Kabar Rafan menjadi RT tersebar begitu cepat. Semua keluarga besar langsung berdatangan ke kediaman ummi Hanifah untuk memastikan kebenaran akan kabar tersebut.
Di ruang tamu, semua mata tertuju pada Rafan tanpa berkedip, terus saja memindai sampai akhirnya yang paling suhu di antara mereka membuka suara.
“Kenapa warga bisa pilih kamu jadi RT? Apa tak ada manusia lain?” Karakter Opa sebelah dua belas dengan Sabila dan sepuluh dengan Rafan. Artinya, 10, 11, 12, kalau sudah berbicara penyaringan kata langsung bolong.
“Karena ganteng.” Rafan menjawab ngasal dengan cepat, tersenyum, menyugarkan rambut. Kesombongan memang selalu mendominasi ketika sedang berhadapan dengan Opa-nya.
“Tapi menurutku sih B aja,” sahut Yasmin, kakaknya Rafan. Lahir di tahun yang sama, hanya perbedaan Yasmin di tanggal 1 januari dan Rafan di 31 desember membuat keduanya seperti kembar dan selalu tak pernah akur, kecuali butuh uang.
“Menurut Oma, Rafan paling ganteng dibanding sama kamu.”
Rafan tertawa mengangguk mantap.
“Oma salah memilih perbandingan. Harusnya Abi sama Rafan.” Haekal berkomentar, membela sang istri.
“Abi gak ada bandingan. Tetap paling ganteng, santun, gak ada obat pokoknya,” sahut Sabila memuji suaminya.
Iya kalau sudah seperti ini masing-masing memuji pasangan sendiri, hanya para emak-emak Kampung Cibobrok yang memuji Rafan dengan penuh keikhlasan.
“Sekarang coba katakan dengan serius, apa alasan warga memilihmu menjadi RT, Nak?” tanya Zayyan pada anaknya, tentu dengan mode serius.
Rafan pun menceritakan awal mula dirinya diangkat menjadi RT karena berhasil membongkar kasur perzinahan yang dilakukan pak RT sebelumnya. Dianggap cerdik dan vibes bossy, menjadikan warga semangat bila Rafan menjadi RT.
“Ya Allah, mata cucu Oma ternodai.” Oma pindah duduk di samping Rafan, kemudian memeluk cucu kesayangannya itu. Dari semua penjelasan Rafan hanya bagian esek-esek yang ditangkap oleh wanita tua itu.
“Harus segera dikawini biar gak cari cimplong bajing,” sahut Opa asal.
“Astagfirullah, Opa.” Yasmin paling cepat paham langsung menatap Opa-nya.
“Tidak perlu ditanggapi, Opa kalian sedang menceritakan pengalaman masa mudanya,” celetuk Oma menyeringai membuat semua orang tertawa kecuali Opa yang memang jarang ketawa. Katanya sih ketawa itu mahal.
“Kita sudah kelamaan di rumah. Sebaiknya kita segera ke balai desa.” Zayyan menegakkan tubuhnya yang diikuti oleh semua anggota keluarga.
“Ayang, ini!” Sabila menyerahkan putri bungsunya pada sang suami, sedangkan kedua tangannya merangkul lengan putra kesayangannya itu.
Suami idaman, tak ada bantahan. Nada yang kini berumur 2 tahun pun anteng dalam pangkuan sang ayah.
Di balai desa, Rafan sedikit syok dengan sambutan para warga layaknya seperti wali kota sedang menduduki tahtanya untuk 5 tahun yang akan datang. Padahal Rafan hanya anak kemarin sore yang mendadak diangkat jadi RT karena taktik dan ketampanannya.
“Baru kali ini nemu Pak RT ganteng bersertifikat. Jadi pengen tukar tambah,” celetuk Bu RW mesem-mesem. Sedari tadi sudah memantau Rafan dari kejauhan.
“Mata dikondisikan! Atau malam nanti tidur sendirian?” bisik Pak RW menyenggol lengan sang istri yang langsung ngedumel.
Berhubung Rafan belum memiliki istri, maka ibunyalah yang menjadi pendamping. Duduk di sampingnya mendengarkan pembukaan penyambutan RT baru oleh Lurah.
Kini tibalah saatnya untuk Rafan menyampaikan kata sambutan selaku RT baru kepada warganya. Sedikit gugup, tapi dia mencoba untuk tampil apa adanya. Untuk kata pembukaan sudah dihafal dengan baik, namun untuk seterusnya dia sampaikan sesuai dengan pikirannya sendiri.
“… saya ucapkan terima kasih kepada warga RT.01 atas kepercayaan yang diberikan kepada saya, mudah-mudahan saya bisa mengemban amanah ini dengan sebaik-baiknya. Jujur, ini pertama kali saya menjadi RT, sebagai orang baru dan yang paling muda, kesalahan selalu saja terjadi, oleh karena itu saya harap kepada warga RT.01 untuk selalu dapat membantu saya dalam melaksanakan tugas sebagai ketua RT. Karena sendiri itu tak enak, makanya kalau ada gadis cantik boleh daftarkan diri kalian untuk jadi istri saya. Nanti di acc oleh ibu saya,” kelakar Rafan membuat semua orang tertawa.
“Tidak ada yang saya janjikan karena saya takut ingkar janji. Sejujurnya PHP itu gak enak saudara-saudara. Oleh karena itu, mari kita berbenah, melestarikan kampung kita menjadi kampung paling bersih, ramah dan pastinya maju. Ingat warga RT.01, kita buktikan kita lebih baik dari warga RT lain, MERDEKA,” seru Rafan mengangkat tangan yang dikepal, sontak membuat Opa menggeleng kepala.
“Zayyan, baca doa apa saat kamu bikin dia? Kenapa jadi seperti ini?”
Zayyan sendiri menggeleng kepala. “Sama saja, Pa doanya. Mungkin gen-nya Sabila lebih dominan, termasuk Papa.”
Wajah Opa langsung tegang menoleh pada mantunya itu. “Papa ini kalem. Hanya kadang khilaf saja.”
Rafan turun dari atas panggung menghampiri Lurah dan pejabat kampung lainnya. Bersalaman, baru kemudian menemui sang ibu.
“Gimana pidatoku tadi?”
“Untung kamu anak Mommy.” Sabila membuang napas kasar.
Usai dari balai desa, kini Rafan bersama dengan keluarga dan warga pergi ke kantor sekretariat RT.01. Di sana pun sudah ada yang menunggu, bahkan Rafan sampai dikalungkan bunga.
“Pak, saya boleh daftar jadi istri Bapak tidak?” Seorang gadis menawarkan diri sontak membuat semua orang tercengang.
“Oh, boleh. Langsung temui ibu saya!” Rafan menunjuk ke arah Sabila yang berdiri di samping Opa, langsung dipelototi.
“Sepertinya kamu harus coba lagi.”
“Saudara-saudara, untuk saat ini biro jodoh ditutup dulu ya!” Rafan memberi seruan. Memang salah dia saat memberi sambutan ketua RT baru, eh malah jadi iklan jodoh.
Sabila dan keluarganya yang lain pamit pulang karena sudah lapar, sementara Rafan masih di kantor barunya, menyapa warga yang sedari tadi tak habis-habis berdatangan.
Dan kini, Rafan barulah bisa bernapas lega, duduk mengademkan diri di kursi kantor sekretariat RT. Tapi hanya sebentar.
“Pak, ada yang datang.”
“Siapa lagi aing.” Rafan keluar dari ruangannya, sontak terkejut melihat perempuan yang selalu membawa mimpi buruk baginya.
“Ngapain lu nyusul gua sampai ke sini?”
Kalifa Kalena, itulah nama perempuan pemilik buaya imut berbulu mirip kucing. Ah, tidak, sebenarnya kucing, hanya saja Luna memberi namanya buaya.
“Astaga, elo lagi, elo lagi.” Luna berdengkus kasar. “Jadi lo RT di sini?” tanyanya sinis.
“Hmm.” Rafan pun tak kalah, dia memasang wajah dingin bin cuek.
“Gue mau kasih ini!” Terpaksa Luna menyerahkan amplop cokelat kepada Rafan yang diambil lalu dibuka.
“Kampung ini gak terima manusia kek elu.” Rafan memasukkan kembali SKP (Surat Keterangan Pindah) ke dalam amplop, kemudian menyerahkan kembali pada Luna.
“Anjir, kayak kampung ini punya nenek moyang lo aja. Gue gak mau tau, pokoknya lo harus terima ini,” tegas Luna menyodorkan amplop cokelat itu pada Rafan tapi malah ditolak lagi.
“Emang. Gua sekarang RT. Lu mau apa?” Dengan songongnya Rafan menatap Luna.
“Dih, bacot. Cepat terima!” Luna kembali memaksa.
“Gak. Lu gak diterima di kampung ini!”
“Alasannya apa? Secara gue manusia paling cantik di mata gue, daya halu tinggi karena gue seorang penulis.” Luna menepis rambutnya, berdiri mencondongkan dadanya.
“Lu dengar baik-baik alasan lu gak diterima di kampung ini. Pertama lu itu buta huruf, udah jelas nama lu Luna tapi malah jadi Lena. Kedua, lu buta wajah, udah tau kucing malah dipanggil buaya. Jadi, kampung ini gak terima manusia aneh kayak lu. Sana pergi!”
“Gak, gue gak mau. Kalau lo gak mau terima gue, gue viralin lo, ketua RT songong.”
“Bodo amat.”
“Gue tidur di sini.”
“Pak Rudi, tolong ambilkan kain sarung! Ada yang mau ngeronda malam ini,” titah Rafan pada Pak Rudi, sekretarisnya.
“Dasar, laki geblek. Pokoknya gue gak mau tau, lo harus terima gue dari kampung ini!”