Harry adalah pemuda yang baik. Dia pekerja keras, jujur dan selalu melindungi. Tak hanya itu, Harry juga cerdas dan peka terhadap orang-orang yang ingin mencelakai Ical. Oleh sebab itu, Reno ingin menyingkirkannya.
‘Untung aku udah buat laki-laki itu sibuk dengan orang suruhanku. Bodoh amat dia mau sibukin Harry dengan cara apa, yang penting Harry nggak ganggu rencanaku,’ batin Reno.
Sebelum dia menukar kunci kamar Ical yang asli dengan kunci kamar Puri, dia sengaja menguntit Harry saat check in. Dia pun pura-pura menabrak Harry dan saat itulah dia menukar kuncinya.
Setelah Harry memberikan kunci kamar ke Ical, anak buah Reno memberitahu Harry kalau rumahnya kebakaran. Dia ingin memberitahu Ical, tapi orang itu tak membiarkan Harry menelpon dengan alasan rumah sudah hampir terbakar habis. Harry pun menuruti permintaan orang itu dan segera meninggalkan hotel.
“Saya minta maaf atas nama assisten pribadi saya. Saya benar-benar tidak tahu kalau dia ternyata seperti itu,”kata Ical dengan sangat menyesal.
Ada rasa kecewa yang dalam saat mengetahui Harry tidak sebaik yang dia pikir. Tentu saja dia akan memberikan pelajaran yang setimpal untuk asissten pribadinya itu.
“Kenapa kamu minta maaf? Bukannya tadi kamu bilang nggak tahu apa-apa tentang semua yang dilakukan Harry?” tanya Reno bingung dengan permintaan maaf Ical padanya atas nama Harry.
“Saya memang tidak tahu apa-apa tentang apa yang dilakukan Harry, tapi sebagai atasannya, saya bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dia pada siapa pun ... selagi dia masih dalam masa kerja,” jawab Ical begitu bijak.
Sinta kaget mendengar ucapan Ical. Dia pikir Ical seorang laki-laki yang sombong dan tamak, tapi nyatanya dia orang yang baik dan bijaksana. Dia pun mulai ragu dengan penilaiannya pada Ical.
‘Apa Ayah benar kalau Ical itu nggak seburuk yang aku pikir?’ kata Sinta dalam hati.
Tanpa sengaja, Reno melirik Sinta. Dia menyadari kalau Sinta sudah mulai bimbang dengan semua ini. Tentu saja dia tidak akan membiarkan semuanya kacau.
“Nggak usah sok bijak, deh, kamu. Kami tahu kalau semua ini hanya sandiwara kamu aja kan? Kamu lakuin ini biar kami percaya kalau kamu orang baik, padahal ini strategi kamu biar bisa lolos dari hukuman. Kami nggak sebodoh itu!” serang Reno agar semua orang berpikir Ical memang tidak pantas diberi hati.
“Nggak, Pak. Saya tulus minta maaf atas nama Harry. Bahkan kalau bukan Harry yang melakukan ini, saya akan tetap minta maaf. Saya tahu tanggung jawab saya sebagai atasan yaitu melindungi dan memberikan sanksi pada bawahan saya. Saya—“ tolak Ical, karena dia memang tulus meminta maaf.
“Alah, nggak usah banyak omong kamu.” Reno mengibaskan tangan di depan wajah Ical, memotong ucapan Ical yang akan membuat semua orang berpikiran baik padanya. “Intinya kamu salah dan harus diberi pelajaran biar kamu kapok.”
Reno yang terus menyerang Ical agar namanya buruk, membuat Sinta kembali yakin kalau Ical memang orang jahat. Dia pun kembali benci dan ingin Ical pergi dari rumahnya tanpa membawa sepeserpun.
“Kamu pikir semuanya akan selesai hanya dengan minta maaf? Masa depan anakku hancur dan semua itu karena ulah kamu. Kami nggak akan maafin kamu. Sebagai hukuman yang paling adil adalah sanksi sosial. Beberkan saja masalah ini ke publik, biar semua orang tahu bagaimana sifap pewaris Perusahaan Tunggal Atmaja yang sebenarnya,” ancam Sinta dengan berang.
Ical langsung gentar begitu mendengar Sinta mengancamnya dengan sanksi sosial. Dia tidak takut hancur, tapi dia takut Kakek Surya yang hancur. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau terjadi apa-apa dengan Kakek Surya.
“Nggak-nggak. Tolong jangan beberkan masalah ini ke publik. Saya mohon,” iba Ical.
Hari ini Ical seperti pengemis yang meminta belas kasihan orang-orang. Malang sekali nasibnya. Dia yang biasanya menjadi tamu kehormatan, seketika itu berubah menjadi orang yang paling rendah dan tak punya kekuatan.
“Sanksi sosial nggak mau, di penjara juga nggak mau. Enak banget kamu!” Sinta kesal dengan permintaan Ical yang tidak mau semua.
“Tolong jangan dua hal itu, saya mohon.” Ical mengatupkan kedua tangan di depan d**a, memohon kebaikan mereka semua.
Reno tersenyum, meskipun Puri masih trauma dan enggan berkata lagi. Sinta pun melirik Reno dan memberikan isyarat kalau inilah saat yang tepat untuk mengatakan poin pentingnya.
“Kalau kamu nggak mau dua hal itu? Terus kamu bisa tanggung jawab dengan cara apa?” tegas Reno.
“Apapun. Apapun yang kalian mau, saya akan turuti. Asal jangan dua hal itu,” putus Ical. Dia yakin bisa melakukan semuanya asal tidak membahayakan Kakek Surya.
“Apapun? Kamu yakin apapun yang kami mau kamu bisa turuti?” Reno tidak yakin.
“Yakin. Sangat yakin. Kalian minta apa? Saya lakukan sekarang juga,” tantang Ical dengan yakin.
“Kalau kami mau pekerjaan gimana?” Reno tidak mau gegabah, dia akan memulainya dengan taktik.
“Pa! Apa yang Papa lakuin? Papa mau biarin dia bebas gitu aja tanpa di penjara atau diberi sanksi sosial?” protes Puri sangat kaget dengan permintaan ayahnya.
Sinta tidak menyangka Puri begitu berani protes pada ayahnya di depan Ical. Padahal sejak tadi dia masih menangis dalam pelukannya.
“Sabar, Sayang. Kita dengerin dulu omongan Papa. Papa pasti tahu apa yang dia katakan,” sahut ibunya agar Puri mau mengikuti rencana mereka.
“Tapi, Ma. Ini nggak adil. Dia udah bikin masa depan aku hancur, aku nggak rela dia bebas gitu aja,” seru Puri tidak terima.
“Sabar, ya. Kita dengerin aja dulu.” Sinta meminta Puri mendengar semua ucapan Reno dan Puri pun menurut.
“Tentu. Bapak mau kerja di bagian apa? Saya punya perusahaan dan teman yang bisa membantu Bapak kerja di mana pun Bapak mau,” jawab Ical dengan serius.
Belum sempat Reno membicarakan soal pekerjaan, tiba-tiba HP Ical berdering. Reno mencari sumber suara dan berhasil menemukanya.
Dia pun memberikan ponsel itu pada Ical. “Ini HP kamu?”
“Iya, terima kasih. Saya angkat telpon dulu boleh?” Ical pun menerima panggilan telpon setelah mendapat persetujuan dari Reno. “Iya, ada apa? Baiklah, saya akan ke sana sekarang juga.”
Panggilan telpon pun terputus. Ical segera menatap Reno dengan ragu. “Maaf, Pak. Saya ada urusan yang harus diselesaikan sekarang juga.”
“Enak aja kamu mau kabur. Kalau kamu mau pergi, kasihin KTP kamu. Biar kamu nggak bisa kabur jauh-jauh,” sembur Reno kesal.
“Jangan KTP, aku mohon. KTP itu sangat penting untuk saya. Gini aja. Saya akan kasih kartu nama saya biar kalian tahu di mana rumah dan kantor saya. Oh, satu lagi. Saya juga akan kasih Bapak kartu debit saya dan kalian bisa pakai sepuas kalian. Bagaimana?” Ical mencoba menawarkan hal yang sangat menggiurkan.
Ical pun segera mencari dompetnya dan mengambil kartu nama serta kartu debit dengan nominal yang fantastis. “Ini kartu nama dan kartu debit saya. Nomor pinnya 101112,” ujar Ical lagi sambil memberikan dua kartu pada Reno.
“Haikal Atmaja. Mana nomor HP kamu. Biar kamu nggak bisa kabur,” dengus Reno pura-pura tidak senang.
Ical pun memberikan nomor HP-nya pada Reno. “Nama saya Haikal atau bisa kalian panggil Ical.”
“Reno. Dia Sinta dan Puri.” Reno menunjuk Sinta dan Puri yang masih duduk di atas kasur. “Ingat, jangan coba-coba kabur!” Reno memperingatkan.
“Iya. Saya nggak akan kabur. Kalau begitu, saya pamit pergi dulu,” pamit Ical setelah sebelumnya mengambil baju dan masuk ke kamar mandi untuk memakai baju.
Ical pun pergi dan meninggalkan mereka bertiga di kamar hotel. Setelah Ical pergi, Reno mendekati Puri dan Sinta dengan hati puas.
“Kenapa Papa terima kartu debit itu dan biarin dia bebas gitu aja?” Puri tidak terima dengan keputusan ayahnya.
Keadaan pun memanas dengan protesnya Puri pada Reno.