Tubuh Lily membatu. Lidahnya terasa kelu. Ia tak dapat bergerak. Tak dapat berkata-kata. Saat orang yang begitu dibencinya ini. Malah membisikkan kata-kata yang begitu memuakkan baginya.
"Sudah dibawa semua?" tanya Rainer, ketika Russell sudah kembali ke hadapannya.
"Udah, Kak. Banyak juga ya."
"Ya sudah. Ayo bawa. Dan juga, ajak tamu kita ini ke atas," perintah Rainer yang kemudian melirik sekilas ke arah Lily dan menyunggingkan senyumnya. Sebelum akhirnya berjalan lebih dulu ke apartemennya.
"Babe, yuk ikut. Kamu dengar sendiri kan? Kakakku menyuruh kamu ikut."
Dengan segala bentuk bujukan yang Russell berikan. Lily yang awalnya hanya berdiam diri pun akhirnya menurut. Ia harus segera menyelesaikan ini pikirnya. Setelah itu, ia akan mengajak Russell pergi.
Perlahan Lily turun dari atas motor dan berjalan beriringan bersama dengan Russell. Hingga mereka tiba di dalam apartemen, Rainer menyambut kedatangan mereka dengan sangat baik.
"Ayo masuk. Ajak tamu kita ini ke dalam." Rainer membuka pintu apartemen lebar-lebar dan membiarkan adiknya membawa wanita di sampingnya untuk masuk.
Langkah kaki Lily terasa begitu berat. Hingga Russell memberikan sedikit dorongan dengan menarik lengan Lily.
"Ayo masuk. Nanti keburu malam. Kita nggak akan lama," perkataan yang membuat Lily mulai bisa melangkahkan kakinya untuk masuk.
Iya tidak akan lama. Hanya sebentar saja di dalam sana. Lalu kembali pulang setelahnya.
Lily digiring ke sofa. Sementara Russell pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman serta camilan bagi Lily.
"Sudah berapa lama hubungan kalian?" tanya Rainer, sambil membantu Russell merapikan camilan yang dibelinya tadi.
"Ha? Oh itu, 7 bulan kak."
"Oh... Lumayan lama juga ya?" ucap Rainer yang seperti tengah mencari-cari sesuatu. Namun tidak menemukannya di dalam kantung belanjaan.
"Kakak cari apa?" tanya Russell.
"Rokok. Kenapa tidak ada ya?"
"Mungkin, kasirnya lupa."
"Iya mungkin. Oh iya, kalau begitu, tolong belikan lagi untuk kakak ya?" pinta Rainer yang langsung disetujui oleh Russell.
Russell pergi ke arah wanita yang tengah menundukkan kepalanya, sambil mendekap tubuhnya sendiri. Ia tengah mencoba mengatur napasnya yang memburu dan mencoba untuk tetap tenang. Ditengah gejolak perasaan yang begitu besar.
"Babe, aku keluar sebentar ya? Mau beli rokok," ucap Russell, yang seketika membuat Lily membeliak tak percaya. Ia akan ditinggalkannya? Bersama orang yang kemarin malam memangsanya itu??
"Nggak! Aku ikut!" seru Lily dengan cepat dan lantang. Berada di dalam sini saja sudah seperti bencana untuknya. Dan sekarang, ia malah akan ditinggalkan begitu saja, bersama dengan lelaki yang mengerikan itu.
"Aku cuma sebentar. Nggak usah ikut. Kamu mengobrol dulu saja dengan kakakku ya? Nggak sampai 10 menit. Aku pasti ke sini lagi," ucap Russell yang berlari kecil ke pintu keluar dan langsung menutup pintunya rapat-rapat.
Lily shock. Ia bergegas pergi ke arah pintu. Menyentuh pegangan dan berusaha untuk membuka pintu, yang sudah kembali terkunci secara otomatis.
Saliva ditelan dengan begitu berat serta susah payah oleh Lily. Tubuhnya terasa lemas. Perasaan itu kembali datang. Rasa ingin berteriak dan meminta siapapun untuk membukakan pintu. Membiarkan ia keluar dari perangkap ini lagi. Hingga sebuah lingkaran tangan pada pinggang Lily yang ramping, membuat ia melonjak kaget.
Dengan cepat Lily menoleh ke arah belakang tubuhnya dan mendapati, Rainer yang sudah mendekap tubuhnya dengan sangat erat.
"Lepas!" lirih Lily sambil berusaha melepaskan lingkaran tangan Rainer di pinggangnya. Namun, bukannya terlepas. Rainer malah menambahkan satu lingkaran tangan lainnya di pinggang Lily. Membuat si pemilik tubuh tak berkutik.
"Lepasin aku!" pekikan yang tidak begitu lantang Lily lakukan. Ia jijik, risih dan tidak sudi disentuh seperti ini, oleh lelaki yang telah menjamah tubuhnya tanpa ampun kemarin.
Rainer tersenyum menyeringai. Ia mendekat dan berbisik di dekat indra pendengaran Lily.
"Kenapa sayang? Bukankah, kita sudah pernah lebih dekat dari ini??" bisik Rainer dengan nada horor.
Lily semakin kalut. Ingin lepas. Namun begitu sulit. Karena tubuhnya yang didekap dengan begitu erat.
"Lepas! Atau aku akan cerita semuanya kepada Russell!"
Sebuah ancaman yang Lily layangkan dan sukses membuat dekapan Rainer mengendur. Lalu, dengan cepat Lily pun melepaskan tautan tangan Rainer pada pinggangnya.
Rainer bertolak pinggang. Ia tersenyum sambil mengusap rambut di bawah dagunya. Lalu maju mendekat dan mendesak Lily pada pintu.
Lily terbelalak. Ia hendak menghindar dan dengan cepat, kedua tangan Rainer memblokir jalan Lily. Membuatnya stuck di tempat.
"Kamu mau apalagi!!" pekikan yang kembali Lily lakukan.
Rainer tak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil memandangi tubuh Lily, dari atas hingga ke bawah dan mengucapkan kalimat, yang membuat Lily terkejut bukan main.
"Aku ingin lagi. Aku menginginkannya lagi. Tubuh kamu ini," pernyataan yang begitu frontal, yang Rainer ucapkan tanpa beban.
Lily membuat mulutnya dan ternganga. Apa lelaki ini sudah kehilangan akal sehat dan juga kewarasannya?? Disaat seperti ini, ia masih saja bisa berpikiran yang tidak-tidak.
"Kamu jangan gila!" pekikan yang kembali Lily lakukan.
Lily berusaha pergi dari hadapan Rainer. Namun, Rainer menahan kepergiannya.
"Lepas! Aku mohon lepas!" pinta Lily dengan nada memelas.
"Hei tenang saja. Kali ini tidak akan menyakitkan seperti kemarin. Ayo kita bermain sebentar," ajak Rainer sambil menelan salivanya sendiri.
Tubuh mungil di depannya bak candu yang tak terelakkan. Ia benar-benar menginginkannya lagi. Sebuah penyatuan panas, yang membuatnya merasa puas.
Tiba-tiba saja. Pintu seperti dibuka dari arah luar. Sontak Rainer menjauh dan berusaha untuk terlihat tenang. Ditengah hasratnya yang menggebu-gebu.
Sementara Lily ikut menyingkir sambil mendekap tubuhnya sendiri.
"Lho, kok kamu di sini?" tanya Russell, yang ketika membuka pintu, dan malah mendapati Lily di sana. Bersama sang kakak yang melirik sekilas ke arah Lily. Sebelum akhirnya, menatap Russell.
"Dia ingin menyusul kamu. Dan kakak sedang berusaha mencegahnya."
Sebuah kebohongan, yang membuat Lily ingin sekali tertawa dengan keras.
"Kenapa sih, Babe? Aku kan udah bilang tunggu di sini," ucap Russell.
Lily menghembuskan napas dari dalam mulutnya.
"Kita udah datang ke sini, ini juga udah malam. Ayo kita pulang, Aku mau pulang sekarang," pinta Lily dengan air bening yang tertahan di pelupuk matanya.
"Tapi kita baru sampai. Apa tidak sebaiknya kita...,"
"Nggak!" Sebuah penolakan tegas yang Lily lakukan, sebelum Russell menyelesaikan ucapannya. Ia sudah sangat muak berada di sini. Dan ingin pergi secepat mungkin dari sini.
Russell terlihat serba salah. Tidak enak dengan kakaknya. Tapi demi Lily ia pun tidak bisa menolak permintaannya. Lagipula, ia memang sudah berjanji untuk tidak pulang terlalu larut.
"Kak, Russell...,"
"Pergilah. Antarkan dia. Ini sudah malam. Sangat berbahaya bagi kalian nanti." Sebuah lampu hijau yang Rainer berikan.
"Iya, Kak. Russell pergi dulu," ucap Russell seraya memberikan rokok di tangannya kepada sang kakak dan pergi setelahnya, untuk mengantarkan Lily.
"Hah... Kenapa dia datang sangat cepat," ucap Rainer ditengah gejolak hasrat, yang gagal untuk tersalurkan. Karena Russell telah membawa mangsanya pergi.