Langit menatap sebuah kotak makanan di atas meja dengan sebuah pesan yang tertulis di atasnya, "Dari Kak Malia!"
Dibukanya kotak makanan itu yang ternyata berisi dua buah Roti Sandwich berukuran besar. Langit tersenyum. Ia ingat perjanjiannya dengan Malia, ia tidak boleh lagi menolak pemberian apa pun darinya. Diliriknya jam di dinding. Mentari sudah berangkat sekolah sejak tadi. Disisihkannya satu buah Sandwich untuk adik tercintanya itu.
Sambil mengunyah rotinya, Langit termenung. Hubungannya dengan Malia saat ini sudah baik-baik saja. Karena mereka sudah sama-sama berjanji untuk saling menghargai satu sama lain. Malia bahkan sudah menuruti permintaannya untuk tidak mengganggu pekerjaannya di cafe. Tapi ia masih tak bisa memenuhi satu-satunya permintaan Malia untuk menjauhi Devia dan menolak semua pemberiannya. Bagaimana mungkin ia bisa menjauhinya jika saat ini saja Devia malah semakin sering datang ke rumah untuk mengantar makanan atau sekedar menemani Mentari.
Ah, kasihan dia. Sebenarnya ia tak tega melakukannya. Tapi ini adalah bagian dari pekerjaan yang harus ia jalani. Malia memang merepotkan sekali. Sebelum dia datang hidupnya tak serumit ini, gerutunya seraya buru-buru menghabiskan makanannya. Ia takut Devia muncul tiba-tiba membawakannya sarapan yang tidak akan bisa ditolaknya.
Langit tiba di cafe lebih awal. Dilihatnya Pak Riswan setengah berlari menyusulnya masuk ke dalam elevator. "Tumben lebih pagi, Mas?" Sapanya.
"Iya, nih. Kebetulan lagi rajin. Udah selesai tugas, Pak?"
Pak Riswan mengangguk. "Biasa tinggal menunggu pergantian jaga," jawab Pak Riswan sambil menyunggingkan senyumnya yang khas. Langit tak pernah melihat wajah Pak Riswan tanpa senyum. Sepertinya hidupnya tak pernah ada masalah.
"Mas Langit sekarang terima pesanan delivery ya, Mas?" Tanya Pak Riswan sesaat mereka tiba di cafe.
Langit mengangguk. "Cuma di dalam gedung ini aja, Pak. Itu juga kalau kebetulan cafe lagi gak ramai," sahutnya.
"Mas Langit banyak penggemarnya di sini," ujar Pak Riswan sambil menurunkan kursi-kursi dari atas meja.
"Ah, cuma pelanggan biasa, Pak," sahut Langit pura-pura.
"Loh, cewek-cewek itu datang ke cafe ini kan, cuma mau ketemu Mas Langit aja, toh, sebenernya?"
Langit hanya menjawab pertanyaan Pak Riswan dengan senyuman. Ia mulai sibuk menyiapkan meja konter dan menyalakan mesin kopi.
"Cafe ini kan, kebanyakan yang beli cewek-cewek muda. Ya, kalau kayak saya yang nungguin cafe gak laku Mas. Kurang ganteng!" Seloroh Pak Riswan sambil terkekeh.
Langit ikut tertawa. "Pak Riswan bisa aja. Cowok-cowok disini banyak yang lebih ganteng, Pak. Lebih rapi dan kelimis, dibandingin saya yang berantakan gini," sahut Langit seraya menuangkan kopi hitam ke dalam cangkirnya dan menuangkannya ke dalam gelas karton untuk Pak Riswan.
"Cewek-cewek sekarang tuh, memang aneh ya, Mas. Sukanya cowok-cowok kayak Mas Langit gini. Ganteng tapi berantakan. Mbak Malia aja sampai jatuh cinta sama Mas Langit."
Langit hampir saja menumpahkan kopi yang tengah diminumnya, membuat Pak Riswan sontak tergelak.
"Gak usah malu, Mas. Semua orang di gedung ini sudah tahu semua. Lha, wong Mbak Malia itu keliatan sekali sukanya sama Mas Langit," sahut Pak Riswan lagi sambil menyeruput kopinya.
Langit tak menjawab. Kini ia sibuk menyiapkan pesanan delivery kopi yang sudah masuk ke ponsel sejak semalam.
"Katanya sering datang ke rumah ya, Mas?" Tanya Pak Riswan lagi yang membuat Langit bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana Pak Riswan bisa tahu?
"Kadang-kadang kalau kebetulan ada perlu," sahut Langit akhirnya.
"Tapi Mbak Malia itu memang sukanya cowok kayak Mas Langit gini. Cowoknya yang dulu juga sama gayanya kayak Mas Langit. Ganteng tapi berantakan. Kalau orang-orang bilang itu 'Bad Boy'."
"Oh ya?" Kini Langit mulai tertarik. Ditunggunya Pak Riswan meneruskan ceritanya.
"Iya, Mas! Dulu sih, pernah beberapa kali ke sini. Wuih! Orangnya urakan, Mas. Pak Subagja gak suka. Padahal kelihatannya sih orang kaya juga. Mobilnya aja bagus. Saking gak sukanya, Mbak Malia sampai disuruh putus sama dia. Terus Mbak Malia dikirim ke luar negeri supaya enggak berhubungan lagi sama pacarnya itu." Kini wajah Pak Riswan terlihat serius.
"Ah, masak? Tahu dari mana Pak Riswan?" Tanya Langit penasaran.
"Ya, kata orang-orang, Mas. Supirnya kan, sering ngobrol kalau lagi nungguin dia."
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Supirnya? Pantas saja Pak Riswan tahu Malia sering datang ke rumahnya.
"Kalau Mas Bima itu penggemarnya banyak ibu-ibu ya, Mas?"
Pertanyaan Pak Riswan membuat Langit tak bisa menahan tawanya.
"Mas Bima juga ganteng. Tinggi besar seperti Bima dalam pewayangan. Tapi Mas Bima ini pendiam sekali ya, Mas. Kalau saya sapa, dia cuma mengangguk senyum-senyum saja." Pak Riswan kembali menyeruput kopinya yang hampir habis.
Langit tak lagi mendengarkan ocehan Pak Riswan. Pikirannya kini sibuk memikirkan ucapan-ucapan Pak Riswan tentang Malia. Malia tak pernah menceritakan masa lalunya, kecuali sedikit tentang adiknya. Apakah depresi yang dideritanya juga karena putus cinta?
"Mas Langit mau antar kopinya sekarang? Saya bantuin ya, Mas? Sekalian saya mau ke turun ke pos."
Pertanyaan Pak Riswan menyadarkan Langit. "Oh, boleh, Pak! Makasih banget, nih!" Ucapnya.
...
Pengunjung terakhir cafe baru saja keluar. Dan Mas Bima juga baru saja turun untuk makan siang. Dan kini Langit menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Ia akan beristirahat sejenak sambil menunggu makanan yang dipesannya datang.
Namun tiba-tiba pintu cafe terbuka. Tampak Pak Subagja masuk dengan raut wajah berbeda seperti yang terakhir ia lihat. "Apa kabar, Langit?" Sapa pria itu dengan hangat.
Langit menjawab sapa dengan terkejut. Dan ia mendadak gugup saat pria itu kemudian duduk di hadapannya. Ada apa lagi ini? Tanyanya dengan hati berdebar. "Mau saya buatkan kopi, Pak?" Tanyanya.
Pak Subagja menggeleng. "Terima kasih, saya sudah ngopi. Saya cuma sebentar saja di sini."
Kini Langit semakin gugup.
"Pertama-tama saya mau mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya karena kamu sudah mau berteman dengan Malia. Dan saya sangat bersyukur karena sekarang dia tidak perlu menjalani terapi lagi. Kata dokter dia sudah baik-baik saja." Pak Subagja memandang Langit dengan senyum gembira di wajahnya.
Dan Langit pun ikut tersenyum lega. Akhirnya saat yang dinantikannya tiba. Ia akan segera terbebas dari Malia. Ia tak perlu lagi memikirkan hubungannya yang semakin lama semakin rumit itu. Dan dia akan segera kembali pada kehidupan normalnya.
"Kamu tidak tahu perasaan saya saat ini. Melihatnya kembali bersemangat. Sekarang dia sering tersenyum. Tadi dia bangun pagi-pagi sekali, membuatkan sarapan untuk kamu," ucap Pak Subagja membuat Langit tersenyum malu.
Tapi Pak Subagja lalu terdiam. Ditatapnya Langit dalam-dalam. "Saya tahu ini berat buat kamu. Kamu pasti sering menghadapi sifatnya yang sering tidak terkontrol. Saya sangat menghargai kamu tidak meninggalkannya. Itulah alasan saya datang ke sini. Saya... ingin kembali meminta tolong, bantu saya sampai Malia benar-benar kuat. Dan mentalnya sudah benar-benar siap untuk kamu tinggalkan."
Sejenak Langit terpaku. Kegembiraan yang sempat dirasakannya tadi mendadak lenyap seketika. "Hmm... maksud Bapak?" Tanyanya dengan ragu.
"Tolong bantu saya untuk lebih lama lagi menemani Malia. Beberapa bulan saja. Sampai Malia bisa mandiri. Karena hanya dialah satu-satu harapan kami untuk menjadi penerus saya, memimpin Bagja Company." Pak Subagja memandang Langit dengan wajah memohon.
Langit menatap pria di hadapannya itu dengan bingung. Ternyata kontraknya memang belum berakhir. Berapa lama lagi dia harus menjalaninya? Kenapa kini pekerjaannya semakin berat? Ah! Pantas saja Pak Subagja memberikannya uang yang sangat besar. Jadi ini rencana selanjutnya? Mengapa dia mirip sekali dengan Malia? Selalu saja punya rencana yang disembunyikan, gerutunya.
Pak Subagja menarik nafas dalam-dalam. "Saya tahu saya tidak berhak memaksa kamu. Tapi kalau boleh saya memohon, tolong bantu saya sekali lagi. Dan, biarkan saya membantu kamu apa yang saya bisa. Anggap saja saya sebagai pengganti orang tuamu. Kita saling bantu, Nak." Pak Subagja menggenggam tangan Langit dengan erat. Dan kedua matanya menatap penuh harap.
Kini Langit memandang pria di hadapannya itu tanpa bisa berkata-kata. Ia merasa seperti sedang memandangi Ayahnya sendiri. Diingatnya saat Sang Ayah menggenggam tangannya, memintanya berjanji untuk selalu menjaga Sang Adik. Langit mengerjapkan kedua matanya, menahan air mata yang ingin tumpah keluar. Dan tanpa sadar ia lalu mengangguk.
"Terima kasih, Nak!" Pak Subagja menatap Langit dengan haru.
Dan Langit kembali mengangguk. Berhadapan dengan Pak Subagja selalu saja melemahkannya. Ia tak bisa menolak apa pun permintaannya. Meski ia tak tahu apakah akan sanggup menjalaninya kembali. Tapi ia harus menerimanya. Dan ia harus bertanggung dengan jalan yang sudah terlanjur ia pilih.