17 - Bukan Kajian Tapi Pengajian

2085 Kata
Berputar sekali lagi lalu menatap cermin,”No! yang ini warnanya terlalu mencolok terus bahunya kerendahan. Takutnya pas kesana orang-orang pada bilangnya aku cuman caper? Iyakan?” telunjukku menunjuk diriku sendiri di cermin,tersenyum lebar memikirkan acara hari ini. Aku akan jalan-jalan ke kajian sore ini,tapi harus pake baju Panjang nanti malah malu-maluin kan engga cantic. Masa iya selebgram terus anak konglomerat ditemukan dalam keadaam engga cantic sama sekali? Oke,baju yang ada ditanganku terbuang ke ranjang Bersama baju-baju lainnya yang tertumpuk disana,banyak sekali. Nanti meminta bibi untuk membereskannya. “Jadi perempuan harus selalu cantic dan anggun,soalnya yang pertama orang liat pas ketemu ya penampilan sama muka. Jaman sekarang harus modal tampang dulu baru punya teman,eh! Aku kayak engga goodlooking aja padahalkan udah gitu sejak lahir,” menepuk dahiku keras,pikiranku makin absurd sore ini. Kebanyakan memikirkan pendapat orang lain padahal itu tidak penting. Memikirkan pendapat orang sekitar itu sama saja dengan mengumpulkan juri lomba dihadapan kita terus mereka semua engga sependapatan dan engga searah setujuan. Nanti ada yang bilangin aku sempurna dan ada juga mengatakan aku begini karena sudah kaya sejak lahir makanya enak di pandang. Mereka pikir semuanya modal kaya doang? Tidak kawan,uang bukan awal kesuksesan seseorang dalam sudut pandang seorang Callisa ini. Mengibaskan rambutku di hadapan cermin lalu mengagumi wajahku sendiri. Semua kecantikan Mami ada padaku karena cuman aku perempuan,sempurna. Menepuk-nepuk kedua pipiku dengan pelan,”Ayo Callisa,fokus cari baju. Hari ini kamu akan datang mendengarkan kajian bukan fashion show. Eh!” kakiku berhenti melangkah saat memikirkan satu hal,”Bukannya baju mereka kebanyakan hitam ya? Pas adeknya Pak Aydan bicara sama aku juga bajunya item. Apa memang di wajibin bajunya item ya?” percayalah kawan,membuat pertanyaan dalam keadaan sendirian sama saja dengan menambah setres,dan aku sedang melakukannya. Berlari kecil menuju computer,untuk sejauh ini aku cuman mengandalkan computer sebagai alat menemukan jawaban atas pertanyaanku walaupun kadang yang internet berikan tak sesuai,jawabannya atau yang muncul di layar malah melenceng jauh. Dahlah! Kalau mau cari alat yang sempurna,bikin saja sendiri. Haha,mungkin itu kali ya yang akan dikatakan pembuat internet? Tapi oh tapi,yang menciptakan internet siapa dong? “Allah aja deh,haha.” pikiranku memang sudah lama terkurung dalam kegilaan kesendirian. “Apa yang sedang kamu pikirkan sebenarnya Callisa?” frutasi boleh tidak ya? Kembali ke pertanyaan awalku tadi, apakah perempuan islam diwajibkan memakai baju warna hitam?,setelah mengetiknya aku menekan tombol enter. “Nah ini artikelnya Republika,benarkah warna baju Muslimah harus bernuansa hitam? Tapi ini kurang srek engga sih,agak jauh dari pertanyaanku?” bingung sendiri dengan semuanya. Tapi aku tetap membukanya,membacanya dengan saksama. “Oh bukan wajib ternyata tapi lebih ke di arahkan memakai baju yang nuansa gelap agar tidak mencolok dan tidak menjadi pusat perhatian di tengah keramaian. Kalau dingat-ingat memang bagus juga,hitam adem dan memberikan perlindungan.” Mengangguk beberapa kali seolah mengerti,keluar dari room artikel dan membiarkan computer menyala. Kembali kubuka lemari yang berisi pakaian panjangku,lengan bajunya masih bermodel dengan gaya beragam tetapi setidaknya kan Panjang dan tidak mencolok. Setelah sekitar lima menit,aku menemukan satu baju warna hitam tapi lengannya hanya seperempat saja,udahlah ini aja. “Udah jam lima dan kajiannya dimulai pas habis maghrib. Belum lagi pas dijalan kena macet,” menyimpan baju itu diatas sofa Panjang barulah bergegas mandi agar tak terlambat. Aku pengen kesana bukan karena mau ketemu adeknya Pak Aydan tersayang,tapi memang masih penasaran dengan suasana adem yang pernah aku rasakan saat pertama kali pergi kemarin. Berpakaian dan hanya memakai skincare biasa,barulah aku menarik tas kecil yang berisi mukena,itupun baru membelinya kemarin. Memperhatikan sekitar,”Pada kemana semua sih?” kesalku,biasanya ada Papi di teras dengan korannya atau Ratu yang sedang bermain di ruang tengah ditemani Kak Rasya yang memantau. Takut terlambat,aku bergegas menuju mobil tanpa memberitahukan siapapun. Membawa mobilku ke tempat kajian. Pas sampai di Kawasan masjid,adzan maghrib sudah berkumandang,makanya aku memakai mukenaku lebih dulu barulah turun. Saat turun dari mobil beberapa pasang mata malah menatapku,apa salah ya? Mukena yang kugunakan juga polos berwarna Army. Dalam artian benar-benar polos karena menurut artikel yang k****a kemarin itu lebih di rekomendasikan. Berani datang kesini maka aku juga harus percaya diri masuk kedalam. Langsung duduk bertepatan dengan sampainya adzan. “Tidak bawa sajadah Mba?” aku mendongak,sajadah? Duh,saking buru-burunya sampe lupa. “Kalau lupa bisa ambil di lemari sana,” ku ikuti arah telunjuknya,”Itu diperuntukkan untuk umum kok,bisa dipakai sama siapa saja. asal mengembalikannya nanti harus rapi soalnya akhir-akhir ini orang mengembalikan mukena yang abis dipakai asal memasukkan saja tidak menggantungnya atau melipatnya,” dengan kaku kepalaku mengangguk,aku baru tau ada lemari berisi mukena,sarung dan sajadah. Mana untuk umum pula. Tersenyum berterimakasih pada perempuan itu,aku berdiri menuju lemarinya. Mengambil satu sajadah lalu membentangkannya Bersama barisan yang lain. duduk dengan nyaman menunggu shalat di laksanakan. “Masih ada 3 menit lebih,mau shalat sunnah Mba?” pertanyaan datang lagi,karena tidak paham aku hanya tersenyum membuat si penanya ikut tersenyum dan shalat entah shalat apa. Apa itu yang dimaksud shalat sunnah ya? Banyak sekali yang tidak kamu tau,Callisa. Tak lama shalat dilaksanakan akan tetapi sehabis maghrib orang-orang malah pulang. “Tidak pulang,Mba?” “Hari ini tidak kajian ya?” tanyaku balik dengan suara berbisik pada perempuan yang mungkin seumuran Mami. “Pengajian maksudnya? Hari ini tidak pengajian soalnya Ustadzah sedang sakit dan tidak ada yang mengisi. Akan dilaksanakan kembali saat Ustadzah kembali sehat cuman belum tau kapan,kamu orang baru ya makanya tidak tau?” “Iya,Terimakasih informasinya.” Berdiri dengan kecewa,padahal hari ini aku sudah sangat semangat untuk mengikuti kajian itu. Eh orang tadi mengatakan pengajian bukan kajian. Tapi udahlah,sia-sia aku bergegas kemari tapi ternyata tidak diadakan. Kubuka mukenaku setelah masuk kedalam mobil,menyimpannya begitu saja di kursi samping. Untung tadi aku menyempatkan waktu melipat sajadahnya dan mengembalikannya pada tempatnya,dalam lemari mukena memang berantakan,benar apa yang orang itu katakan. Hari ini aku masih memakai mobil Kak Reika,sudah hampir dua minggu. Malas memakai mobilku,sudah agak bosan. Apa aku meminta Papi menukarnya saja dengan mobil baru ya? Mengidikkan bahu tak peduli barulah membawa mobilku menjauh,mengemudi Bersama kemacetan Jakarta yang tiada habisnya. Tapi baru beberapa menit jalan,aku menepikannya kembali saat mataku tak sengaja menatap seorang nenek-nenek yang memungut sesuatu di pinggir jalan ditambah gelap lagi. Membiarkan mobilku tetap menyala,aku turun dari mobil. “Malam,perlu bantuan?” sapaku hangat,aku tertegun saat mata kami bertemu. Matanya memperlhatkan kesedihan yang mendalam. “Boleh,Nak.” Dengan semangat,aku membantunya memungut jeruknya yang berceceran di jalanan. Sesekali aku akan bertanya dia akan kemana dan kenapa bisa begini,nenek ini menjawab katanya mau pulang habus jualan cuman tadi ada motor