali? Buat apa mereka ingin tahu? Gerutunya. "Makanya pasang status Malia's Boy friend, biar gak banyak yang tanya," ledek Bima, tak bisa menahan tawanya. "Girang lu, Mas liat penderitaan orang," sahut Langit kesal. "Sorry, Lang. Gue gak bermaksud ngetawain. Tapi, lu juga yang pamer status di kantin sama Malia, kan?" "Dia yang tiba-tiba ngajak ke kantin, Mas. Gue gak tahu! Sumpah!" Sahut Langit berapi-api. Kini Bima terdiam. "Cewek kalau udah begitu, dia benar-benar jatuh cinta, Lang. Dia gak akan ngelepasin lu." "Bisa mati stres gue kalau sampai jadian sama dia," sungut Langit. "Tapi dia kan, cantik, Lang. Masa depan juga cerah. Lu gak bakal hidup susah tujuh turunan sama dia, calon pemilik Bagja Company. Salah satu perusahaan kontraktor terbesar di negeri ini." Langit kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lu bener-bener mirip Mentari, Mas," tukas Langit kesal. Membuat Bima kembali tertawa. "Terus lu maunya gimana?" Tanya Bima akhirnya. "Gue bingung. Dia berubah-rubah terus sikapnya. Kadang bener, kadang manis, tapi banyakan ngeselinnya," sungut Langit lagi. "Mungkin itu bentuk ketidak puasan dia sama sikap lu, Lang. Mungkin dia bingung sama sikap lu yang gak berubah?" Langit memandang Bima. "Maksudnya?" "Dia bingung harus bersikap gimana supaya lu juga punya perasaan yang sama. Makanya dia cari-cari perhatian terus. Dia merasa belum aman pacaran sama lu." "Ya, emang bukan pacaran, Mas!" "Lang, stop! Lu mesti bertanggung jawab sama jalan yang udah lu pilih. Kalau lu terus menghindar, cuma bikin capek sendiri. Mendingan lu coba jalanin sambil berusaha buat nerima. Selama ini kan lu selalu berusaha menjauhi dia, tapi belum coba ngedeketin dia. Siapa tahu kalau lu berubah sikap, sikap dia juga jadi berubah?" "Gue takut..." sahut Langit dengan ragu. "Takut dia gak bisa menerima masa lalu lu?" Langit mengangguk. "Loh, kalau begitu malah kebetulan. Kalau dia jadi mundur setelah tahu itu, malah lebih gampang buat lu." "Mungkin dia bisa nerima masa lalu gue. Tapi gimana dengan orang tuanya? Gue gak yakin mereka mau menerima laki-laki dengan masa lalu kayak gue buat menjadi pendamping hidup anaknya. Mereka orang terpandang. Kaya raya, berpendidikan tinggi. Sedangkan gue... yatim piatu, hidup pas-pas-an, kuliah aja drop out, mantan anak genk jalanan lagi. Orang tua gue aja gak pernah bangga sama gue, apalagi orang lain?" Langit menarik nafasnya dalam-dalam. "Gue gak punya apa-apa yang bisa dibanggain. Gue gak pantas buat dia," lirihnya seraya menundukkan wajah. "Gimana kalau ternyata mereka enggak seperti yang lu pikirin? Gimana kalau mereka bisa menerima lu apa adanya? Menerima masa lalu dan keadaan lu yang sekarang?" Langit tak menjawab. Ia tak ingin berandai-andai. "Gak semua orang kaya itu seperti dalam cerita sinetron. Gak ada salahnya lu mencoba. Jangan pernah memandang rendah diri kita. Dulu lu gak pernah takut sama orang. Lu gak pernah merasa rendah. Lu memang udah ninggalin masa lalu itu, tapi jangan pernah ninggalin jati diri lu." Langit menatap Bima. "Ini bukan tentang gue, Mas. Ini tentang masa depan anak orang. Gak ada orang tua yang mau anak gadisnya punya pendamping hidup laki-laki yang gak jelas masa depannya. Karena gue juga pasti akan bersikap yang sama seandainya itu terjadi sama Mentari." "Tapi lu masih muda, Lang. Masa depan lu masih panjang. Kita memang enggak bisa memprediksi masa depan. Tapi gue percaya selama kita terus berjuang dan berusaha menjadi lebih baik, hidup kita pasti akan berubah. Dan masa depan kita akan menjadi lebih baik dari hari ini. Karena usaha enggak akan pernah mengkhianati hasil. Dan enggak ada kemenangan yang diperoleh tanpa perjuangan." Kini Langit memandang Bima sambil tersenyum. "Tumben omongan lu berat, Mas?" Ucapnya, membuat Bima tertawa. Dan Langit kembali termenung, mencoba meresapi kata-kata Bima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN