Sebenarnya Andrew benar-benar terkejut karena semua kompak memilih Sean sebagai korban yang akan mereka tinggalkan untuk selamanya di dunia game. Ini sangat aneh, walaupun Andrew tahu bahwa mereka terjebak di dunia game karena Sean, namun tindakan teman-temannya menjadi tindakan yang mengejutkan untuk Andrew.
“Ternyata benar apa yang aku takutkan selama ini, seorang sahabat tidak bisa merangkul sahabat lainnyaa. Ada masanya mereka akan mementingkan diri mereka sendiri. Manusia itu kejam, tidak mempunyai kebaikan sama sekali,” ucap Andrew dengan ekspresi datar.
Dilayar monitor tampak Sean dan anggota lainnya sedang bertengkar, sebenarnya Andrew senang karena akhirnya mereka hancur. Namun, entah mengapa ia jadi merasa iba pada Sean yang sebenarnya sudah membuatnya seperti ini. Bukan Sean, melainkan keluarganya yang selalu jahat pada orang lain.
“Selamat datang di game survival. Halo para pemain hebat, voting sudah selesai dan berdasarkan voting kalian memilih untuk mengorbankan 1 sahabat kalian yaitu Sean untuk tetap tinggal di sini selamannya. Pilihan yang bagus kawan! 1 jam lagi pintu keluar akan terbuka untuk kalian, pergilah ke arah selatan dan masuki cahaya yang bersinar terang di arah selatan. Terima kasih telah berkunjung semoga harimu menyenangkan!”
Fendi merasa lemas mendengar pengumuman game tersebut, rasanya ia tidak siap meninggalkan Sean sendirian di dunia game. Namun, karena Sean yang bersikeras maka Fendi harus menurutinya sama seperti yang lain.
“Ingat ya rencana kita, kalian harus keluar dari sini dan mendapatkan pertolongan setelah itu baru menyelamatkan gue. Jangan sampai lupa!” ucap Sean dengan pelan.
“Apa lo yakin? Lo tahu kan kalau kita bisa aja lupa dan gak mau nolongin lo, tapi kenapa lo yakin banget?” tanya Stefan yang merasa bahwa Sean terlalu naif dan ingin dipuji karena pengorbanannya.
“Kalau memang ternyata tidak ada yang menyelamatkan gue setelah kalian ke dunia nyata itu artinya memang gue gak punya sahabat selama ini, jadi lakukanlah sesuai hati nurani kalian,” ucap Sean dengan senyuman tipis hingga tak ada seorang pun yang bisa melihat senyuman Sean saat ini.
Stefan tertawa kemudian menatap Sean dengan ekspresi datar, ia membenci sifat naif Sean yang begitu terlihat.
“Lo naif ya, padahal lo tahu bahwa sahabat-sahabat lo gak ada yang bisa lo percaya satu pun, tapi sekarang gue lihat lo malah korbanin diri. Ternyata bener orang munafik itu ada,” celetuk Stefan yang sebenarnya tidak setuju dengan mengorbankan Sean untuk jalan keluar dari dunia game itu.
Sean merebahkan tubuhnya kemudian tersenyum, dengan seperti ini ia tidak akan melihat kesalahannya lagi. Bukan hanya teman-temannya yang tersiksa, namun juga Sean yang tersiksa dengan rasa bersalah.
“Gue emang naif, tapi nyatanya gue adalah yang membuat kalian sengsara seperti ini. Kalau kalian gak jadi skripsi gara-gara gue, gue akan selalu dihantui perasaan bersalah. Jadi apa yang gue bicarakan sekarang dan keputusan yang gue ambil bukanlah sebuah keputusan yang tidak pernah dipikirkan efek sampingnya,” ucap Sean sambil melihat langit-langit yang sudah mulai rusak itu.
Mereka terdiam mendengar ucapan Sean, Sean itu bisa dibilang sahabat yang paling solidaritas sehingga ia rela mengorbankan hidupnya demi semua sahabatnya.
“Buat gue sendiri, gue gak janji bisa selamatin lo dari sini karena gue paling gak suka sama orang yang kerjanya Cuma ngalah dan pasrah gitu aja. Mungkin kalau yang lain mau bantu, tapi kalau gue gak janji ya, gue gak mau selamatin orang yang maunya korbanin diri terus,” kata Gilang yang terlihat kesal dengan Sean.
Sean tak menanggapi ucapan Gilang yang bisa dibilang tak mengerti perasaannya sedangkan Alefukka hanya mendengarkan drama-drama tersebut tanpa ekspresi. Selama satu jam mereka benar-benar tak bicara sepatah kata pun, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sementara Andrew tengah sibuk mempersiapkan pintu keluar untuk mereka, beberapa menit sebelum pintu tersebut terbuka Sean tiba-tiba saja terikat oleh sesuatu yang berada di tempat duduknya. Tindakan tersebut membuat teman-temannya terkejut akan apa yang dilakukan Andrew.
“Ini ada apa?” tanya Fendi yang panik dengan matanya yang melihat Sean terikat begitu saja di depan matanya. Tidak ada yang bisa menjawab itu semua, namun saat mereka sedang kebingungan Andrew datang ke supermarket tersebut dan tertawa renyah.
“Tidak usah khawatir, Sean tidak akan kenapa-kenapa. Lagi pula ngapain kalian khawatir pada Sean? Toh, kalian sendiri yang menginginkan ini keluar dari dunia game dengan mengobankan Sahabat sendiri,” ucap Andrew dengan tatapan datar memandang orang-orang yang berada di ruangan itu.
Sean memutar matanya malas mendengar ocehan Andrew.
“Lo lihat kan, An. Temen-temen lo gak ada yang peduli sama lo, mereka mau pulang dan mengorbankan lo, mereka semua jahat,” kata Andrew dengan wajah penuh kemenangan.
“Apa dengan begini lo merasa bahwa lo menang? Lo gak beda jahatnya sama temen-temen gue jadi gak usah sebut mereka jahat kalau lo sendiri gak mau lepasin gue,” skak Sean dengan tegas.
Andrew melihat Sean kemudian tertawa kecil. Ia mendekati wajah Sean kemudian menatap Sean dengan serius.
“Apa untungnya gue lepasin lo? Salah satu dari keluarga lo masih punya hutang nyawa sama gue, gue gak akan lepasin lo bebas begitu aja. Oh iya untuk kalian yang mau keluar dari sini, gue titip ini kasihkan pada Anjani,” ucap Andrew sambil menyodorkan sehelai amplop yang berisi kertas pada Alefukka yang kebetulan berada di dekatnya.
Alefukka menerima amplop tersebut dengan wajah bingung, ia bingung dan sedang berpikir apa yang menyebabkan Andrew mengenal ibunya Sean.
“Anjani mamanya Sean?” tanya Alefukka yang masih ragu dengan maksud Andrew. Andrew mengangguk membenarkan ucapan Alefukka.
“Pokoknya lo kasih aja surat itu pada Anjani agar dia yang membacanya. Oh iya pintu keluar kalian berada di selatan supermarket ini, kalian hanya punya waktu 30 menit sebelum portal penyambung dunia game dan dunia nyata tertutup,” ucap Andrew memberitahu 6 orang yang sudah siap pulang ke dunia nyata itu.
Sebenarnya Fendi dan yang lainnya masih khawatir dengan Sean yang diikat begitu saja, niat mereka mulai melemah ketika melihat Sean ditahan dikursi tersebut. Andrew memberikan mereka kode agar cepat keluar dari tempat itu. Sean mengangguk ke arah teman-temannya agar mereka cepat keluar dari dunia game ini dan mencari bantuan untuknya.
Dengan terpaksa akhirnya mereka meninggalkan Sean dan Andrew berdua di supermarket tersebut, walaupun sebenarnya mereka tidak sanggup. Namun, ini adalah sebuah kesempatan emas untuk mencari bantuan.
Dor!
Dor!
Suara tembakan begitu riuh rendah di lahan kosong yang berada di dunia game itu, keenam pemuda itu harus melewati banyaknya zombie yang menghalangi jalan keluar mereka ke dunia nyata. Untung saja mereka membawa semua s*****a.
“Jalannya cepetan! Portalnya sudah tinggal setengah!” teriak Fendi dengan keras, mereka pun berlari kencang ke arah pintu dimensi itu dengan napas yang tersengal-sengal akhirnya mereka melompat bersamaan dengan tertutupnya portal tersebut.
Fyuh!
Mereka bernapas lega ketika akhirnya mereka kembali ke ruangan di mana terakhir kali mereka memainkan kacamata virtual reality itu. Namun, anehnya kacamata dan layar yang seharusnya ada di tempat itu saat ini sudah tidak ada.
“Semua peralatannya pasti sudah disita oleh kampus! Kita harus mencarinya sampai dapat!” ucap Alefukka sambil melihat sekelilingnya yang tampak kosong melompong.