yang ugal-ugalan dan membuat nenek ini jatuh,jualannya berceceran di jalanan. Untung jalanan Kawasan ini sepi. Merasa kasihan,aku membeli semua jeruk yang tersisa membuat nenek itu menatapku haru dan memelukku dengan tangan lemahnya. Hatiku tersentuh,”Nek,bukannya di usia seperti ini anda harusnya tinggal dirumah dan menikmati masa tua anda?” tanyaku padanya. “Nenek mana bisa,Nak. Kalau nenek tidak jualan ya tidak bisa makan,ini saja jualannya sejak pagi sampe malam begini baru dapat sedikit. Kebanyakan pembeli suka menawar padahalkan nenek saja dapat keuntungannya sedikit sekali. Nenek pulang dulu Nak,dua cucu nenek menunggu di rumah untuk makan.” Bajunya lusuh,dengan kaki lemahnya nenek itu menjauh dariku. Aku menatap punggungnya sangat lama hingga tak sadar menangis. Terlalu lama tinggal di Paris,hidup berkecupan dan tak pernah memikirkan akan dapat uang dari mana atau adakah sesuap nasi hari ini? Aku hanya makan,kuliah,tidur,belanja dan kumpul-kumpul Bersama teman yang lain. Ternyata duniaku masih sangat jauh. Merasa semakin malam dan menghapus airmataku,”Cengeng banget kamu,Callisa.” Bisikku pada diri sendiri sebelum masuk kedalam mobil kembali. Meninggalkan Kawasan itu untuk pulang. Jam segini,biasanya semua kakakku kumpul di mension utama sengaja makan Bersama agar keluarga tetap terasa hidup. Ada pelajaran yang bisa aku temukan hari ini,tidak semua hal harus selalu dinikmati,kamu jangan pernah sekalipun memberikan pertanyaan seperti itu pada mereka yang sedang kesusahan. Karena itu sama saja menambah penderitaan mereka. Padahal usiaku Sudah 24 tahun,dalam dunia n****+ para perempuan akan sangat dewasa dan menemukan ujiannya. Tapi aku? Tidak sama sekali. Aku kuliah di universitas terkenal tanpa kesulitan sama sekali,belanja tanpa memikirkan harga,jalan kesana kemari tidak memikirkan bagaimana keluargaku di belakangku. Ternyata banyak yang kesulitan di belakangku dan aku hidup dengan nyaman. Princess Callisa,layaknya namaku. Aku hidup dengan gelimang,penuh kemanjaan berbanding terbalik dengan nenek tadi. Sudah berapa lama dia menderita? Akankah nantinya aku akan menemukan kesulitan seperti nenek itu? Callisa. Ternyata aku masih jauh dari kata pantas mengkritik orang-orang. *** ”Nek,bukannya di usia seperti ini anda harusnya tinggal dirumah dan menikmati masa tua anda?” Entah Callisa yang terlalu serius dengan nenek itu atau memang Aydan yang tidak terlihat. Sudah setengah jam Aydan tetap duduk di kursi pinggiran trotoar. Tadi ia menyaksikan bagaimana Callisa membantu nenek itu bahkan membeli jualannya. Pertanyaan Callisa juga masih tergiang,menikmati masa tua? Perempuan dimanja sejak lahir itu pasti kaget menemukan kondisi seperti tadi. Aydan menunduk menatap tasbih yang ada ditangannya juga pakaiannya yang masih mengenakan baju kokoh Panjang. “Astagfirullah…” ia terus beristigfar tanpa henti. Jadi dugaan Aydan beberapa hari lalu benar,pemilik mobil yang itu adalah Callisa. “Ya Allah,apa tujuan dengan kebetulan-kebetulan yang Diri-Mu berikan pada kami sebenarnya? Aku terlalu Lelah menghadapi setiap harapan yang bermunculan dalam hati. Akankah tujuannya memang seperti yang kami inginkan ataukah ini hanya bentuk Ujian-Mu atas ketulusan kami Pada-Mu?” suara Aydan benar-benar lirih malam ini,kebimbangannya makin tidak jelas. “Perasaan suka ini,aku tau aku sendirilah yang menghadirkannya dari waktu ke waktu. Harusnya membatasi diri dengannya malah terus menyambutnya malah memperingatinya seolah kami benar-benar akan sampai ke pelaminan. Ya Allah,setiap yang datang padaku adalah Rencana-Mu bukan? Lantas Rencana apa yang Diri-Mu maksud sebenarnya?” Aydan menunduk lagi,mengusap wajahnya frutasi. “Kuatlah Aydan,Allah adalah Zat yang akan memberikan kamu kehidupan yang Masyaallah. Kamu hanya cukup mempersiapkan dirimu untuk menyambut segala Ujian-Nya. Saat kamu percaya pada Allah,maka kamu jangan mempertanyakan Rencana-Nya dimana itu adalah Rahasia-Nya sendiri.” Untuk beberapa saat,Aydan menunduk melantunkan dzikir dan mengenyahkan nama Callisa dalam pikirannya. Menikmati betapa tenangnya mendekatkan diri pada Allah,hingga saat Adzan isya berkumandang Aydan kembali ke masjid untuk melaksanakan shalat. Tadi,saat Aydan akan pulang sehabis maghrib matanya tak sengaja menemukan mobil yang sempat ada di parkiran kampus tempatnya mengajar kemarin. Firasat Aydan mengatakan itu adalah Callisa akan tetapi ia ragu juga,takutnya salah orang. Makanya Aydan sengaja duduk di pinggiran troator,saat Aydan berniat membantu nenek itu ada mobil yang berhenti membuat Aydan mengurungkan niatnya. Matanya hanya memandang bagaimana Callisa berbincang hangat dengan nenek itu,membuat Kekaguman Aydan pada perempuan kaya itu makin besar. Dunia cinta memang sepantasnya dihindari sebelum menikah akan tetapi Aydan melupakannya,termakan jebakannya sendiri akhirnya merasakan kebimbangan yang sangat Panjang. Setelah shalat isya,Aydan pulang kerumah. Tidak langsung tidur,tapi membaca Qur’an lebih dulu. Membacanya dengan fasih dan tenang. Sehabis baca Qur’an,tanpa mengganti pakaian shalatnya. Aydan menuju dapur dan memasak mie,memang tidak bagus untuk kesehatan akan tetapi Aydan malas keluar atau memasak makanan sehat. Sepanjang makanpun Aydan masih mengingat bagaimana Callisa dengan senyumannya tertawa Bersama dengan nenek itu. “Astagfirullah Aydan,sadarlah.” Menutup matanya sejenak,Aydan beristigfar beberapa kali agar tak mengingat momen Callisa tadi. Akan tetapi sepuluh menit berlalu,suara Callisa malah makin menggema. Aydan menumpukan kepalanya di meja,mengabaikan mie-nya yang mungkin akan mengambang. “Kenapa kamu harus jatuh cinta,Aydan? rasakanlah sendiri harapan-harapan yang terus bermunculan di hatimu juga pikiranmu yang tidak terkontrol sama sekali. Memangnya ada apa dengan senyuman dan sikap iba Callisa itu? Semua perempuan pada umumnya juga memilikinya. Astagfirullah! Aydan! sadarlah,” dengan sepenuhnya sadar,Aydan membenturkan kepalanya dengan pelan ke meja,Lelah dengan hatinya. “Mungkin ini tujuan utama Allah melarang manusia berharap pada sesamanya karena akan sengsara sendiri,orang yang di harapkan happy-happy Saja dirumahnya sedang kita yang berharap? Bingung sendiri,frustasik sendiri dan setres sendiri.” Menghentikan kegilaannya yang makin tidak jelas juga tidak mencerminkan umurnya sama sekali,Aydan memakan mie-nya yang sudah tidak terlihat enak lagi. “Hatiku,lupakan Callisa sejenak agar bisa makan dengan nyaman. Berharap apalagi memikirkan seorang perempuan memerlukan tenaga juga asupan makanan,maka mari mencas diri sendiri.” Aydan menyemangati dirinya sendiri,kian pasrah dengan kegilaan perasaannya. Langsung mencuci mangkuk sehabis makan adalah kebiasaan Aydan sejak dulu,setelahnya menuju kamarnya. Mengganti baju shalatnya dengan kaos juga celana diatas mata kaki. Aydan tidak langsung tidur tetapi sibuk berkutat dengan kerjaan yang banyak. Ada banyak tugas mahasiswa yang perlu ia cek ditambah menyediakan meteri di pertemuan minggu depan dengan power point yang baru. Untuk malam ini,mungkin perjalanannya dalam menemukan jawaban masih Panjang. Tapi yang Aydan pahami disini adalah Callisa ada tujuannya hadir dalam takdirnya. Hanya saja Aydan belum tau pasti apa tujuan perempuan kaya itu ada,untuk menguji keimanannya ataukah untuk menjadi pasangan hidup Aydan. “Teruslah bersandar pada Allah,Aydan.” gumamnya di sela-sela analisisnya,tangannya dengan sigap memberikan nilai pada lembaran kertas dengan berbagai angka. Callisa,seorang Callisa tujuannya masih misteri untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN