Bab 7

1242 Kata
Seharusnya, kini aku sudah berada di Jakarta dan tidur di ranjang empuk milikku, bukan meringkuk di atas karpet tipis seperti ini. Atau paling tidak, aku kembali ke Hotel supaya tidurku terasa lebih nyaman di sana. Bukan di sini, di rumah sempit yang hanya memiliki satu kamar. Ya, seharusnya memang seperti itu. Namun, entah mengapa hati ini rasanya berat untuk meninggalkan Haifa dan Abyan. Aku ingin membantu Haifa menjaga putra kami di saat tengah sakit. Hal yang seharusnya aku lakukan dari bertahun-tahun lalu. Haifa menolak ketika aku mengajaknya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, bukan Gani namanya jika aku tidak bisa memaksa dia untuk ikut. Dengan status suami yang masih aku sandang, bisa kujadikan senjata untuk menekan wanita penurut seperti dia. Alhasil, Haifa bersedia ikut dengan catatan tidak ingin berlama-lama di Jakarta. Aku iya-kan saja, toh tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Aku sudah memutuskan untuk mempertemukan Haifa dan Abyan dengan orang tuaku. Mereka harus tahu bahwa aku sudah menemukan istriku sekaligus anak yang tidak pernah kuketahui kehadirannya. Soal Nesya, aku pun terpaksa harus memberitahunya supaya tidak ada rahasia di antara kami. Aku akan berkata jujur kepada Papa dan Mama kalau aku ingin bercerai dengan Haifa. Walaupun kini ada Abyan, aku tetap akan memberi peran Ayah seutuhnya meski statusku dan Haifa bukan lagi suami istri. "Mas, ini selimutnya." Haifa mengulurkan selimut yang cukup tebal dengan motif kartun bergambar beruang. Aku menerimanya karena memang udara malam ini terasa sangat dingin. "Abyan bagaimana? Masih ada selimut untuk dia?" "Masih ada satu lagi, Mas tidak usah khawatir. Maaf kalau tempatnya membuat Mas tidak nyaman." "Tak apa. Yang penting malam ini aku bisa menemani kamu menjaga Abyan," ucapku tulus. "Mas." Haifa mengambil tempat duduk agak jauh dari tempatku berbaring. "Ya?" Haifa terlihat gelisah. "Ada apa?" tanyaku penasaran. "Itu ... bagaimana kalau besok, aku dan Abyan tidak jadi ikut ke Jakarta. Aku belum siap untuk bertemu Papa dan Mama," lirihnya seraya meremas jemari di atas pangkuannnya. "Kenapa? Kamu takut? Jangan khawatir. Mereka sangat menyayangi kamu. Justru Papa dan Mama sudah sangat merindukanmu," terangku. Haifa menunduk. "Aku merasa bersalah kepada mereka karena sudah pergi tanpa pamit." "Sudahlah, mereka pasti memaafkanmu. Pokoknya besok kamu dan Abyan harus ikut aku ke Jakarta. Aku juga ingin membicarakan tentang rumah tangga kita kepada mereka. Mau berpisah atau tidak, mereka tetap harus tahu kan?" putusku lagi. "Mas betul. Tapi bagaimana dengan jualanku di sini? Abyan juga kan harus sekolah." "Untuk hal itu, nanti kita bicarakan lagi. Yang terpenting kamu dan Abyan ikut aku dulu ke Jakarta. Lagipula, kamu tidak perlu berjualan. Masih ada aku yang akan menafkahimu." "Tapi kita akan bercerai. Kewajiban itu akan gugur setelah status kita berubah," lirihnya. Aku tersentak. Haifa selalu berhasil menambah rasa bersalah ini kian menggunung. "Setidaknya status kita saat ini masih suami istri. Sudahlah, lebih baik kamu istirahat. Besok kita akan berangkat pagi-pagi." Haifa mengangguk pasrah. Wanita yang saat ini masih berstatus istriku itu beranjak menuju satu-satunya kamar di rumah ini. Meninggalkan aku dalam kebimbangan yang seharusnya tidak perlu aku rasakan. Bukankah keputusanku untuk bercerai sudah sangat yakin? Namun kenapa justru saat ini aku merasa takut jika harus kembali berjauhan dengan istri dan anakku? Hawa dingin yang menusuk membuatku mengeratkan selimut yang menutupi tubuh ini. Mencoba menutup mata dan melupakan sejenak keresahan yang melanda hati. Aku harus menyiapkan diri atas kemungkinan yang akan terjadi besok ketika aku mempertemukan orang tuaku dengan Haifa dan Abyan. Aku pun harus menyiapkan kata-kata yang tepat agar Papa dan Mama bisa memahami dan menerima keputusanku untuk bercerai dengan Haifa. ??? Kumandang Azan subuh terdengar dari mushola yang letaknya tidak jauh dari rumah Haifa. Suara gemericik air di kamar mandi menandakan Haifa telah bangun dan bersiap untuk melaksanan sholat. Wanita itu memang tidak pernah meninggalkan ibadah yang satu itu. Bahkan ketika kami masih tinggal dalam satu atap, kerap kali ia membangunkanku untuk melaksanakan sholat. Namun kini, entah sudah berapa lama aku meninggalkan kewajiban tersebut. "Mas sudah bangun?" Haifa muncul dari arah dapur dengan wajah yang terlihat segar. Kuakui, kecantikan wanita ini selalu terpancar meski dia tidak pernah menggunakan make up di wajahnya. "Iya, aku ingin ke kamar mandi." "Kamar mandinya di belakang. Aku sudah menyiapkan handuk untuk Mas di sana. Aku juga sudah menyiapkan sarung dan baju kalau saja Mas mau sholat berjamaah di Mushola." Aku mengangguk ragu. Sholat berjamaah? Haruskah aku melaksanakannya? "Abyan sudah bangun?" "Sudah. Dia juga sedang bersiap untuk sholat di Mushola." "Katakan padanya untuk menungguku!" seruku sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tidak ingin membuang kesempatan untuk melaksanakan ibadah bersama putraku. "Kamu punya sarung dan baju Koko?" tanyaku yang merasa penasaran karena Haifa menyimpan pakaian pria di rumahnya. Selain itu, pakaian ini nampak baru dan belum pernah dipakai. "Itu ... dulu aku sengaja membelinya untuk hadiah ulang tahun Mas. Tapi aku tidak sempat memberikannya karena aku takut Mas tidak akan mau menerima hadiah dariku," lirihnya yang berhasil menyentuh hati. Wanita ini, kenapa selalu saja bersikap baik setelah aku begitu sering menyakitinya? "Y-ya sudah. Sekarang aku pakai pakaian ini dan akan membawanya pulang." "Tapi--" "Ini hadiah untukku kan? Jadi aku berhak memakainya kapan pun aku mau," tukasku sebelum Haifa sempat berbicara. Abyan sudah menunggu di depan pintu ketika aku selesai berpakaian. Anak itu terlihat tampan dengan setelan sarung dan Koko yang ia kenakan. "Ayok kita berangkat. Nanti ketinggalan waktu sholat," ajakku seraya meraih lengan Abyan untuk kutuntun. "Semalam Om tidur di sini?" "Iya. Om tidak mungkin pulang karena sudah kemalaman." "Oh." Kami berjalan menuju Mushola dengan perlahan. Hampir setiap orang yang tidak sengaja berpapasan menatap keheranan ke arahku. Wajar saja, karena ini pertama kali mereka melihatku berada di daerah ini. "Om beneran gak malu jalan sama Abyan?" "Enggak lah, kenapa harus malu?" jawabku santai. "Kan Abyan buta," katanya yang selalu berhasil membuat hati ini serasa disayat sebilah pisau tak kasat mata. "Om gak malu jalan sama Abyan. Malah o*******g bisa mengenal anak sebaik Abyan." Perbincangan kami terhenti setelah sampai di depan Mushola. Aku menuntun Abyan masuk dan menyapa beberapa orang pria yang sudah berada di sana. Suasana sholat kali ini terasa lain. Aku begitu terharu karena bisa berdiri berdampingan dengan putraku. Abyan ... anak yang mempunyai kekurangan tetapi dengan sejuta kelebihan. Dia baik, rajin beribadah, dan tentunya menghormati orang yang lebih tua. Entah bagaimana reaksinya andai ia tahu kalau pria yang ia sebut Om ini adalah ayah yang terlalu sering menyakiti ibunya. Bisakah ia menerimaku? Atau jangan-jangan, justru menolak setelah tahu aku berniat menceraikan ibunya? Sampai di rumah, Haifa sudah menyiapkan sarapan tiga piring nasi uduk beserta teh hangat. Kami makan dengan lahap sambil sesekali mendengar celoteh Abyan yang menceritakan keseruannya di sekolah. Tak terasa, ada yang mengembun di sudut mata ini. Kehangatan keluarga yang sudah lama tidak pernah kutemukan, kini aku rasakan justru ketika keputusan bercerai sudah kami sepakati. Haifa dan Abyan, dua orang yang selama ini tidak pernah aku harapkan kehadirannya, justru kini menjadi orang yang sangat takut untuk aku tinggalkan. Haruskah aku mengubah keputusan ini? Bagaimana dengan Nesya yang bahkan sejak kemarin tidak pernah aku ingat ketika sedang bersama istri dan anakku? "Om." Suara Abyan membuyarkan lamunan ini. "Ya?" "Terima kasih, Om sudah mau membantu Bunda menjaga Abyan. Meski hanya sehari, tapi Abyan bisa merasakan bagaimana rasanya jika mempunyai seorang Ayah. Ternyata sangat menyenangkan, bisa ke Mushola dan makan bersama seperti ini," tuturnya yang membuatku seketika membeku di tempat. Kulirik Haifa yang tengah mengusap sudut mata dengan jilbab yang ia kenakan. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Mampukah aku mematahkan harapan seorang anak yang begitu merindukan sosok Ayah? * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN