Bukan Satu-satunya Perempuan Di Hati

1072 Kata
-9- Perjalanan menuju tempat wisata akhirnya bisa menenangkan perasaan Ivana. Perempuan muda itu berusaha untuk menikmati waktu kebersamaannya dengan Zayan, karena setelah ini dia harus bersiap untuk berbagi. Sesekali perempuan berparas cantik itu menoleh untuk memperhatikan wajah sang suami. Rahang kokoh membingkai wajah rupawan yang merupakan perpaduan antara Jawa serta sedikit darah Pakistan dari sang nenek, yang ayahnya adalah warga keturunan dari negara tersebut. Kulit kuning langsat yang bersih serta sedikit cambang di sepanjang garis rahang, menambah ketampanan pria tersebut. Dulu, saat masih menjadi karyawan di hotel, Ivana tidak pernah berpikir akan menjadi istri Zayan. Sebab gadis itu sebenarnya lebih menyukai tipe pria tanpa cambang, seperti Hadrian. Mengingat sahabat karibnya itu membuat Ivana termenung. Teringat obrolan mereka beberapa hari sebelum pernikahan digelar. Saat itu, Ivana yang sudah dipingit akhirnya diperbolehkan untuk jalan ke seputar kompleks saja oleh ibunya. Itu pun setelah Hadrian berjanji akan menjaganya sebaik mungkin. "Kamu tau nggak, Na, kalau sebenarnya ... aku menyayangimu lebih dari sekadar sahabat," kata Hadrian, saat mereka tengah menikmati sate ayam di tenda lapak pedagang langganan. Ivana nyaris tersedak makanannya. Hadrian buru-buru menepuk punggung perempuan itu seraya mengulaskan senyuman tipis. "Pelan-pelan makannya," titahnya yang dibalas Ivana dengan pelototan. "Kamu yang bikin aku keselek, malah pura-pura nasehatin!" sungut Ivana. "Iyakah?" Hadrian memasang wajah tanpa dosa, sedikit meringis saat dicubiti Ivana. "Tadi kamu bilang sayang sama aku, kenapa nggak ngomong dari dulu," tanya perempuan itu sembari memandangi wajah pria tersebut. "Aku ... minder sama kamu." "Kenapa harus minder?" "Kamu kan tau kalau kehidupanku amat sangat sederhana, Na. Mana sanggup gajiku buat ngidupin kamu." Hadrian menghela napas berat. Meraih tangan Ivana dan mengusapnya dengan pelan. "Walaupun sakit, tapi aku tetap senang karena kamu bisa menikahi pria berduit," imbuhnya yang membuat mata Ivana berembun. "Aku menikahinya bukan karena harta, Ian. Tapi ... bakti pada orang tua, seperti kata Nia tempo hari." Hadrian manggut-manggut. "Semoga kamu beneran bahagia, Na. Doaku setulus hati untukmu." Keduanya saling menatap satu sama lain. Ivana tidak mengelak saat Hadrian merangkul pinggangnya dan merapatkan bahu mereka. Menempelkan kepala sambil menghela napas berat berkali-kali. Mengusap-usap lengan Ivana sebelum melepaskan rangkulannya. Kala acara pernikahan digelar, Hadrian tetap menampilkan wajah semringah pada khalayak. Mereka sesekali beradu pandang dan pria itu akan mengedipkan sebelah mata untuk menggoda Ivana. Perempuan itu menahan hasrat untuk menangis saat Hadrian dan Nia menyalaminya di pelaminan. Saat pria itu memeluknya bersama dengan Nia, tetap saja senyuman manis tidak pernah lepas dari wajah Hadrian. Padahal, Ivana bisa merasakan sedihnya hati sahabatnya tersebut. Semenjak saat itu Hadrian tidak menghubunginya sama sekali. Pesan yang dikirim Ivana melalui aplikasi hijau pun hanya centang satu sampai saat ini. "Ehm ... mikirin apa sih?" tanya Zayan yang sontak membuat Ivana terkesiap. "Ehh ... itu, Mas. Aku ... tiba-tiba kangen sama Nia dan Hadrian," jawabnya dengan jujur. "Kalian dekat sekali kayaknya." "Iya, Mas. Kami sudah bersahabat lama." Zayan manggut-manggut. "Pernah cinta lokasi?" tanyanya dengan sedikit penasaran. Ivana tertawa kecil, kemudian menggeleng pelan. Dia mengalihkan pandangan ke luar kaca. Enggan untuk meneruskan obrolan tentang para sahabatnya. "Besok, kamu boleh ngundang mereka untuk makan malam." "Hmm?" "Mas juga pengen mengenal sahabatmu. Mungkin suatu saat nanti mas memerlukan bantuan mereka agar bisa memujukmu untuk mencintai mas." Zayan terkekeh saat melihat rona merah jambu di pipi mulus sang istri. "Anggap saja sebagai acara perpisahan, karena setelah ini kalian akan jarang ketemu," lanjutnya. "Iya, Mas. Nanti kuundang mereka. Kira-kira mau di restoran mana, ya? Ada ide?" "Kamu yang orang Bandung kok malah nanya?" Kembali tawa kecil Zayan menguar. "Ihh, aku kan jarang makan di restoran. Penghematan!" sungut Ivana. "Coba tanya Alisha, mungkin dia bisa ngasih saran." Tanpa membuang waktu Ivana segera menelepon sang kakak. Obrolan berbahasa Sunda yang sedikit cepat itu membuat Zayan kesulitan untuk mencerna karena kemampuan berbahasanya masih terbatas. *** Dahayu mengusap foto pernikahannya dengan Zayan yang berada di pangkuan. Beberapa kali dia menghela napas berat untuk menghilangkan rasa sesak dalam d**a. Namun, ternyata hal tersebut sama sekali tidak berguna. Ketukan di pintu ruang kerja yang diiringi dengan kemunculan Westi, sahabat sekaligus rekan kerja Dahayu membuat perempuan berjilbab merah tersebut tersenyum. "Kita makan siang, yuk!" ajak Westy sambil mendekat. Tatapannya tertuju pada pigura di tangan Dahayu yang membuatnya membatin, mengasihani nasib buruk sahabatnya itu. "Boleh, aku juga lagi suntuk," jawab Dahayu sambil meletakkan pigura foto itu di tempat semula dengan hati-hati. "Maya dan Rini sudah menunggu di kafenya." Westy menggamit lengan Dahayu dan jalan bersisian menuju luar butik. "Good. Aku memang sedang butuh dukungan kalian." "Kami akan selalu ada untukmu, Sayang." Dahayu menyunggingkan senyuman tipis dan bergerak memasuki mobil milik Westy. Keduanya masih terlibat obrolan ringan sepanjang perjalanan menuju kafe milik kedua sahabat mereka yang berada di sebuah mall di kawasan Pejaten. Setibanya di sana, Maya yang melihat kedatangan kedua perempuan itu langsung menyambut dengan pelukan hangat dan kecupan di pipi. "Kamu kurusan," ujarnya sambil merangkum wajah Dahayu dengan kedua tangan. "Dietku berhasil," sahut Dahayu. "Nggak perlu diet, kamu itu udah langsing banget tau!" "Alias kurus," timpal Westy yang membuat Dahayu terkekeh. "Hu um, udah deh, nggak usah dipikirin si mas. Sini, kita ngegosip aja." Maya menarik tangan Dahayu dan menggusur tubuh sahabatnya itu ke meja sudut kanan. "Rini mana?" tanya Westy sambil mendudukkan diri di kursi seberang. "Lagi ngelongok Azzam di wahana permainan. Nanti nyusul katanya," sahut Maya sembari melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Ketiga perempuan itu mengobrol dengan seru. Sesekali terdengar tawa mereka yang memancing rasa keingintahuan pengunjung lainnya. Saat Rini tiba, obrolan tersebut semakin heboh. Terutama saat mereka meledek Maya yang saat ini masih betah menjanda, setelah bercerai dengan suaminya beberapa bulan silam. "Ganteng juga," puji Dahayu, ketika Maya menunjukkan foto seorang pria yang saat ini tengah gencar mendekatinya. "Tapi tetap gantengan suamiku," lanjutnya yang dibalas cibiran ketiga sahabatnya. "Di matamu cuma mas yang paling ganteng, Yu. Lainnya lewat!" sungut Westy. "Kenyataannya begitu kan, Wes." Dahayu kembali tersenyum. "Iya sih, sangking gantengnya kamu sampai buta cinta," sela Maya yang dibalas anggukan Dahayu. "Mungkin aku memang dibutakan cinta, May. Hanya dia, satu-satunya pria yang membuatku jatuh cinta setengah mati sampai sekarang. Walaupun sekarang ... mungkin bukan aku satu-satunya perempuan di dalam hatinya." Suara Dahayu melemah. "Sabar, ya, kamu pasti kuat. Setidaknya mas Zayan masih menyayangimu dan tetap ingin mempertahankan dirimu di sisinya," timpal Maya sembari mengusap pundak Dahayu. "Nggak seperti pria b******k mantanku. Dengan santainya dia memilih menceraikanku demi perempuan itu," lanjutnya dengan suara bergetar. Westy dan Rini langsung berdiri dan memeluk Maya dan Dahayu. Kedua sahabat itu saling memberikan dukungan moril, karena hanya hal itulah yang dibutuhkan Dahayu dan Maya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN