“Anj** tuh RT baru, songong na’udzubillah. Minta di sleding. Pengen gue remas ginjalnya.” Setiba di rumah Luna menggerutu dan menggigit amplop cokelat yang ada di tangannya. Mendadak dia panas oleh proses pembakaran emosi.
“Kenapa, Lun?” tanya Fira, temannya Luna.
“Lo tau siapa yang jadi RT sekarang? Dia itu manusia setengah jadi. Sok ganteng. Tapi emang ganteng sih … Ah, pokoknya dia itu ngeselin. Masa SKP gue ditolak?” Luna terus mengoceh sampai membuat Fira ngap mendengarnya.
“Emang siapa?” tanya Fira. Maklum saja, mereka baru kembali dari Jakarta pagi tadi, tak mendengar gosip apapun. Hanya sepintas angin berlalu orang-orang menyebut RT baru berasal dari kota yang ganteng bersertifikat karena cerdas dan seorang magister ekonomi bisnis.
“Siapa lagi kalau bukan si Fanfan itu.” Luna memutar bola mata kesal. Merebahkan b****g di kursi lalu mencomot bakwan yang ada di atas meja. Entah siapa yang membuatnya. Intinya ketika sedang marah, cacing dalam perut pun ikut marah.
“Ooo … jodoh lo itu?” Fira mengangguk-anggukkan kepala.
“Anj**, siapa yang jodoh?” Luna memelototi temannya itu.
“Lah, kata sang pujangga apa? Cinta dan benci setipis kulit bawang. Makin benci makin cinta. Ah, jalinan jodoh, pedulilindungi,” ujar Fira ngelantur, langsung mulutnya disumpal dengan bakwan.
“Jodoh, jodoh, jodoh. Jodoh pala lo. Andai dunia ini gak ada laki-laki lain selain manusia tengil itu, lebih baik gue ngejomblo seumur hidup. Amit-amit punya suami mulut comberan kayak dia. Auto penuaan dini gue mah,” cerocos Luna meledak-ledak. Sejak awal pertemuan sampai sekarang keduanya masih saja belum mengibarkan bendera perdamaian.
“Ingat bestie, malaikat tadi lewat udah catat doa lo. Gue sih daripada hidup perawan tua, mending sama Fanfan ya,” ujar Fira dengan santai menikmati bakwan.
“Dih, ogah.” Luna kembali menggigit bakwan. Rasa kesalnya masih belum ternetralisir. “Gimana caranya SKP gue diterima ya?”
*
Hari ini Luna mandi pagi. Biasanya dia akan mandi kalau matahari sudah tegak, tapi demi mengunjungi kediaman ketua RT baru, Luna rela mengingkari janjinya untuk mandi siang hari dan tampil sefeminim mungkin, meskipun dia sendiri tak dapat memakai sepatu hak tinggi.
Luna mengitar kampung dari matahari masih merem sampai kini langitnya benar-benar sudah terang hanya untuk mencari rumah ketua RT baru. Bodohnya dia baru tahu dari Kang Udin kalau rumah Pak RT baru berada di depan rumahnya. Artinya mereka tetangga. Ah, sial sekali hidup Luna.
Sebagai pendatang baru, tidak, sebenarnya Luna hanya pulang kampung saja. Rumah yang ditempatinya saat ini milik kakeknya. Dia lahir di Jakarta, dibesarkan di sana dan disekolahkan di sana juga. Hanya sampai SMA karena begitu kelulusan dia langsung angkat kaki, membawa KK dan mengurus kepindahannya ke kampung halaman sang kakek karena dia menolak kuliah. Otaknya bisa dikatakan setengah sendok nyam-nyam, malas untuk memikirkan hitung menghitung, isi soal, hafalan pancasila. Ah, kenapa sistem pendidikan di negara ini harus seperti itu? Dari kecil sampai kuliah selalu saja ada pelajaran matematika dan sejarah. Kapan majunya hidup Luna yang malas mikir?
“Ngapain lu di rumah gua?”
Luna yang tadi mengintip mendadak terperanjat, hampir saja terjungkal. Raut wajah masam dengan cepat berubah semringah, menegakkan tubuhnya lalu mendekat.
“Eh, ada Pak RT yang baik hati, rajin menabung dan gak sombong. Tolong terima SKP saya ya!” Sebenarnya Luna sudah mual memuji pria di depannya itu. Tapi dia harus menjadi tim penjilat agar urusannya segera terselesaikan.
“Gak. Pulang lu!” Rafan tetap teguh pendiriannya. Enggan menerima SKP yang ada di tangan Luna. Dia menolak untuk hidup suram dengan warga seperti Luna, apalagi perempuan itu ke mana-mana selalu membawa kucing piaraannya.
“Aduh, Pak, jangan gitu dong! Kasihani manusia yang lemah tak berdaya ini. Saya butuh tempat tinggal, Pak. Hanya di sini saya bisa merintis karier.” Luna muali mendrama, pura-pura menangis. Air mata tak keluar, diambil air liurnya dan dioleskan ke sudut mata.
“Gak. Lu gak memenuhi syarat jadi warga gua.” Lagi Rafan memberi penegasan. Dia sudah dapat membayangkan betapa berisiknya Luna. Suara cempreng itu selalu mengganggu telinga Rafan.
Luna menarik napas dalam-dalam, tetap tenang dan tersenyum meskipun ingin memaki Pak RT baru itu. “Tolong terima ya! Gue janji gak akan ganggu lo.” Luna mengatup tangan di depan wajahnya, memain mata.
“GAK!”
Luna mengepal tangannya. Sudah cukup ia bersabar, segera menjambak rambut Rafan. “Terima gak?”
“Oi manusia aneh.” Rafan mendorong Luna, kemudian merapikan rambutnya. “Mending lu pindah planet sana daripada tinggal di kampung ini!”
Luna menggerutu sebal. Napas naik turun lalu menoleh pada perempuan paruh baya yang baru saja keluar, segera dia berlari dan memeluknya.
“Tante, tolongin aku! Fanfan jahat banget. Aku ingin pindah ke sini, tapi SKP aku gak diterima. Tolong kasih tau dia untuk terima SKP aku, Tan. Aku gak tau mau ke mana lagi kalau gak diterima. Kasihani aku, makhluk lemah tak berdaya ini.” Luna terus mengadu, panjang lebar, berakting paling tersakiti, bahkan berkali-kali menggunakan air liur sebagai pengganti air mata.
Lantas Rafan malah cekikan, menoleh pada motor yang baru saja berhenti, dia langsung mendekat dan menyambut kepulangan orangtuanya.
“Mom.”
“Hah, Mom?” Luna tersentak, melepas pelukannya kemudian menoleh pada wanita yang dipanggil Mom itu.
“Ini siapa? Pacar kamu?” goda Sabila pada putranya yang langsung menggeleng kepala.
“Ini manusia dari planet lain. Gak usah ditanggepin. Kita masuk yuk!”
“Eh, tunggu!” Luna menghadang, menatap wanita yang baru saja dipelukanya kemudian menatap Sabila.
“Jadi Mama lo yang mana?”
“Saya ART di sini, Neng.”
“Eh.” Luna terkejut. Menggaruk tengkuknya dengan mulut cengengesan menatap Sabila yang tersenyum padanya. “Kok Mama lo muda banget sih, Fanfan? Jangan bilang lo anak pungut?”
Sabila tertawa menggeleng kepala dengan tingkah konyol gadis muda di depannya itu. Berasa sedang bercermin, Luna mirip sekali dengan masa mudanya.
“Yuk masuk dulu!” Sabila merangkul Luna, menuntun masuk.
“Mom, dia manusia aneh. Jangan dikasih masuk!”
“Jangan terlalu benci! Nanti malah suka.” Zayyan menepuk pundak sang anak kemudian beranjak masuk.
Lantas Rafan mengerik ngeri. Bulu kuduk langsung berdiri tegak. Dia pun menyusul orangtuanya. Takut terkena virus alay dari Luna.
“Kamu temannya Rafan bukan?” tanya Sabila.
“Bukan, Tante. Aku musuhnya. Datang ke sini karena SKP aku ditolak kemarin.” Luna langsung berterus terang, tak merasa jaim sedikitpun. Padahal baru pertama kali ngomong.
“SKP?”
“Surat keterangan pindah. Aku mau domisili di sini, Tan.”
“Loh, kenapa pindah ke sini? Apa tempat tinggalmu dulu gak nyaman?” tanya Sabila. Setelah melihat lebih lama wajah Luna, dia baru teringat bahwa dua tahun yang lalu pernah ketemu di café dan saat itu Rafan sedang adu mulut dengannya.
“Iya, Tan. Jadi tuh, tempat aku tinggal dulu dihuni sama kucing item, buluk, ekor pendek.”
“Apa hubungannya?” sela Rafan. Dia sudah menduga alasan Luna memang tak masuk akal.
“Jelas ada hubungannya. Setiap aku keluar, buaya aku diculik terus diperkosa sama tu kucing. Aku gak mau merusak garis keturunan buaya, Tan. Makanya pindah ke sini,” papar Luna begitu meyakinkan.
“Buaya sama kucing?” Sabila mengerut alis, bingung. Sementara Zayyan hanya diam, memperhatikan Luna dan istrinya satu frekuensi.
“Iya, Tante.”
“Bukannya jadi santapan ya?” tanya Sabila masih bingung dan sedikit ngeri jika benar adanya gadis lesung pipi itu memelihara buaya.
“Alah, Mom. Itu bukan buaya sungguhan. Tapi kucing yang dikasih nama buaya.” Rafan menjelaskan membuat ibunya tercengang lalu tertawa.
“Ada-ada saja anak muda jaman sekarang … terus gimana?” Sabila menoleh pada anaknya.
“Ya jelas wajib ditolaklah,” sahut Rafan. “Manusia aneh modelan begini gak pantas jadi penduduk kampung ini. Bisa tercemar lingkungan sini. Kasihan anak-anak yang masih kecil gak bisa membedakan mana yang kucing dan mana yang buaya.”
“Eh, Rafan, gak boleh begitu. Terima saja SKP-nya.”
“Jangan, Mom. Beban negara, biar dia pindah ke planet lain.”
“Atak.” Sejenak fokus mereka teralih pada gadis kecil yang berlari menghampiri Luna.
“Nada, stop! Jangan dekat-dekat dengan manusia aneh kayak dia! Kamu bakalan kena virus, eror nanti.” Rafan mewanti-wanti tapi sayang Nada sudah mengulurkan tangannya ke pada Luna.
“Atak.”
“Uhh, gemes banget. Anak siapa ini?” Luna menjerit gemas langsung menggendong Nada, menghujani pipinya dengan ciuman.
“Astagfirullah, adek gua terkena virus alay. Fix, harus di vaksin.” Rafan mengusap gusar wajahnya.
“Rafan, ayo terima,” ujar Sabila.
“Mom, jangan mudah disogok!”
Luna tersenyum miring, targetnya mulai teralih pada balita mungil di dalam pangkuannya. “Namamu Nada ya?” Nada mengangguk. “Tolong bujuk dia! Untuk terima aku di sini.” Luna menunjuk Rafan. “Nanti aku beliin es krim deh, coklat, permen, mie, cilok.”
“Oi, lu mau bikin adek gua syahid?”
“Sudah, sudah, stop!” seru Sabila, mereka pun diam. “Daripada kalian terus bertengkar seperti ini, kenapa tidak bikin KK bareng saja?”
“Maksudnya?” Kompak menatap Sabila.
“Nikah.” Sabila menoleh pada suaminya. “Menurutmu gimana, Ayang?”
“Aku sih yes,” sahut Zayyan tersenyum cool.
“Apa?”