8. The Reason

1600 Kata
Fajar keluar dari ruang direksi dengan langkah cepat, sejenak ia berhenti untuk sekadar menatap Vena yang duduknya paling belakang. Semua orang di sana sontak terdiam dengan ketakutan, wajah Fajar terlihat serius namun juga tidak ngeri. Hanya saja cowok itu terdengar menghela napas berulang kali. Disusul oleh beberapa tim inti atasan mereka, Fajar masuk ke ruangan kerjanya. Memberesi semua yang ada di mejanya. Diketiknya satu pesan untuk Vena sebelum akhirnya ia keluar tanpa menoleh sedikit pun. *** Fajar : Aku ada urusan di luar kota dengan direksi, meeting Minggu depan dibatalkan, kamu jaga diri baik-baik selama aku nggak ada di sana ya. Matanya kontan melotot. Ini menjadi berita baru yang datangnya bagaikan lotre, bener-bener bikin mata yang tadinya ngantuk langsung melek seratus persen. Bukannya, ia bermaksud menjadi anak buah yang buruk, namun, berita ini perlu dirayakan karena itu artinya mereka bisa seenaknya dengan pekerjaan. Tak ingin diucapkan, Vena segera mem- forward pesan itu ke teman satu kantornya. Otomatis, semua mata yang tadinya ngantuk dan terpejam kini benar-benar melek. Danil langsung bangkit, melongokkan wajahnya ke arah Vena. "Lo beneran nih Ven?" tanyanya memastikan. Vena mengangguk. "Sumpah pocong kalo beneran gue bo'ong!" Vena mengangkat telunjuk dan jari tengahnya dengan serius. Muka-muka di ruang tersebut langsung berubah. "Sering-sering Direksi sama tim inti keluar pada rapat gede. Kita-kita juga seneng kan dapet reward kayak gini." Letta tersenyum lebar. Rendy yang nggak tau apa-apa cuma bisa diam sementara semuanya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Contohnya saja Alex, cowok itu langsung mematikan laptop di depannya lantas duduk memesan makanan dan bermain ponsel dengan tenang. Danil langsung bermain poker barengan Ridho. Rendy sendiri juga bingung harus ngapain sebelum seseorang datang ke arahnya dan tersenyum. "Ini pada ngapain sih?" tanya Rendy tidak paham. Letta langsung duduk di samping Rendy dan menggamit lengan cowok itu dengan erat. "Direksi sama tim inti lagi ngadain rapat. Nggak tau ada apa, yang pasti lama kata si Vena." Rendy cuma bisa mengangguk dan tersenyum tipis. "Ntar malem dinner yuk, Ren?" ajak Letta kenes. Rendy tersenyum kecil. Danil, telinganya yang paling tajam kontan menimpali omongan Letta dengan ejekan, "Jangan mau deh, Ren, ntar lo di porotin sama Letta, dia kalo jajan nggak inget siapa yang bayar!" serunya. Semua orang yang ada di sana ngakak. Vena tertawa kenceng. Rendy ikut tertawa dan cukup membuat semua orang terpana. Rendy gitu, orang yang selama ini cuma diketahuinya tersenyum, paling banyak juga dia tersenyum lebar, biasanya cuma tipis atau sekadarnya. "Jangan deh, Let, gimana kalo kita party aja, kan jarang banget tuh ada acara kayak gini. Gimana? Setuju nggak?" Rendy melemparkan tatapannya ke arah semua orang. "Setuju!" Alex yang paling awal menimpali, sadar kalau dia itu cowok dengan tubuh kecil tapi porsi gede. Danil mengangguk. "Bagus tuh, Ren, kita bisa main ke Marc tuh ntar malem," usul Danil yang langsung ditanggapi dengan kisruh. "Mabuk mulu lo!" "Doyan cewek nih, Ita mau dikemanain?" Danil langsung meredam semua teriakan protes dengan tenang. "Guys, ini tuh acara party, jadi jangan ada cewek selain emang dari kita ya, terus yang namanya having fun tuh kalo enggak mabuk nggak enak!" Ita spontan menoyor kepala Danil dari belakang. "Alesan lo aja kali yang pengen mabuk!" Danil terkekeh. "Enggak koook." Vena cuma bisa tertawa. Rendy mengamati semua wajah itu dan terpatri pada sebentuk wajah Vena yang menikmati omongan semua orang. Kericuhan yang dibuat oleh kantor itu. Rendy tahu bahwa gadis itu tidak setuju dengan mabuk, tapi setuju dengan party. Rendy berdeham. "Gimana kalo kita party, ya minum asal jangan sampe mabok, setuju nggak?!" Dan keputusan itu dibuat! *** Hal yang paling bikin Vena susah adalah, pekerjaan numpuk dan malam nanti ada party, bukannya ia sok rajin ketika semua teman sudah pulang, ia masih berdiam di kubikelnya. Menatap layar membuat laporan. Rendy yang tengah berberes langsung melirik Vena, menatap gadis yang kini tengah serius di depan layar laptop dan bolak-balik menyesap kopi terakhirnya. "Kerjain besok apa nggak bisa Ven?" Tangan Vena sontak terhenti bermain di keyboard. Baru kali ini Rendy berbicara dengannya, bahkan ketika semua orang telah pulang. "Gue harus bikin laporan," jawabnya masih fokus pada laptop. Rendy mengintip dari belakang layar itu, mendapati Vena masih bingung dengan laporannya yang tinggal sedikit lagi. Vena melirik tajam, seperti terganggu dengan adanya Rendy yang saat ini tengah mengawasinya. "Lo kalo pulang ya pulang aja." Inilah Vena, diantara banyaknya cewek yang bisa tahan nggak mantengin Rendy seperti yang lain. "Gue bantuin aja ya," tawarnya sembari berganti posisi di samping Vena, menundukkan kepalanya ke layar Vena dan meneliti sebentar. Vena terhenyak, ia nyaris lupa cara bernapas melihat Rendy sebegitu dekatnya dengan dia. Maksudnya, ini Rendy loh, cowok yang sejak seminggu yang lalu bikin gempar satu kantor dan sekarang juga masih bikin gempar. Orang-orang pasti iri berat melihat Rendy seperti ini, rela menunggu Vena dan mengerjakan laporannya. "Gue ganteng, iya tau. Tapi, nggak usah melototin gue kayak gitu juga kali Ven," seloroh Rendy membuat Vena langsung melengos. "Ya sorry." Rendy memencet kata 'save' sebelum akhirnya ia menolehkan kepalanya pada Vena. "Kenapa? Baru liat kalo gue ganteng?" tanyanya narsis. Vena langsung mendecih. "Apa semua cowok emang punya kadar kepercayaan diatas rata-rata?" Bukan Fajar, bukan Rendy, meski sama ganteng, tapi haus pujian. Itu yang terpikirkan di wajah Vena sebelum akhirnya, Rendy menyentil dahinya dengan gemas. "Gue nggak kayak Fajar lo!" Fajar lo? Apa-apaan ini? "Maksud lo apaan pake bilang 'Fajar lo'?" Rendy langsung menoleh. "Emang Fajar mantan lo, kan? Ngaku aja napa sih?" Ini pasti kerjaan anak kantor! Karena tidak mungkin hal sesepele mantan aja diomongin kalau bukan mulutnya anak kantor. Tujuannya ya cuma satu, biar orang ganteng berikutnya yang masuk ke kantor mereka tidak mau dekat-dekat dengan Vena, tahu kalau Fajar itu masih cinta mampus dan nggak bakal rela kalau Vena pacaran dengan yang lainnya. "Berapa tahun pacaran?" tanya Rendy. Vena menoleh lantas menyesap kopinya, menghabiskannya hingga tandas sebelum ia beranjak dari duduknya. "6 tahun." Mata Rendy membesar. "Pacaran 6 tahun? Sekarang putus?! Wow!" Vena menoleh cepat. "Muka lo kenapa bahagia amat sih?" selidik Vena. Rendy tertawa. "Ya maksudnya tuh ya, pacaran 6 tahun tuh harusnya bisa nikah, ini malah ditinggal putus. Lo tau nggak 6 tahun itu waktu yang lama banget." "Bisa buat bangun rumah!" imbuhnya. Anjir! "Bisa dapet 2 unit motor." "Kalo nikah pasti udah punya 6 anak tuh!" "Yakalii!" Vena langsung menoyor kepala Rendy dengan ikhlas. Ganteng iya, bikin kesel juga iya. Cowok itu tertawa mengikuti langkah Vena yang semakin cepat. Gadis itu menatap langit sore yang sudah beranjak mengawali petangnya. Ia memainkan ujung sepatunya ke tanah, menggesek-gesekkannya dan menatap jalanan di luar yang mulai sepi. Rendy menatap ke halaman yang menyisakan mobilnya, bener-bener cuma satu mobil yang terparkir di sana. "Lo ... nggak bawa mobil?" Vena menggeleng. "Gue barengan sama Ita biasanya." Cowok itu menggamit lengan Vena yang langsung mendapat tatapan dari sang pemiliknya. Rendy langsung nyengir, terlihat kikuk. "Sorry Ven, tapi gue kebiasa gini. Masalahnya lo udah nggak ada temen lagi buat balik, masa iya gue ninggalin elo?" tanyanya. Vena sendiri cuma bisa mengangguk. "Thanks ya." "Buat?" Vena menggerak-gerakkan tangannya seperti ingin mengatakan bahwa hari ini Rendy sudah berhasil bikin Vena jadi jantungan saking nggak percayanya melihat cowok itu sebaik ini. "Buat semua kebaikan lo hari ini lah." Cowok itu mengangguk. "Alasan lo putus dengan Fajar kenapa?" tanya Rendy tiba-tiba, detik kemudian cowok itu meralat, "kalo gue boleh tau alasannya sih. Itu kan privasi lo ya?" Cowok itu seperti terlihat serba salah dengan pertanyaannya yang terdengar sensitif dan mau tahu banget. Vena jadi tersenyum, untuk kali ini saja, ia menemukan cowok yang benar-benar nggak maksa dan baik hati seperti Rendy. Cowok yang menurut Vena supel banget, meski minusnya ia ramah dengan semua cewek tanpa mau tahu apakah cewek itu baper atau enggak. "Alasan gue putus karena, yaah— Fajar tuh posesif banget. Dia pernah ngamuk karena liat gue mabuk terus ditolong cowok sampe di apartemennya. Paginya dia ngamuk besar, kita bertengkar dan ... putus!" Apartemen? Mabuk? Ditolong cowok? Jangan bilang kalau cowok yang dimaksud Fajar dan Vena kali itu, yang bikin masalah diantara mereka adalah ... Rendy! Mampus kalau beneran iya. "Tapi, lo nyesel gak bisa putus dari Fajar?" Vena langsung mencureng. "Reeen, please deh, gue udah lama banget pengen putus dari Fajar, gue pengen bebas dari Fajar lo tau nggak?" Mungkin cuma Vena yang bisa bahagia dengan keputusannya putus dengan Fajar, padahal di luar sana banyak sekali gadis yang ingin menjadi pacar cowok itu. "Apa cuma elo ya, cewek yang bahagia abis diputus Fajar?" Vena mengedikkan bahunya. "Kalo lo sendiri? Kenapa baik sama semua cewek? Pasti udah pernah ngapa-ngapain cewek banyak tuh." "Maksud lo?" Vena langsung mendekatkan wajahnya ke arah Rendy, membuat cowok itu menahan senyumnya. "Lo pasti seneng having se—" Rendy menutup mulut Vena dengan tangannya, cowok itu tertawa saat melihat wajah Vena yang kaget. "Enggak woeee!" Cowok itu melepas mulut Vena saat gadis itu meronta dengan keras. Begitu dilepas Vena langsung protes. "Ya terus apa dong? Masa iya lo emang baik sama semua cewek tanpa ambil kesempatan?" tanya Vena sewot. Rendy terdiam, kalau ditanya apakah ini pertama kalinya ia dekat dan dikerumuni cewek-cewek? Jawabannya tidak. Tapi, ini adalah pertama kalinya ia meminta informasi secara tersirat dari semua cewek untuk bisa tahu kabar Vena. Dan alasan mengejutkan Vena putus dengan Fajar membuat Rendy sekarang makin sadar, bahwa sejak awal Fajar memang cowok dengan porsi cemburu yang sangat besar. "Lo bener, gue ngedeketin semua cewek untuk dapetin manfaat dari mereka," jawab Rendy dalam. Vena mendengarkan dengan baik-baik. "Tuh kaaaan, gue bener. Coba bilang emang lo mau ngapain sama cewek satu kantor?" tanyanya tak sabar. Rendy tersenyum dan menatap ke dalam manik mata Vena. "Gue pernah buat satu kesalahan sama cewek sampai dia putus dengan pacarnya, dan gue pengen nebus dosa gue buat hal itu." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN