Pagi ini Rei dan teman-temannya datang menemui Andrew untuk membujuknya memberitahu jalan keluar dari dunia game ini. Mereka harus menjadi penjilat agar bisa keluar dengan selamat dari tempat tersebut.
“I-itu ada zombie! Dia lari ke arah kita!” teriak Kiki dengan panik membuat ketika temannya melihat ke arah yang dikatakan oleh Kiki. Mereka semua panik karena tak memiliki s*****a satu pun selain tangan dan kaki mereka untuk melawan.
Dor!
Dor!
Tembakan begitu nyaring terdengar ditelinga mereka yang sedang panik, dari kejauhan terlihat Sean yang menembaki satu persatu zombie yang lari ke arah Rei dan ketiga temannya itu.
Rei dan ketiga temannya tampak lega karena Sean datang tepat waktu, kalau tidak mungkin saja mereka berempat sudah menjadi korban dari zombie-zombie tersebut. Sean menghela napasnya kemudian menghampiri mereka dan melempar sebuah s*****a ke arah Rei.
“Di sini banyak zombie, berhati-hatilah atau kalian akan menjadi sebuah mayat tanpa diketahui oleh keluarga kalian,” kata Sean masih dengan tatapan datarnya melihat keempat pemuda yang berada dihadapannya.
Rei dan yang lainnya langsung mengangguk patuh.
“Terima kasih karena telah menyelamatkan gue dan yang lainnya. Apa lo gak mau ikut bujuk Andrew untuk melepaskan lo? Kita juga mau ke tempat Andrew mau bilang kalau kita harus segera masuk kuliah lagi,” kata Rei dengan polos membuat Sean tertawa terbahak-bahak kemudian ia cepat mengubah raut wajahnya.
“Apa kalian pikir itu adalah cara yang ampuh? Andrew tidak sebaik itu karena dia akan membuat salah satu dari kalian tinggal selamanya di sini seperti gue, jadi jangan pikir Andrew akan melepaskan kalian begitu saja tanpa syarat.”
Rei dan ketiga temannya terdiam mendengar ucapan Sean, bahkan beberapa dari mereka sempat menyesal karena memakai kacamata virtual reality itu. Sean menepuk-nepuk punggung Rei kemudian berlalu dari tempat tersebut.
Namun, saat Sean ingin kembali ke tempat persembunyiannya ia melihat Alefukka yang berada di hadapannya dengan senyuman kecut. Wajah Sean benar-benar terkejut karena Alefukka berada di dunia game lagi.
“Le? Lo kok bisa di sini lagi sih?” tanya Sean dengan panik sambil melihat sekelilingnya. Sejauh-jauhnya mata memandang hanya ada Alefukka di hadapannya entah kedua temannya berada di mana saat ini.
“Gue gak bisa ninggalin lo sendiri, untuk urusan yang lainnya Darren dan yang lainnya yang handle semua. Gue harus kembali ke sini karena lo gak mungkin kalau gak punya teman dan lo gak ada bantuan sama sekali pasti itu sangat memberatkan,” ucap Alefukka seraya mengambil s*****a dari tangan Sean.
Sedangkan Rei hanya melihat Alefukka saja dengan perasaan yang aneh karena setahu dia Alefukka berada di dunia nyata, ia sempat melihatnya sebelum timnya memasuki ruangan kosong tersebut.
“Lo Ale? Setahu gue Ale lagi berada di dunia nyata dan itu jelas banget kalau Alefukka lagi sama yang lainnya,” ucap Rei dengan wajah terheran-heran sementara Sean yang mendengar ucapan Rei langsung melihat ke arah Alefukka yang berada di sampingnya.
“Iya gue ikutin lo ke dunia game, karena gue gak yakin kalau Sean baik-baik aja sendirian di sini. Yang lainnya sedang mencari cara untuk mengeluarkan kita dari sini,” ujar Alefukka dengan santainya.
Sementara Sean tampak kesal karena Alefukka berada di sana lagi padahal ia sudah berkorban demi mereka semua, namun Alefukka memilih untuk berada di dunia game lagi.
“Le, gue ini sudah berkorban, tapi lo malah balik lagi. Astaga gue gak paham lagi di mana otak lo,” kata Sean dengan rasa kesal yang sudah menggebu-gebu.
“Iya, Le. Lo gak seharusnya di sini karena lo gak bisa percaya mereka semua kan? Apa lo bisa tahu kalau mereka akan nepatin janji buat lepasin Sean?’’ tanya Rei yang sedikit ragu dengan keputusan Alefukka.
Rei tahu jika Darren dan Gilang berpotensi menjadi seorang penghianat yang akan membuang mereka begitu saja jika dibiarkan sendiri.
“Gue percaya sama Fendi dan kedua temannya, mereka tidak seperti Darren dan Gilang yang bisa buang siapa pun demi kepentingannya sendiri,” ujar Alefukka dengan yakin.
**
Sementara itu di dunia nyata kembali heboh karena kampus tersebut kembali menghilangkan sejumlah mahasiswa jurusan teknologi game. Sepertinya jurusan tersebut terlalu pintar sehingga menciptakan hal yang aneh-aneh.
“Sekarang kasus hilangnya Rei dan ketiga temannya? Ini benar-benar merisaukan,” ucap Bu Marni dengan wajah panik karena ia sudah tahu yang sebenarnya dan ia belum bisa mengatakan itu pada dosen lainnya.
“Kampus kita sudah banyak diprotes orang tua, apa kita tidak melakukan penyelidikan saja pada ‘orang pintar?’” ujar Pak Doko—salah satu dosen di kampus itu juga.
Bu Marni langsung menggeleng cepat, bagaimana bisa rekan kerjanya itu malah berpikir ke arah “Orang pintar?”
“Tidak, saya akan mencari lebih jauh tentang penyebab hilangnya mereka semua. Jadi, jangan beritahu siapa pun juga. Bilang saja kita akan usahakan yang terbaik untuk mencari mereka,” kata Bu Marni menatap Pak Doko dengan serius kemudian pergi meninggalkan pria paruh baya itu yang sedang kebingungan atas laporan baru tentang hilangnya mahasiswa tersebut.
Begitu Bu Marni keluar dari ruang dosen, ia melihat Pak Iwan yang berada di depan ruang dosen tersebut yang sedang membersihkan tempat s****h. Melihat Pak Iwan membuat Bu Marni ingin sekali menanyakan perihal Andrew padanya, namun sikap Pak Iwan yang selalu tertutup membuat Bu Marni sering kali enggan menanyakan hal itu.
Bu Marni menghirup napas dalam-dalam kemudian mendekati Pak Iwan yang sedang sibuk membersihkan tong s****h yang tepat berada di depan pintu ruang dosen tersebut.
“Pak Iwan. Apa saya bisa bicara pada bapak sebentar saja? Saya kira ini penting untuk dijawab,” kata Bu Marni berusaha ramah dengan Pak Iwan yang benar-benar sulit untuk diajak bicara. Wajahnya selalu murung dan mengerut seperti orang yang mempunyai banyak sekali pikiran.
Pak Iwan menghentikan aktivitasnya kemudian melihat Bu Marni dengan wajah bingung. Akhirnya Pak Iwan pun menaruh s****h dan sapu tersebut dan meladeni Bu Marni.
“Ada apa, Bu?” tanya Pak Iwan yang bingung melihat Bu Marni ingin bicara padanya. Sebenarnya Bu Marni sedikit tidak enak karena harus membahas masalah anak Pak Iwan alias Andrew yang sudah lama menghilang. Namun, ia harus melakukan ini semua demi anak-anak yang hilang tersebut.
“Begini, saya tidak bermaksud mengungkit kejadian lama lagi, tapi seperti yang bapak tahu...” ucapan Bu Marni terpotong karena Pak Iwan yang langsung melanjutkan aktivitasnya lagi.
Berkali-kali Bu Marni mengajaknya bicara, namun Pak Iwan tetap saja tidak ingin mengungkit masalah anaknya lagi.
“Jika yang ingin ibu bicarakan adalah Andrew akan lebih baik ibu tidak perlu bicara karena saya sudah menganggap Andrew tidak ada,” kata Pak Iwan dengan ekspresi datar membuat Bu Marni benar-benar merasa tertekan dengan sikap-sikap Pak Iwan selama ini.
“Andrew masih hidup! Apa bapak tidak kasihan dan tidak ingin menjenguknya? Mungkin saja sekarang Andrew kesepian karena sudah bertahun-tahun juga Andrew tidak bersama Bapak,” kata Bu Marni dengan wajah memelas.
Namun, bagaimana pun cara Bu Marni bicara itu tidak akan bisa membuat hati Pak Iwan luluh. Bagi Pak Iwan mengurus dirinya saja sudah cukup ia tidak perlu lagi memberikan waktunya pada Andrew yang sangat susah dinasihati.