Bab 7. Bunga Yang Hancur

1072 Kata
"Jadi, bagaimana hasilnya, Dok? Putri saya sakit apa? Apa dia benar-benar sakit? Atau mungkin...," Jasmine tak kuasa melanjutkan perkataannya. Ia benar-benar tidak siap, bila hal buruk yang berputar di dalam kepalanya itu sepenuhnya benar. Sementara Lily pun langsung menatap sang Mama, dengan tatapan penuh kebingungan. Bukan hanya perkataannya yang membingungkan. Akan tetapi, ekspresi wajahnya pun menyembulkan hal serupa. "Tidak apa-apa. Putri ibu baik-baik saja. Hal seperti ini memang seringkali terjadi, pada trimester pertama kehamilan." Seketika Lily memalingkan wajahnya dan menatap Dokter di hadapannya, dengan tatapan tidak percaya. Apakah ia sedang bermimpi? Atau mungkin, ia sedang tidak fokus dan salah mendengar. Lily kembali mengedarkan pandangannya ke arah sang Mama. Tidak ada ekspresi. Jasmine hanya sedang tertegun, sambil menyentuh d**a dengan telapak tangan kanannya. "Dok, itu bukan hasil tes saya kan??" tanya Lily yang kembali menatap Dokter di hadapannya, yang masih menyentuh selembar kertas putih. Dokter tersebut nampak melihat kembali nama yang tertera di sana, serta memperbaiki letak kacamatanya dan menyebutkan nama, yang tertera pada selembar kertas di tangannya. "Ini hasil tes milik Lily Silvia Kusuma, usia 19 tahun." Lily bergeming. Tubuhnya terasa begitu lemas dan juga tak bertenaga. Apa ini?? Hal macam apa yang sedang terjadi di sini?? Setelah apa yang terjadi kepada dirinya dan sekarang, ia harus kembali menanggung aib yang lebih besar lagi. Lily menelan salivanya dengan begitu sulit. Ia kembali memutar kepalanya perlahan. Memandangi sang Mama yang terlihat begitu shock. Dan tidak kalah terkejutnya dengan diri Lily sendiri. Lily mencoba mengatur napasnya yang sesak, yang serasa diikat dengan sangat kencang. Sebelum akhirnya, mengalihkan pandangannya ke arah perutnya sendiri, yang masih terlihat rata. "Saya akan tulisan resep vitamin untuk kandungannya ya?" ujar Dokter tersebut sambil mengambil selembar kertas putih dan polos, lalu mengguratkan tinta hitam di atasnya. Sepasang ibu dan anak itu hanya saling diam tidak ada yang berkata-kata. Tidak ada yang ingin membahas. Apalagi menghakimi secara langsung. Hingga kertas resep diberikan. Lily dan Jasmine keluar bersama, menuju tempat pengambilan resep obat. Masih sama. Keduanya masih sama-sama bungkam. Bahkan ketika keduanya sudah selesai mengambil berbagai jenis vitamin dan pulang dengan menggunakan taxi. Jasmine berusaha menahan diri. Ia tidak menghakimi putrinya secara langsung. Ia ingin tiba di rumah terlebih dahulu. Sementara hal yang sama pun Lily lakukan. Ia hanya berdiam diri, sambil menundukkan kepalanya. Kini, taxi berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis, dengan bunga yang begitu banyak di pekarangan rumah tersebut. Jasmine melangkah keluar lebih dulu dengan langkah yang cepat. Ia tak serta merta masuk. Dan sibuk mengurusi bunga mawarnya, yang jatuh dan hancur berantakan di bawah. "Siapa yang membuat bunga ini jatuh dan hancur berantakan seperti ini!" pekik Jasmine bersungut-sungut. Lily hanya tertegun sambil memandangi sang Mama, yang sibuk memindahkan tanaman bunga mawar, yang berserakan di bawah, dengan pot yang sudah hancur. "Dasar bunga tidak berguna! Sudah memiliki duri saja, masih ada binatang yang bisa menyentuhnya dan membuatnya jatuh!" seru Jasmine, sambil terus memindahkan tanah berserta dengan tanamannya. Lily bergeming dengan sunggingan di bibir. Kenapa ia merasa ibunya kini tengah menyindir dirinya? Apalagi, sejak kecil ibunya itu seringkali mengatakan, bila Lily itu seperti bunga mawar. Begitu cantik dan juga indah. Dan berharap, bila Lily pun tumbuh seperti bunga mawar, yang cantik, indah dan tidak mudah tersentuh karena ada duri yang melindunginya. Dan sekarang, Jasmine merutuk bunga tersebut. Merutuk betapa tidak bergunanya semua duri pada bunga itu, yang tetap bisa membuatnya jatuh dan hancur berantakan. Seperti tengah merutuk dirinya bukan? Yang tidak bisa menjaga diri, hingga membuat kehidupannya hancur berantakan seperti ini. "Aduh!" Jasmine memekik keras, sambil menatap jarinya yang tertusuk duri. Dengan cepat Lily berjongkok di samping sang Mama untuk melihat keadaannya. "Ma! Biar Lily aja!" Lily mulai berusaha mengambil alih bunga mawar dari hadapan Jasmine. Namun, Jasmine malah menepis kasar tangan Lily dan menjauhkannya. "Tidak usah! Kamu tidak akan bisa! Mengurus diri kamu sendiri saja tidak bisa! Apalagi dengan bunga ini!" pekikan lantang yang bukan hanya mengganggu indra pendengaran Lily. Tapi, terasa begitu menyesakkan dadanya. Kedua bola mata Lily nampak berair. Ia hanya dapat berdiam diri sambil memperhatikan sang Mama yang tidak mempedulikannya. Bunga mawar sudah kembali Jasmine tata ke dalam pot yang baru. Ia meletakkannya kembali pada tempatnya semula. Di atas rak bunga dan bersebelahan dengan bunga mawar lainnya. Setelah itu, Jasmine pergi untuk mencuci tangan. Diikuti Lily yang selalu mengekor langkah kaki Jasmine. Hingga menuntun mereka ke ruang tamu. "Ma, Lily mau bicara sama Mama. Tolong dengarkan Lily ya?" pintanya dengan raut wajah memelas. Jasmine masih nampak acuh tak acuh. Ia terlihat sibuk sendiri. Menata ulang semua bunga asli, yang berada di dalam pot berisi air. Lily berdiri di samping kanan Jasmine dan mulai berusaha memulai pembicaraan. "Ma, Lily minta maaf. Tapi Lily punya alasan. Lily bukannya nggak bisa jaga diri. Lily...," Perkataan Lily terhenti. Tatkala ia melihat sang Mama yang menatap tajam ke arahnya. "Bukan tidak bisa menjaga diri???" ulang Jasmine, sebelum akhirnya sebuah senyuman pahit menghiasi bibirnya. "Lalu semua ini apa maksudnya!!? Kalau memang kamu bisa menjaga diri. Seharusnya, hal seperti ini tidak akan terjadi Lily. Tidak akan pernah!!" pekik Jasmine dengan kelopak mata yang terbuka lebar-lebar. Napasnya nampak memburu dan amarah di dalam dirinya pun menggebu-gebu. Lily menundukkan kepalanya. Air bening yang berusaha ia tahan, akhirnya luruh dari kedua sudut matanya. Lily berusaha menyeka genangan air di kedua belah pipinya. Berusaha untuk tetap menjelaskan apa yang terjadi. Walaupun, hal itu terasa sangat menyakitkan, karena harus mengingat lagi, rentetan kejadian memilukan yang menimpa dirinya. "Maaf, Ma. Maafkan Lily. Lily memang bodoh. Harusnya Lily nggak ke sana. Harusnya, Lily pergi dari sana," ucap Lily diiringi isak tangisnya yang pecah. Jasmine memalingkan wajahnya. Kedua tangannya yang berada di atas meja pun mengepal. Ingin rasanya merutuki kebodohan putrinya ini. Tapi untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur terjadi. Merutuk pun sudah tidak ada gunanya lagi. "Kamu tahu? Kenapa Mama tidak melarang kamu berdekatan dengan laki-laki?? Itu karena Mama tidak mau kamu sampai diam-diam bertemu laki-laki di belakang Mama. Mama dengan sengaja membebaskan kamu. Dengan harapan, kamu bisa menjaga diri. Bisa memegang kepercayaan yang Mama berikan. Tapi sekarang apa?? Kenapa semuanya jadi seperti ini?? Kamu menyalahgunakan kepercayaan Mama?? Kamu hancurkan hidup kamu sendiri!!" cecar Jasmine tanpa ampun. Lily menggelengkan kepalanya. Semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya adalah salah besar. "Sekarang panggil laki-laki itu kemari! Suruh dia menghadap Mama hari ini juga!" cetus Jasmine. Lily menelan salivanya sendiri, lalu berkata, "Nggak bisa, Ma." "Kenapa?? Kamu takut menyuruhnya kemari??" Lily menggeleng kepalanya. "Bukan dia, Ma. Bukan dia orangnya," ucap Lily dengan bibir mencebik. Kerutan muncul di dahi Jasmine. "Ha? Apa???"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN