Chapter 13

1719 Kata
"Kaka Liben, hati-hati itu nanti kena bulung-nya Amil," ujar Amir yang berada di dalam kamar Liben. "Iya, sabar … tunggu Kaka Liben ikat baik-baik dulu, jangan gerak," balas Liben yang sedang serius memakaikan koteka untuk Amir. "Nah, sudah selesai," ujar Liben, dia mengembuskan napas lega. Liben melihat koteka yang menutupi barang pribadi milik Amir. "Untung saja koteka ini pas," ujarnya. Amir terlihat serius melihat koteka yang dipakainya. Setelah beberapa saat melihat koteka itu, Amir mengangguk puas. "Yang Amil lihat di tv, orang besal yang pakai, tapi oklah Amil yang pakai." Liben tersenyum. "Ayo keluar, Bapa, Mama, Om Yoke dan semua mau lihat Amir pakai koteka." Amir mengangguk sambil menyahut, "Ok." Amir berjalan keluar dari kamar Liben. "Nah, pas sekali kalau Amil pake ini koteka!" Yoke terlihat senang setelah melihat Amir keluar dari kamar kecil Liben dengan hanya memakai koteka. Mulut Pace dan Mace terlihat tidak berkomentar ketika melihat Amir untuk pertama kali pakai koteka. Di dalam suku mereka, mereka tidak memakai koteka, yang mereka pakai adalah rok rumbai yang terbuat dari daun sagu yang dikeringkan, untuk penutup daerah pribadi mereka memakai kain kecil. Koteka digunakan oleh suku lain yang kawasannya cukup jauh dari tempat dimana mereka tinggal sekarang. Koteka itu adalah kenang-kenangan sebagai persahabatan dari suku lain karena adanya pernikahan antar suku untuk anak Pace dan Mace yang masih kecil kala itu. Anak Pace dan Mace yang bernama Maipe adalah anak pertama, namun Maipe telah meninggal karena konflik antar suku yang terjadi. Orang-orang memuji Amir yang memakai koteka, namun mereka ada juga yang terlihat agak sedih melihat koteka itu. Hans melirik ke arah Pace dan Mace lalu berkata, "Bapa, jang Bapa bikin wajah begitu, nanti kita semua sedih lagi, nanti Amil pikir kita tra suka dengan dia." Pace dan Mace buru-buru menghilangkan wajah sedih mereka. Pace menggendong Amir lalu mendudukan Amir di pangkuannya dan berkata, "Kam dengar ini, mulai sekarang Amil ini anak saya. Biarpun dia tidak lahir dari saya dan istri saya, saya tetap anggap dia sebagai anak saya, kepala suku ini." (Kam=kamu) Setelah Pace mengumumkan ini, semua orang terdiam. Mereka melihat intens ke arah Amir dan Pace. Mata Pace memerah, dia mengusap sayang kepala Amir. "Tidak ada alasan untuk kita benci dia meskipun dia tidak satu suku dengan kita atau lahir di sini. Sebab anak kecil ini tidak tahu apa yang terjadi, dia sama saja seperti anak yang baru lahir." Semua orang diam mendengarkan ucapan Pace. "Meskipun warna kulitnya lebih terang daripada kita, namun dia sekarang adalah anak saya, anak kepala suku di sini." Amir mendongak melihat ke arah mata Pace. Amir memeluk Pace lalu berkata, "Amil sayang Pace." Mata Pace memerah dan air mata sayang pada anak turun membasahi rambut Amir. "Yoke, Polo, dan anana semua, besok berburu dan mama-mama memasak, besok kita doa untuk angkat Amil jadi anak saya." Semua orang menangis haru dan mengangguk. Mace mengusap air matanya. Jika Amir diangkat menjadi anak mereka, maka anak mereka akan ada dua lagi. "Pace angkat Amil jadi anak? ah, Amil suka, tapi nanti Pace bawa Amil ke Papa Opal dan Mama Alil yah?" ujar Amir. "Iya, Anak. Tenang saja, di sini kau anak saya, nanti di kota kau anak orangtua kau," balas Pace. Amir mengangguk senang. °°° Malam telah tiba, Askan kembali ke tenda dengan raut wajah menyesal. Askan menyesal karena dia sama sekali tidak menemukan keberadaan Amir. "Pak, Kapten Lia dan Pak Basri diserang oleh anggota kelompok pemberontak!" lapor salah seorang prajurit yang bertugas mencari keberadaan Amir. Irfan berdiri dari duduk. "Kirim bantuan ke tempat mereka, sekarang!" "Siap, laksanakan!" prajurit itu langsung memberi hormat dan mengiyakan. Di hutan tempat Naufal dan Ariella Naufal terlihat berlari cepat sambil menunduk melihat ke depan. Dia berusaha untuk tidak terlihat oleh oleh lawan di gelapnya malam. Meskipun malam, namun sinar rembulan cukup untuk membentuk bayangannya dan mengekspos bayangannya jika dia tidak berhati-hati. Sedangkan Ariella terlihat berada di belakang Naufal berjaga-jaga jika ada serangan dari serangan lawan. Saat mereka sampai ke tempat lawan, ternyata dua orang anggota kelompok pemberontak telah mati. Meskipun begitu, Naufal tidak lengah, dia tetap mempertahankan kewaspadaannya, siapa tahu saja ada musuh yang pura-pura mati atau sedang bersembunyi. Beberapa saat kemudian, Naufal dan Lia mendengar banyak langkah kaki yang berdatangan menuju ke arah mereka, Lia dengan cepat berbalik lalu bersiap untuk menembak. "Kapten, ini kami!" seorang prajurit bantuan langsung berseru cepat. Lia menurunkan *senapannya. Beberapa saat kemudian Naufal dan Lia terlihat keluar dari hutan menuju ke tempat di mana mobil pikap itu menabrak pohon. Mayjen Markus melihat raut wajah dari pasangan suami istri itu, tak perlu ditanya lagi hasil pencarian mereka untuk hari ini, yang jelas mereka belum menemukan anak mereka. Wajah Mayjen Markus terlihat iba. Sebagai ayah dari tiga orang anak, Mayjen Markus juga merasakan kekalutan dan kesedihan di hati Naufal yang sedang kehilangan anaknya. Mayjen Markus menyentuh pelan pundak kanan Naufal. "Istirahat, masih ada waktu besok." Naufal mengangguk, sementara Lia tidak terlihat bahagia. Dia malah kesal. Pencariannya terhadap sang anak hari ini berakhir dengan perlawanan dengan anggota kelompok pemberontak. Para prajurit yang ada tidak berani mendekat ke arah Lia. Askan melihat ke arah kakak sepupunya. Dia mengangkat kaleng makanan ke arah Naufal. "Bro, makan." Naufal mengangguk pelan. Dia baru pernah merasakan kehilangan seorang anak. Ternyata rasanya seperti ini. °°° "Amil, kau tidur jua, Mama sedang bicara dengan Mama-mama yang lain untuk acara besok, nanti Kaka Liben yang di sini temani kau tidur," ujar liben yang sedang membuka ikatan koteka yang dipakai Amir. Amir mengangguk. "Ok, Kaka Liben." Sementara itu di luar rumah Pace, banyak orang yang terlihat duduk dan ada yang berdiri mendengarkan perkataan Pace. Pace menggunakan bahasa suku yang makna atau artinya yaitu besok pagi-pagi sekali mereka harus pergi berburu banyak hewan, sementara itu, ibu-ibu bertugas mencari sayur dan memasak. Bahasa daerah di Papua sangatlah banyak, belum bahasa suku dan juga sub suku, mereka berkomunikasi dengan orang lain menggunakan dialek atau bahasa sehari-hari yang digunakan orang Papua. Setelah membicarakan acara untuk besok, Pace memberikan perkataan terakhirnya sebelum masuk ke dalam rumah untuk tidur. "Kalau kalian lihat atau merasakan kehadiran anggota pemberontak, cepat-cepat lari pulang ke sini lalu kasih tahu kita dan semuanya bersiap-siap." "Baik, Bapa!" semua orang menyahut mengerti. Di dalam kamar kecil milik Liben, Liben melihat Amir yang telah terlelap, cahaya rembulan masuk melewati bagian jendela yang terbuka. Setelah yakin Amir terlelap, Liben ikut menutup mata menyusul Amir tidur ke alam mimpi. °°° Pagi datang. Wajah Popy terlihat tidak baik, wajahnya terlihat pucat. "Tante Poko, ayo sarapan dulu," bujuk Lilis. Popy melihat ke arah bubur ayam yang diberikan oleh Lilis. Seketika air matanya jatuh. "Amir suka sekali memberikan sendokan bubur ayam untuk Ayah Ran … Amir tiap pagi mengambilkan beberapa sendok bubur ayam ke piring Ayah Ran … Amir selalu bilang kalau 'Eyang Lan harus banyak makan bubul ayam biar sehat' … Amir … Amir …." Popy menangis pilu. "Kak Poko," panggil seseorang. Popy melirik ke arah suara yang memanggil namanya. Setelah melihat wajah Bushra yang terlihat pucat, Popy berdiri lalu mereka saling memeluk dan menangis dalam kesedihan. "Sira … Sira … Amir, Amir, Amir Sira …," ujar Popy sambil terisak. Bushra tidak punya banyak tenaga, tiga hari setelah hilangnya sang cucu, dia baru tiba di Jakarta karena pada saat pesawat mereka transit di bandara di Istanbul, dia jatuh sakit karena terlalu stres dan khawatir terhadap pencarian cucunya yang belum ditemukan. Alhasil, dia dirawat selama beberapa saat untuk memulihkan kesehatannya. Eric yang berada di belakang mereka terlihat sangat sedih. Cucunya hilang. Ben memberi isyarat pada Eric untuk mengikutinya. Eric berjalan mengikuti Ben. "Anda sudah lihat-" "Tidak perlu formal, kami adalah keluarga," potong Eric. Ben mengangguk. "Kamu sudah lihat rekaman Amir dibawa naik ke bagasi pesawat kargo, kan?" Eric mengangguk. "Ya." "Dan itu membuatku sangat marah dengan pengawal yang bertugas menjaganya," sambung Eric beberapa detik setelah dia menyahut pertanyaan Ben. Wajah Ben terlihat tak berdaya, dia juga marah, namun nasi telah menjadi bubur dan semuanya telah terjadi. Ben bahkan fokus ke pencarian cucunya hingga melupakan sejenak keberadaan anak bungsunya yang katanya sedang berlibur di Beijing. "Pencarian Amir terasa sulit karena pecahnya kerusuhan. Tadi malam di sana, Aril dan Opal diserang oleh anggota kelompok pemberontak saat sedang mencari keberadaan Amir, upaya untuk pencarian Amir terhambat meskipun Aril ditarik sementara dari tugasnya," ujar Ben. "Orang-orang suruhanku baru tiba tadi subuh di sana, aku belum diberitahu info lebih lanjut," balas Eric. Wajahnya terlihat khawatir. Anak perempuan dan cucunya tidak berada dekat dengan dia, hal ini membuatnya terus kepikiran. °°° Sebuah pintu rumah mewah dibuka dari dalam. "Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu. Miki menjawab, "Kami dari keluarga Nabhan dan Basri ingin bertemu langsung dengan Tuan Daeng Haji Karamot." Asisten rumah tangga itu terbelalak kaget. Dia melihat ke arah Miki, Ahsan dan Amran yang memakai jaket kulit menutupi pakaian jaksa miliknya. Satu pria lagi yang dia mengenali wajahnya, Ghifan, yah meskipun yang dikenal oleh asisten rumah tangga itu adalah hanya Gaishan saja. Beberapa saat kemudian orang yang bernama Daeng Haji Karamot itu terlihat duduk berhadapan dengan Miki, Ghifan, Ahsan dan Amran. "Maaf, Pak Haji, saya pagi-pagi begini sudah mengganggu waktu Anda, tapi apa boleh buat, kami datang ke sini dengan maksud yang baik," ujar Amran. "Ah, ya, saya mengerti. Tidak apa-apa," balas Haji Daeng Karamot. "Bagaimana itu Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Haji Karamot. "Sebelumnya perkenalkan, nama saya adalah Amran Basri dan ini adalah Ahsan Nabhan dan Ghifan Nabhan, paman saya dan Mikki Shisa. Kami dari keluarga Basri dan Nabhan," ujar Amran. Haji Daeng Karamot langsung mengangguk mengerti. Nama keluarga Basri dan Nabhan dia tidak asing lagi. "Kedatangan saya ke sini yaitu hendak mengganti rugi mengenai lukisan yang rusak akibat dari injakan keponakan saya, maaf baru hari ini kami datang menemui Anda secara langsung, kami sibuk dan khawatir dengan hilangnya keponakan saya," ujar Amran. Wajah Daeng Karamot berubah serius. "Ganti rugi?" "Ya, ganti rugi," jawab Amran. "Tuan Haji Daeng Karamot, ada empat pilihan untuk mengganti rugi lukisan Anda yang rusak. Pertama, apakah Anda ingin ganti rugi dengan pemberian cek saja, kedua dengan uang tunai, ketiga dengan transfer bank atau yang terakhir apakah Anda ingin membeli beberapa lukisan lagi yang Anda sukai? semuanya akan ditanggung oleh pihak Basri dan Nabhan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari rusaknya lukisan yang Anda pesan," ujar Mikki. Haji Daeng Karamot, "...." terlihat diam sambil melihat ke arah Miki dan yang lainnya. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN