Alisa menggelengkan kepalanya kuat, bisikan Reyan seolah tersemat permanen di telinganya. Alisa bahkan seolah masih bisa merasakan embusan napas suaminya itu. “Gila, bener gila,” gumam Alisa. “Kenapa aku harus setuju dengan permainan gilanya ini,” tuturnya. “Apanya yang gila?” sahut sebuah suara dari arah belakang Alisa. “Pak—eh, maksudnya suamiku kenapa kamu ada di sini? Aku belum selesai masak, kamu tunggu aja di ruang tengah, nanti kalau aku sudah selesai masak, aku bakal kasih tahu kamu,” ujar Alisa, menatap Reyan yang berdiri di dekat meja makan. “Aku mau tunggu di sini aja,” kata Reyan seraya menarik salah satu kursi makan, lalu duduk di sana dengan tenang. Alisa menahan rasa kesalnya dengan mengurai senyum simpulnya ke arah Reyan. “Sabar Alisa, sabar, kamu harus sabar demi dap