9. Kehebohan di Marc

2146 Kata
Yang diingat oleh Vena adalah malam dimana ia pernah mabuk, malam saat satu masalah besar muncul karena satu hal. Apalagi kalau bukan karena club night, bernama Marc ini. Semuanya berawal dari tempat paling bising yang akhir-akhir ini Vena sesali karena pernah main dan minum di sana. Benar-benar ia menyesal dengan pengalaman minum di club. Mungkin orang akan have fun, saat ia masuk ke dalam ruangan penuh sesak itu, namun Vena sekali lagi menyesal, bukan karena tempat itu menjadi biang masalah ia putus dengan Fajar. Tapi karena tempat ini, ia menjadi satu-satunya orang tergoblok karena pernah meminum berbotol-botol martiny dan tequilla. Ia masih ingat bagaimana rasa dari minuman tersebut saat melewati tenggorokannya dengan perlahan, bahkan, Vena sangat ingat bagaimana minuman itu ia tandaskan dan berulang kali meminta tambahan kepada bartendernya. Untuk alasan minuman yang rasanya tidak enak dan terasa panas di tenggorokan itulah ia menyesal telah masuk ke club dengan sadar seperti ini. Bahkan, jika nanti Danil dan Ita membujuk setengah mati untuk kembali mabuk-mabukan, ia berjanji tak akan pernah mengiyakan ajakan itu lagi. Karena sekarang, mata Vena kembali menangkap papan nama besar bertuliskan 'Marc' di depannya. Suara bising dengan alunan musik super beat itu nyaris membuat telinga Vena pekak. Gadis itu menoleh pada Ita yang mendorong tubuhnya dari belakang. "Eh, kita udah ditungguin yang lainnya di dalem loh, Non," ujar Ita dengan gemas saat tahu Vena masih saja terbengong gaje di depan pintu masuk. Danil yang paling gemas malahan, ia langsung menyeret dan menggamit lengan Vena tanpa aba-aba. Gadis itu tersentak, langsung saja menyentak jemari Danil yang menggenggam lengannya, maksudnya ia refleks berbuat seperti itu. "Nggak ada mabuk, kan?" Vena memicingkan matanya dan mendesis penuh selidik. Gimana tidak curiga, muka-muka macam Danil dan Ita yang doyan mabuk dan suka kebisingan di Club jelas bikin Vena langsung mencureng karena takut bila cowok itu mengadakan pesta miras dan berbuat kekacauan pas pulang nanti. Danil langsung menggeleng, dengan tatapan yang dilemparkan dengan lembut seolah-olah semua yang ditakutkan Vena terlalu berlebihan. "Gue udah handle semuanya Ven, nggak usah khawatir. Lagian kalo ada yang mabuk, gue udah jaga-jaga ke mereka semua supaya nggak buat keributan." Vena baru saja melangkah ke dalam, lantas ia mengernyitkan dahinya saat mendengar musik yang memekakkan telinganya itu. "Kayaknya keluar dari sini gue harus ke dokter THT deh." *** Rendy sudah meramal apa yang terjadi di dalam Marc malam ini, untuk itu ia sengaja datang paling akhir untuk menghindari adanya kericuhan, kegaduhan, dan cewek terbang ke pelukannya tanpa izin. Lebih keren lagi karena di depannya saat ini berdiri tiga orang yang saling dorong mendorong. Rendy tersenyum kecil, melihat Vena dengan muka cemberut enggan untuk masuk. Gadis itu melotot tiap kali ada seseorang yang menyenggol tubuhnya di dance floor. "Kenapa lo milih party di tempat kayak gini sih? Kita kan bisa nyari tempat karaoke yang nggak harus berjuang lewatin lautan manusia nggak ada otak gini, Nil," omelnya dengan teriakan. Danil melengos. Ita sudah berjalan mendahului mereka. Tahu kalau Vena susah diajak ke sini kecuali kalau dia memang stress berat dan nggak tau mau apa. Untuk itu, Danil menyeret paksa Vena dengan segala bentuk ucapan manis agar gadis itu tidak lagi berontak. Mulai dari ucapan, "Kalo lo diganggu sama Alex gue tonjok mukanya." Bahkan dengan selebornya, Danil juga berteriak ke arah Vena, "Kalau gue mabuk sampe bikin lo nggak nyaman, gue rela disunat dua kali sama lo." Rendy ngakak. Ditepuknya bahu Danil dan tersenyum penuh arti ke arahnya, cowok itu tersenyum geli. "Gue tau kurang pro, kan?" Rendy mau tak mau harus tertawa mendengar ucapan Danil, cowok itu menepuk pundak Danil. "Gue suka sama orang kayak elo. Cepet banget pahamnya." Sembari mengibaskan tangannya, ia juga memandang jijik ke arah Rendy. "Jijik gue ke elo, Ren sumpah, jangan-jangan elo hombreng," teriak Danil langsung lari, meninggalkan Vena. Vena langsung panik melihat Danil yang sebelumnya berada di belakang Vena sembari terus menjaganya agar gadis itu tidak kabur justru malah lari lebih dulu. Gadis itu menghentakkan kakinya. "Tu anak malah sengaja ninggal gue pake lari-lari lagi. Gue balik aja kali, biar dia nyariin gue." Cewek itu memutar badannya dan tepat menghantam tubuh Rendy. "Buset dah, ini orang tubuhnya sekeras besi—" Vena mendongakkan kepalanya lantas terpaku. Mulutnya yang sejak tadi mengomel langsung mengatup rapat, melihat sosok menjulang yang kini berada tepat di depannya. "Ini party Ven, lo nggak bisa asal balik gitu aja. Temen-temen udah booking tempat sama makanan loh." Rendy menundukkan badannya, menatap Vena dari jarak paling dekat dengan intens, tatapan lurus yang menghujam manik mata gadis itu, membawanya dalam keterpukauan akan pesona Rendy. Seketika otak gadis itu lumpuh dengan tatapan hangat yang berimbas pada pipinya yang ngeblush. Rendy menjauhkan badannya, ia memalingkan wajahnya saat tahu Vena merona. Cukup untuk membuat gadis itu merasa salah tingkah. Vena kelabakan, ia lantas mendengkus dengan keras, seperti membuang semua kegugupannya di lantai dansa. "Tapi, gue nggak suka mabuk!" teriak Vena. Kencang sekali untuk upayanya mengalahkan suara musik yang nyaris bikin dia tuli. Rendy menoleh dan menundukkan kepalanya dengan alis berkerut. "Lo bisa milih buat nggak mabuk." "Oh ya?" tanya Vena. Rendy mengangguk, ia mengangkat telunjuk dan jari tengahnya untuk membentuk simbol yang ditekan dengan kata. "Sumpaaah!" Vena mengangguk dan mengamati sekitarnya sebelum akhirnya ia berjinjit dan bertanya di telinga Rendy. "Emang di sini ada jus alpukat?" Sumpah demi apa?! Ini salah satu bentuk pertanyaan tergoblok yang didengar oleh Rendy. Vena itu polos atau pura-pura tidak tahu? Sengaja bikin Rendy kesal jelas tak mempan, namun melihat tatap penuh tanda tanya Vena, spontan memunculkan senyum geli di bibir pria itu. "Lo belum pernah ke club ya Ven?" tanya Rendy sangsi. Masalahnya, Rendy ingat betul dengan cewek di depannya ini. Cewek ini adalah Vena yang sama dengan cewek yang mabuk dan ditolongnya satu bulan yang lalu. Cewek yang sempat bikin Rendy kelabakan dan dengan gobloknya menolong Vena sampai terdampar di apartemennya. Cewek yang sempat menggodanya dengan sentuhan-sentuhan s*****l dan bikin Rendy nggak bisa move on dari wajah cantiknya sampai akhirat. Dan Vena di depannya ini jelas adalah Vena yang dahulu, diperkuat dengan adanya sifat defensif Fajar kepada gadis itu agar tidak dekat dengan siapapun, dan cowok bernama Fajar itu lah yang ingat dengan kejadian malam ia menolong Vena. Jadi, bukan masalah orang yang berbeda, namun Vena yang berbeda kali ini. Gadis itu seperti orang pertama yang nggak pernah masuk ke dalam club meski Rendy tahu bahkan Vena pernah semabuk itu. "Gue bakal nemenin lo nyari jus alpukat asal kita mampir ke sana bentar ya. Seenggaknya temen-temen liat kita hadir di sana, lepas itu gue janji nemenin elo!" Rendy menggenggam tangan Vena dan meremas tangan itu untuk meyakinkan sekali lagi bahwa apa yang diucapkan oleh Rendy adalah sungguhan. Melihat hal itu, Vena menatap Rendy sekali lagi lantas melirik ke arah kedua tangan mereka yang bergenggaman. "Lo yakin bakal nemenin gue nyari jus alpukat? Nggak nyesel karena nggak ikut party?" tanya Vena dengan teriakan yang gila-gilaan. Rendy mengangguk. Demi cewek yang bikin dia nggak bisa move on dan setiap hari terbayang. Cewek yang kemudian bikin Rendy betah di kantor meski setiap hari rasanya ia pengen mati karena takut di gangbang cewek sekantor. Rendy memilih kabur bersama Vena malam ini juga. Dengan memberikan satu kejutan yang bikin cewek sekantor kelabakan, lantas kabur adalah salah satu cara paling indah agar mereka semua tak lagi mendekati Rendy. "Gue bakal nemenin elo, Venaaa." Rendy menggamit lengan Vena lantas berlarian dengan cepat menyusup diantara tubuh-tubuh yang meliuk dengan tarian absurd. "Mau kemana?" tanya Vena. Rendy berhenti sejenak saat mereka berdua berhasil terjauhkan dari kebisingan dan keramaian dance floor di bawah sana. Cowok itu menggenggam daun pintu di depannya lantas melihat Vena membungkukkan badannya dengan terbatuk-batuk. "Anjir! Perasaan telinga gue deh yang kerasa pengen tuli dengerin musik sekenceng itu, kenapa tenggorokan gue yang sakit ya," ucapnya. Rendy tersenyum geli. Cowok itu meraba sakunya dan meraup permen dari sana. "Makan permen ini dulu deh, biar tenggorokan lo mendingan." Vena mengernyitkan dahinya lantas menoleh sangsi pada Rendy. "Emang bisa?" Cowok itu mengedikkan bahunya, bersamaan dengan Vena yang merapikan dress-nya, Rendy membuka pintu dan masuk ke dalam. Begitu masuk, Vena langsung paham dengan apa yang terjadi. Ia menepuk jidatnya pelan. "Mampus, tamat riwayat gue pulang dari sini!" Tatapan mata yang terlihat sinis dan tak suka segera hadir terpampang di depan mata Vena. Genggaman tangannya dengan Rendy segera ia lepas. Rendy menoleh kaget. "Udah ngumpul kan? kita pesta gaes!" seru Danil yang terlihat bersuka cita. Melupakan dan tidak paham dengan tatapan di sekitarnya, para cowok jelas terlihat bahagia, namun kawanan cewek di sana jelas berada dalam satu pemikiran yang sama. Kenapa Rendy datang barengan Vena? Jelas sekali itu yang terlihat dan berjejal di benak mereka, Vena itu sudah ada Fajar. Cowok ganteng idaman kantor yang sampai sekarang bikin iri karena cowok itu belum bisa move on dari Vena. And now ... what the— Fajar pergi ke luar kota dengan direksi, berani-beraninya Vena ngembat Rendy? Di depan mata mereka semua? Pemikiran itu segera mencekik Vena dengan kecepatan tangan-tangan yang kerasukan dan tak sabar ingin mencekiknya. "Gue bisa mampus diterkam mereka semua, Ren," bisik Vena dengan mata melotot. Rendy menoleh dan menggenggam tangan Vena lebih erat. "Lo nggak usah khawatir." "Nggak usah khawatir gimana?" omel Vena serta merta, cewek itu mendongak menatap Rendy, "lo nggak liat gimana tatapan mereka udah pengen nerkam gue aja?" Cowok itu tertawa kecil. Ia mengamati satu cewek yang kini berjalan ke arah mereka. "Lo liat tuh si Letta, itu Letta apa wanita ajijong di club ini ya? dandanannya mirip banget." Vena tersenyum kecil. Berusaha menyamarkan senyum lebar yang bisa bikin Letta semakin benci dengannya. "Kok lo dateng barengan Vena, Ren?" tanya Letta kenes sembari memberikan segelas whisky pada Rendy. Rendy langsung meneguknya dan tersenyum. "Gue ketemu sama Vena di lantai bawah. Ya sekalian bareng lah." Gadis itu melirik tajam ke arah Vena. "Bukannya Vena biasanya bareng sama Danil dan Ita ya? Kok bisa mencar?" Vena mengedikkan bahunya. "Danil ninggal gue tuh." Jawaban Vena jelas tidak dibutuhkan oleh Letta karena gadis itu sudah iri berat melihat Vena digandeng Rendy dengan erat. "Beneran kalian nggak sengaja ketemu?" Pertanyaan Letta sudah mirip interogasi pacar yang cemburu. Rendy sendiri tak ingin pusing dengan pemikiran gadis di depannya. "Nggak percaya? Tanya aja sama Danil." Rendy menggamit lengan Vena lantas mengikuti Alex yang kini bersiap untuk bernyanyi. Vena tampak tak nyaman dengan kondisi saat ini. "Kita udah nongol kan, Ren? Ayo dooong, keluar nyari makanan yang lebih niat," rengeknya. Rendy tak menggubris, gantinya ia malah mendekati Danil dan Ita. Berbisik satu sama lain dengan serius, Ita mengangguk, Danil berulang kali menatap Vena dengan pandangan tajam. Vena makin sebal. "Dasar cowok! katanya mau nemenin malah ditinggal ngobrol," gerutunya. Vena menunduk, memainkan segelas whisky di depannya tanpa minat. Sekali lagi, ia tak akan meneguk minuman jahannam ini. Mendadak beberapa pasang sepatu mendekat ke arahnya. "Nggak tau malu ya lo, Ven?" ucap Rea dengan sinis. "Maksud lo?" tanya Vena dengan kerutan tak paham. Letta menunduk, memiringkan kepalanya lantas berbisik tajam. "Lo pasti udah ngegoda Rendy juga kan? Nyadar dong, lo udah ada Pak Fajar, bisa nggak usah goda Rendy juga?" "Maruk amat lo jadi orang!" Ini apa-apaan? diancam pas acara beginian? Beraninya ngeroyok rame-rame lagi. "Heh! Gue nggak pernah goda Fajar ataupun Rendy ya," jawab Vena ketus. "Oooh, berani ya lo, nantang omongan gue?" Letta menaikkan suaranya beberapa oktaf. Vena menoleh, mendapati Irene yang tampak panik. Ia ditempatkan sebagai penjaga dan pengawas bila Rendy selesai berbincang dengan Danil di sana. Ancaman ini jelas dilayangkan dengan cara obrolan yang menajam, dilihat mungkin terlihat tengah berbincang, namun bila orang lain tahu, Vena tengah diancam dan diperingati keras-keras oleh Letta dan gengnya. "Let, suara lo!" Irene membunyikan alarm kewaspadaan itu kepada Letta. Gadis itu menoleh dan tampak semakin kesal dengan peringatan Irene. "Diem lu! Awasin Rendy aja!" "Tapi, suara lu bisa kedengeran sama Rendy, malahan Danil sama Ita udah ngelirik kita." Ita yang pertama kali sadar dengan formasi mencurigakan di belakang mereka, mungkin semua orang melihat Rea, Letta, dan Vena tengah berbincang dan asyik melihat Alex yang bernyanyi. Namun, itu bukan formasi normal untuk ukuran menikmati lagu. Lebih tepatnya itu formasi ancaman, dengan menempatkan Vena di tengah, Letta di kanannya, Rea di sebelah kiri, dan Irene yang badannya memang pantas untuk penutup bendungan waduk tampak menutupi formasi duduk itu agar tak terlihat oleh Danil, Ita, dan Rendy yang duduk di depannya. Rendy langsung menoleh dan berdecih kesal. Ia melibas tubuh Irene yang tengah menoleh ke belakang. "Vena, ayo pulang!" ajak Rendy dengan teriakan keras. Semua pasang mata yang ada di sana langsung terbelalak dengan ajakan yang nyata itu. Ajakan yang diteriakkan dengan teriakan keras yang masih berada dalam batas ajakan lembut membuat semua orang langsung berpikiran sama. Ditambah lagi, uluran tangan cowok itu kini disambut mesra oleh Vena. "Gue udah laper." Rendy merangkul lengan Vena, lantas mengangguk ke arah Danil dan Ita. "Kita balik dulu ya, kesian ini anak." Bersamaan dengan itu, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan kaki mereka keluar dari ruang karaoke, telinga mereka menangkap pertanyaan yang diserukan dengan keras. "Sejak kapan mereka deket?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN