Tombol keluar yang musnah

1058 Kata
“Kita lebih baik bicarain ini di dalem rumah aja, ga aman di sini,” kata Alefukka yang merupakan paling tenang diantara temannya itu. Sean dan Darren mengangguk, mereka membantu Fendi untuk berdiri dan memasuki rumah yang tak jauh dari mereka. Dengan langkah tertatih-tatih Fendi berusaha bangkit dan berjalan. Rasa tulangnya yang remuk membuatnya kesakitan tiap kali berjalan. “Sabar, sebentar lagi sampai,” kata Alefukka sambil mengaitkan tangan kanan Fendi ke bahunya sementara Sean memegangi tangan kiri Fendi. Sedangkan Darren terus mengawasi Gilang agar tak lepas kontrol lagi, ia tak mau sahabatnya menjadi pembunuh hanya karena ini. Fyuh! Fendi menghela napasnya kasar ketika mereka sampai di rumah tersebut, Darren menutup pintu rumah itu rapat-rapat kemudian duduk di ruang tamu melihat ketiga temannya yang akan mengintrogasi Fendi. “Jadi, apa yang mau lo jelasin? To the point aja ga usah berbelit,” kata Sean sambil menatap Fendi dengan tatapan elangnya. Fendi membenarkan duduknya, namun saat ia ingin membuka mulut ada suara ledakan di dekat rumah itu. Fendi berlari ke arah jendela yang langsung mengarah ke arah ledakan itu. “s**l!! Dia ngeledakin kuncinya!” seru Fendi dengan geram, Sean berdiri menanyakan hal itu pada Fendi yang sepertinya tahu sesuatu. “Ledakin apa? Maksud lo apa ada yang penting?” tanya Sean dengan wajah panik. “ITU KUNCI KITA KELUAR KE DUNIA NYATA, DIA MEMBAKARNYA!” teriak Fendi yang sudah terlihat kalap begitu pun dengan Gilang yang merasa dunianya runtuh ketika mendengar itu semua. Sean, Darren dan Alefukka meneguk ludahnya. Ini adalah sesuatu yang benar-benar membuat mereka tak bisa berkata apa-apa lagi selain merutuki nasib s**l mereka. “Gak mungkin!! Gue ga mau di sini selamanya!! Gue gak mau!!” teriak Gilang yang membuat suasana menjadi sangat kacau. Darren mendekati Gilang kemudian meninjunya dengan sangat keras membuat Sean dan Alefukka memisahkan mereka berdua. “Lo kok makin nyolot sih?? Lo kira lo doang yang mau keluar iya? Gak punya otak lo ya lagi keadaan gini malah bikin panik!” teriak Darren yang sudah emosi melihat sikap Gilang yang sangat kekanakan. Sean menepuk-nepuk punggung Darren menenangkan sementara Alefukka memegangi Gilang agar tak memperkeruh masalah. Gilang menyeka darah yang mengalir di ujung bibirnya, rasa kesal menjalar disekujur tubuhnya ketika melihat Sean dan Darren. “Lo akan menyesal karena udah memperlakukan gue kayak gini,” desis Gilang dengan kasar melepaskan tangan Alefukka dari tubuhnya kemudian pergi dari rumah tersebut. Darren menarik napas dalam-dalam ketika melihat Gilang yang pergi dari hadapannya. “Gak mungkin ini terjadi! Gak mungkin kita harus lawan sahabat kita sendiri,” kata Darren yang terduduk lemas di lantai. Fendi melihat keadaan extramers yang sangat kacau dan membuatnya sedikit iba. "Gue gak nyangka persahabatan kalian Cuma kayak gini, but orang-orang selalu aja ngebanggain tim kalian karena kalian kompak,” kata Fendi pelan sambil melihat kehancuran extramers di depan matanya sendiri. “Lo udah lihat sendiri kan kita gak seperti yang orang lain lihat, kita lemah. Terus apa yang mau lo sirikin dari kita? Lo gak cukup lihat ini kan? Pasti lo mau lihat kita lebih parah dari ini,” kata Darren yang sudah muak dengan Fendi. “Segitu jahatnya ya gue? Kita gak ada waktu buat bahas itu, yang paling penting misi kita saat ini adalah keluar dari dunia game, lo gak mau kan sampai tua di sini?” kata Fendi yang membuat Darren sadar. Sean dan Darren mengangguk membenarkan sementara Alefukka melihat Gilang dari jendelanya yang sedang berteriak-teriak di luar dengan hancurnya. “Gue gak tega lihat Gilang kayak gitu, gue takut kalau dia kena mentalnya gak baik juga buat psikologisnya,” kata Alefukka yang melihat seberapa hancurnya Gilang. “Lo lebih baik minta maaf, Ren. Gimana juga persahabatan kalian lebih penting dari pada adu jotos,” kata Fendi mewanti-wanti. Sean dan Alefukka mengangguk setuju. “Kadang dia butuh sendiri buat mengevaluasi dirinya,” kata Darren kemudian berbaring di tempat tidur yang tak jauh dari posisi mereka berdiri. Fendi menatap Sean dan Alefukka secara bergantian, sebenarnya ia merasa tak enak dengan Sean yang selalu menjadi bahan bullyannya sementara Sean masih menolongnya dikala kesakitan seperti ini. "Oh Iya Stefan mana?" tanya Alefukka yang merasa sedari tadi belum melihat adanya Stefan di tempat itu sejak mereka balik ke dalam dunia game. Fendi menggeleng tak tahu, sejak mereka kembali ke dunia game ia tak lagi menemui Stefan. “Gue gak tahu, sejak kembali ke dunia game rasanya gue belum ngeliat dia, yang gue temuin Cuma Andrew jadi gue ikutin dia deh,” kata Fendi yang merasa aneh juga dengan hilangnya Stefan di dunia game ini. Sean sebenarnya tak peduli dengan keberadaan Stefan, namun rasanya aneh juga kalau mereka tak ada sedangkan permainan masih berjalan. “Terus tadi siapa yang nyuruh lo untuk otak-atik itu kotak?” tanya Darren yang sempat melihat ada kotak dengan ukuran sedang berada di dalam semak-semak. Fendi menghela napasnya kemudian menceritakan semuanya dari awal. “Sebenarnya gue saat kita di dunia nyata bikin perjanjian dengan Andrew yang dikejar-kejar sama kalian kan, gue bantu sembunyiin keberadaan dia dengan imbalan hanya gue yang bisa keluar dari dunia game ini..” Fendi memberi jeda diantara kalimatnya. “Terus, tadi dia suruh gue ke kotak itu katanya di sana ada sebuah tombol yang bisa gue pencet agar gue keluar ke dunia nyata lagi. Ya, gue seneng dong gue merasa bahwa gue menang dari kalian dan kalian bisa tinggal di sini selamanya terutama Sean, gak ada lagi saingan gue. But, Gilang dateng dan ninju gue karena disangka gue yang umumin pengumuman itu,” kata Fendi sambil menggelengkan kepalanya. Darren dan Alefukka terdiam membeku, bagaimana tidak itu artinya memang tak ada kunci keluar untuk mereka. “J-jadi beneran kalau kita bakal terus di sini karena tombol itu sudah meledak?” tanya Alefukka yang memucat, sedangkan Fendi hanya tertawa kecil kemudian menggeleng. “Lo gak usah takut, Andrew itu masih ada keinginan buat keluar dari sini. Jadi, dia gak mungkin ngebakar itu tombol begitu aja,” ucap Fendi dengan yakinnya. “Lah terus kalau gitu tadi kenapa lo panik?” tanya Sean yang mulai kesal juga dengan ucapan Fendi yang plin plan. “Tombol itu udah pasti diledakin, tapi dia pasti punya tombol cadangan yang kita harus cari. Dia masih butuh waktu untuk keluar dari sini jadi kita masih punya harapan untuk keluar, jangan khawatir,” kata Fendi tersenyum pada Sean. Dulu mereka adalah sahabat baik, hanya saja rasa iri Fendi membuat mereka saling menjauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN