12. Teror Sekantor

1563 Kata
Yang dilakukan Rendy kali ini adalah cara yang tepat, cowok itu sudah mengambil satu langkah untuk memangkas langkah lain agar Vena tidak disakiti. Bukannya ia tidak tahu, tapi dua mobil di minimarket seberang kantor itu sudah berhenti sejak tadi, seperti menunggu bukan membeli barang kebutuhan. Dan pilihan Rendy sangat tepat di saat matanya menangkap dua raut wajah yang menatap mereka dengan pandangan terpana. "Anjir, makin menjadi aja itu anak ya, mentang-mentang nggak ada Pak Fajar terus dia bisa seenaknya," omel Rea dengan gemas. Lain lagi dengan Rea, Letta justru mengamati semua itu sembari menenggak soft drink di tangannya lantas berpikir keras. "Apa sekarang selera cowok ganteng itu yang mungil-mungil macam Vena ya?" Hal yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Rea, masalahnya ya itu tadi, terlalu konyol, cowok ganteng pasti lebih milih cewek cantik, dan sebagai orang yang merasa lebih cantik dari Vena, Rea jelas tidak menerima dugaan sementara yang dilontarkan dari Letta. "Ini pasti ada unsur pendukung lain yang bisa bikin cowok ganteng macam Rendy dekat dengan Vena," desis Rea gemas. "Apa?" "Vena pasti mandi kembang tujuh rupa!" Dan Letta terpana! *** Berita itu cepat menyebar secepat kiatan cahaya dan berembus sekencang angin musim dingin, berita bahwa Rendy telah terkena sihir, pelet, dan segala bentuk hal yang berbau dukun tersemat dalam diri Vena. Orang sekantor langsung saja melirik Vena dengan sinis, pelototan yang sangat tajam. Sementara itu Vena terkejut dengan satu berita yang datangnya secara tiba-tiba dan makin menjadi-jadi. Mandi kembang tujuh rupa?! Gadis itu memelototi cermin di depannya dengan mata yang dibukanya lebar-lebar. Gila aja sih orang yang percaya bahwa Vena itu tengah mencoba usaha perdukunannya untuk melet Rendy. Demi apapun! Dia shock banget akan satu berita yang tidak bisa dilogis, memang seburuk itu apa wajah Vena sampai ia frustrasi untuk datang ke dukun biar cowok sekeren, secakep, sekaya, dan setenar Rendy bisa suka sama dia. Kalau pun harus melet, kenapa pula dia melet Rendy, nggak sekalian aja dia melet Theo James yang sudah ketahuan gantengnya. Dan yang paling bikin Vena benci adalah masalah ini merebak di seluruh penjuru kantor, disebar lewat sebuah foto dimana ia dibonceng Rendy. Sore, itu pasti kemarin. Danil sama Ita yang paling geram, masalahnya sepele, tapi bikin Vena jadi tertekan macam ini. Bahkan sampai Vena memilih pindah kubikel supaya ia tak dekat lagi dengan Rendy. Alasannya, agar semua orang tahu bahwa yang dilihat mereka tidak seperti yang mereka duga. Rendy itu cuma kebetulan memang lagi dekat dengannya, lagi baik, dan ia tidak pakai hati menghadapi Rendy. Alex yang tempatnya tepat di depan Danil langsung menoleh kaget ke arah Vena, mendapati gadis itu duduk dengan muram dan cemberut. "Lo ngapain coba tinggal di sini, kan tempat lo di pojok sana, Ven," tegur Alex curiga. Vena mempoutkan bibirnya, merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang datangnya cuma makin bikin dia gondok. Alex pasti tahu kalau sore itu ia akan dibonceng Rendy, sedangkan memang yang paling akhir pulangnya itu Rendy dan Alex, pasti dua orang itu yang menyebar foto mereka. Tidak mungkin satpam kantor ikut terlibat usaha untuk memojokkannya seperti ini. Dengan segala bentuk kebencian di mukanya, ditatapnya Alex yang masih saja melongokkan kepalanya di atas laptop Vena, ia memicingkan matanya untuk menatap Alex secara intens. "Pasti elo, kan yang udah nyebarin foto gue kemarin sore barengan Rendy?" tanya Vena tajam, menuduh, dan bikin Alex ternganga. Niat hati pengen menolong Rendy yang kemarin sore tiba-tiba datang ke mejanya lantas berbisik. "Kalo mau uang seratus ribu, gue kasih lo kerjaan enak." Dan demi uang merah bergambar presiden Soekarno-Hatta itu, ia mau membantu Rendy untuk membawa mobil Vena sampai dengan selamat di depan rumah gadis itu. Alex bukannya mata duitan dengan mengiyakan begitu saja, tapi karena Rendy bilang, kalau Alex mau membantunya, berarti ia tengah menjalankan misi suci. Menjadi penyelamat bila ada seseorang yang berani mencoba mencelakai Vena. Dengan begitu, berarti ia telah menyelamatkan satu nyawa manusia dari tangan psikopat tak berotak. Itulah mengapa sore itu ia pulang terakhir, takutnya kalau di tengah jalan bakal ada yang membegal Vena dengan alasan ia iri dan dengki karena gadis itu bisa dekat dengan Rendy. Nah! Kejadian beneran, kan? Pada kenyataannya yang namanya haters itu pasti punya segala caranya untuk menjatuhkan korbannya. "Gue nggak mungkin kayak gitu, Ven," jawab Alex dengan muka serius seolah apa yang dituduhkan oleh Vena sangat menyakiti hatinya. Dan raut muka bersalah milik Alex yang mirip dengan terdakwa tidak bersalah membuat Vena bimbang, gadis itu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja Danil. Berpikir keras siapa yang sudah berbuat onar dengannya. Kalau bukan Alex yang bikin ulah, ini pasti kerjaan Rendy, kembali lagi ditatapnya Alex dengan tajam. "Kalo bukan elo yang bikin geger, berarti Rendy nyuruh elo buat foto kita pas boncengan?" Mata Alex membulat, apa lagi ini Ya Tuhaaaan! "Enggak, Veen, kemaren Rendy cuma nyuruh gue buat bawa mobil lo doang, sumpah gue gak bo'ong!" "Ya terus siapa?" Alex mendecakkan lidahnya kesal. "Kenapa lo nggak mikir kalo itu dari kawanan Letta? Bisa aja saking irinya dia sampe bikin berita kayak gini?" Dibanding dia harus menuduh Letta, sebenarnya ada banyak orang yang saat ini tengah membencinya, dan mencari siapa dalang dibalik kegegeran ini sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Capeeeek! Dan tidak bakal nemu, karena ia juga yakin kalau semuanya sepakat untuk menutupi pelaku penyebaran foto itu. Untuk saat ini cara yang paling tepat adalah menjauhi Rendy, sejauh-jauhnya, menjaga jarak selebar-lebarnya, dan menutup mata sampai ia tidak tahu apa-apa, menulikan telinga agar ia tak mendengar banyak kabar berita. Begitu Rendy datang, cowok itu terkejut dengan sosok yang menduduki meja Vena saat itu, pria itu melirik Danil dengan alis terangkat, di sebelahnya Ita menatap Danil dengan raut sedatar tembok. "Di mana Vena?" Danil menunjuk dengan dagunya dan mendapati gadis yang dicarinya tengah sibuk dengan ponselnya, membiarkan suasana yang pasalnya tegang kini berubah menjadi ajang kontes perebutan hati Rendy lagi. "Kenapa dia bisa pindah meja?" tanya Rendy heran. Iya mendecak kesal. Keren sih, tapi kudet ya sama saja. Bahkan hal sepenting Vena saja ia tak tahu. Ita menunjukkan sebuah foto di layar ponselnya dan berkata pelan, "Gue kasian sama dia." Rendy mendecakkan lidahnya, heran dengan kerjaan orang yang nggak penting banget, segila-gilanya orang, kalau sudah ditolak ya nggak bakal maksa. Dilihatnya dari kiriman foto itu, banyak sekali hujatan dilimpahkan pada Vena, pantas saja gadis itu memilih pindah tempat. "Apa ada yang maksa dia buat pindah tempat?" tanya Rendy lagi, ia menatap seraut wajah mungil milik Vena dengan khawatir. "Enggak ada, tapi dia bilang mau jaga jarak dari lo," lapor Danil. Jaga jarak? Jangan sampai hal itu terjadi disaat ia sudah bisa mendekati Vena dengan segala macam cara. "Kasian, udah deh biarin dia di sana dulu," ucap Danil prihatin. Ita mengangguk. Rendy mengatupkan rahangnya yang mengeras, diliriknya satu per satu cewek yang ada di sana. Rea yang pertama kali tersenyum ke arah Rendy. Dengan satu tatapan yang dingin, cewek itu tersenyum gugup menyembunyikan ketakutan yang timbul dari tatapan cowok itu. Letta yang biasanya semangat banget pas Rendy datang jadi menciut melihat tatapan tajam milik pria itu. Lebih baik pura-pura tidak melihat daripada ia harus terpergok gugup telah menyebar foto Rendy dan Vena di grup. Kalau sudah sampai seperti ini, artinya Vena memang sudah tertekan sekali, dia tak ingin berjuang lantas terlepas begitu saja. Untuk itu begitu jam makan siang tiba, Rendy segera menghampiri Vena sebelum gadis itu lenyap dari pandangannya. "Vena, tunggu gue!" serunya lantas berlari mengejar Vena. Gadis itu menutup telinganya lantas berjalan cepat mendahului Ita dan Danil. Rendy mendecak kesal, ditubruknya tubuh dua orang itu dengan kasar. "Kenapa kalian nggak berentiin Vena sih!" omelnya. Ita menoleh ke arah Danil dengan ekspresi heran. "Nggak salah kita yang diomelin?" Sementara itu Vena terus mempercepat langkahnya, meski telah berjanji akan menulikan telinganya agar tak mendengar suara di sekitarnya, tetap saja Vena bisa mendengar bisikan bernada hujatan itu. "Masih baik dia mantannya Pak Fajar." "Nggak tau diuntung mah, udah dapet Pak Fajar masih aja nyomot Rendy." Vena menggunakan kedua telunjuknya untuk menyumbat telinganya. Seperti apa rasanya orang satu kantor membicarakan dirinya? Stress. Banget! Disaat itulah, mendadak sepasang lengan menyentuh tangannya, menarik paksa telunjuknya untuk turun, gantinya sebuah headphone menutup telinganya dengan sempurna, mengalunkan lagu indah yang bikin Vena langsung menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh, menemukan sosok Rendy yang kini berjalan bersisian dengannya. Tersenyum dan merangkul kedua bahunya dengan erat. "Dengerin aja lagu itu, biar lo nggak denger suara hujatan." Yang bisa dilakukan Vena hanyalah terpana dengan satu perlakuan manis dari cowok itu. Seperti apa yang diperintah oleh Rendy, Vena terdiam, membiarkan At my worst mengalun di telinganya dengan lembut. Kali ini Rendy menggenggam tangannya menuju sebuah jaguar hitam mengkilat. Seperti tersadar dengan realita, Vena menghentikan langkahnya, jika ia meneruskan langkahnya ke arah jaguar hitam itu, sama saja usahanya gagal untuk menjauhi Rendy. Pria itu menarik Vena. "Gue minta sama lo, Ven. Tolong, ikut gue sekali ini, gue mau bicara sama lo, sekali ini aja, dan lo bisa milih buat nerusin atau berentiin langkah lo kedepannya." Permintaan halus dan sorot harapan itu membuat Vena menelan ludahnya dengan cepat. Apa maksud Rendy? Terserang panik karena cowok itu mengutarakan permintaannya dan terlihat tak menerima penolakan dari Vena, akhirnya gadis itu mengangguk. "Sesuai janji lo, ini yang terakhir kalinya, selepas itu gue bisa minta lo jauh dari gue, kan?" Permintaan yang pahit, namun Rendy harus menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Gue janji!" Bersamaan dengan langkah kaki Vena yang masuk ke jaguar milik Rendy, beberapa pasang mata cewek di kantor langsung melotot. "Anjiiiiir, kalo balik ke kantor bakal gue jadiin lontong tuh cewek!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN