Main Bola

1326 Kata
-10- Bibir Ivana tak henti-hentinya menciptakan senyuman. Sesekali dia bersenandung mengikuti lagu dari radio. Zayan tersenyum melihat tingkah istrinya yang sepertinya sangat bahagia untuk bisa kembali ke rumah orang tuanya. Perjalanan pulang menuju kediaman keluarga Harimurti ditempuh dengan lancar. Hanya sedikit tersendat ketika melewati Cihampelas. Hal yang lumrah karena di situ selalu ramai pengunjung berbagai toko pakaian, dan juga pengunjung pusat perbelanjaan yang dikenal dengan nama Ciwalk, alias Cihampelas Walk. Niat Zayan untuk mengajak Ivana bersantap siang di sebuah restoran, ditolak oleh sang istri yang sudah ingin cepat-cepat tiba di rumah, dan melepaskan kerinduan pada keluarganya. Ivana jarang keluar rumah yang mengharuskannya untuk menginap. Biasanya dia lebih suka menghabiskan waktu bersama keluarga daripada keluyuran. Atau menikmati liburan singkat bersama Nia dan Hadrian. Setibanya di rumah orang tuanya yang berada di kawasan BKR, Ivana bergegas turun tanpa menunggu dibukakan pintu oleh Zayan. Perempuan itu berjalan cepat menuju pintu garasi yang biasanya tidak terkunci. "Assalamualaikum, Bu?" sapa Ivana sambil memasuki pintu ruang tengah yang berhubungan dengan garasi. "Waalaikumsalam. Ibunya di dapur, Teh," sahut Bi Ilah, asisten setia sang ibu. Tanpa sungkan Ivana mencium punggung tangan Bi Ilah. Baginya perempuan paruh baya itu adalah salah satu sosok orang yang turut membesarkannya sedari kecil. Ivana dan kedua saudaranya pun menganggap Bi Ilah sebagai anggota keluarga mereka. "Bu, lagi masak apa?" tanya Ivana sambil melongokkan kepala ke dapur. "Aih ... anak ini, ya, bikin kaget wae!" Bu Haifa mengelus bagian tengah tubuh sambil beristigfar. Ivana terkekeh geli melihat tingkah ibunya. Kemudian dia mencium punggung tangan sang ibu dan memeluk perempuan yang telah melahirkannya itu dengan segenap kerinduan. "Ibu belum jawab pertanyaanku," rajuknya sembari melepaskan diri dan mengintip ke wajan di atas kompor. "Balado ati ampela? Asyik!" serunya. "Iya, ibu masak ini, tumis sapo tahu, rolade asam manis dan rempeyek udang," jelas Bu Haifa. Dengan cepat dia menepis tangan Ivana yang hendak mencoba rasa masakan. "Cuci tangan dulu!" titahnya. "Bersih ini, Bu. Paling cuma bekas upil aja." Bu Haifa mendelik memandangi wajah sang putri yang cengengesan. Akhirnya dia kalah dan ikut-ikutan tersenyum. Dari ketiga anaknya, Ivanalah yang paling ceria. Alisha tipe yang sangat mandiri. Sedangkan Raid agak pendiam, turunan dari sang suami. "Na?" panggil Zayan dari ruang tengah. Dia jarang sekali masuk ke bagian dalam rumah ini, sehingga agak bingung untuk mencari sosok istrinya. "Loh, kamu ninggalin Zayan sendirian?" tanya Bu Haifa. Sedikit gemas saat melihat Ivana mengangguk mengiakan. "Udah dibuatin minum?" tanyanya lagi. "Ehh, iya, lupa euy." Ivana bergegas membalikkan tubuh dan jalan menuju pantry kecil di bagian depan dapur. "Bocah hiji teh kalakuanna na teu ubah-ubah," sela Bi Ilah seraya terkekeh. (Anak satu itu kelakuannya gak berubah-ubah) "Kitu tah. Tos boga salaki oge tetep wae pelupa," sahut Bu Haifa sembari menggeleng pelan. (gitulah, sudah punya suami juga tetap aja pelupa) "Kumaha pas di Jakarta nanti, ya?" Bu Haifa menggeleng lagi. Sejujurnya dia agak khawatir melepas Ivana hidup berjauhan dengan keluarga. Akan tetapi, sekarang dia tidak bisa mencegah hal itu terjadi, karena setelah menikah sang anak menjadi milik suaminya. *** Selepas bersantap siang bersama Zayan, sang ibu dan Bi Ilah, Ivana mengajak suaminya itu untuk beristirahat di kamar. Perempuan itu merasa sedikit malu saat Zayan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini adalah kali pertama Zayan memasuki ranah pribadi Ivana. Sebab saat acara pernikahan itu digelar langsung di hotel yang sama dengan tempat resepsi. "Kamu suka kucing?" tanya Zayan sambil menunjuk ke boneka-boneka berbentuk binatang berbulu itu, yang tersusun rapi di lemari kaca yang terletak di sebelah lemari pakaian. "Iya, tapi udah nggak miara lagi sejak ... kucingku mati dua tahun yang lalu," jawab Ivana sembari duduk di tempat tidur dan memilin jemari. "Kenapa? Trauma?" Zayan bergerak duduk di sebelah sang istri, dan tanpa sungkan langsung merebahkan dirinya. "Takut nggak bisa fokus ngurus, Mas. Aku kan kerja itu sering sampai malam." Zayan manggut-manggut. Kemudian menarik tangan Ivana untuk ikut berbaring di sebelahnya dan memiringkan tubuh untuk memperhatikan istrinya yang tengah menguap. "Jangan tidur dulu, kita belum salat Zuhur," ucapnya. "Hu um, bentar lagi deh, mau ngelurusin pinggang dulu," timpal Ivana. "Perasaan yang nyetir itu mas, kok kamu yang sakit pinggang?" "Emang penumpang nggak boleh sakit pinggang?" Zayan terkekeh mendengar jawaban Ivana. "Jago ngeles juga kamu." Dia menarik hidung Ivana yang langsung membalas dengan mencubit paha suaminya. "Aduh, kenapa perempuan itu suka banget nyubit, ya?" Zayan mengusap-usap bekas cubitan Ivana. "Karena laki-laki itu selalu bikin hasrat untuk mencubit meningkat." Tawa Zayan bergema di ruangan yang tidak terlalu luas itu. Dia sama sekali tidak menyangka bila Ivana juga memiliki sisi humoris yang cukup tinggi. Menikah selama tiga hari ini menciptakan sebuah rasa yang berbeda di dalam hatinya. Tanpa sadar Zayan membandingkan Dahayu yang serius dengan Ivana yang ceria. Keduanya memiliki sifat yang berbeda dengan keunikan masing-masing. Zayan tertegun saat menyadari bila kedua sosok istrinya itu ternyata cocok dengan pribadinya sendiri. Sama sekali tidak menyangka bila dia bisa menyukai dua orang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Meskipun sosok Dahayu tetap menempati bagian terbesar dalam relung hati, tetapi Zayan harus mengakui bahwa Ivana juga telah mencuri sedikit perhatiannya saat ini. Ivana beranjak menuju pintu saat mendengar panggilan sang ibu. Zayan yang tidak terlalu paham dengan isi pembicaraan kedua perempuan tersebut yang menggunakan bahasa Sunda teramat cepat, hanya bisa menunggu Ivana menjelaskan nanti. "Mas, ibu nanya, besok mau berangkat jam berapa? Beliau mau nitip oleh-oleh buat mbak dan Ibu," ujar Ivana sembari jalan menuju meja rias. "Ehm ... sekitar jam sepuluh," jawab Zayan sembari bangkit dan berdiri. "Kamar mandinya di mana?" tanyanya sambil celingukan. "Di luar, Mas. Dekat kamar Raid," jawab Ivana sambil membalikkan tubuh. "Kamar ini nggak ada kamar mandi pribadi," jelasnya, seakan-akan paham dengan jalan pikiran sang suami. "Oh, oke, nggak apa-apa. Ehm, kalau kita bikin di situ, kira-kira diizinin nggak, ya?" Zayan menunjuk ke pojok kiri kamar. "Nanti kutanyain ke ayah." "Iya, jadi kalau kita berkunjung ke sini, nggak ribet." "Tapi mungkin ukurannya mungil, Mas. Karena sisa tanahnya juga sempit." "Nggak apa-apa, kan cuma buat mandi, bukan buat main bola." Ivana mengikik geli mendengar candaan sang suami. Sedangkan Zayan tersenyum lebar ketika tatapan mereka bersirobok. "Ayo, kita wudu terus salat berjamaah," ajak pria itu sembari jalan mendahului ke luar kamar. *** Zayan memandangi kedua sahabat istrinya yang saat ini tengah duduk di hadapan. Nia tampak malu-malu untuk mengajaknya mengobrol. Sedangkan Hadrian lebih pendiam dan memposisikan dirinya sebagai pendengar setia obrolan kedua perempuan yang duduk bersebelahan dengannya. Dalam hati Zayan merasa sedikit aneh saat melihat binar mata Hadrian yang cukup berbeda bila melihat istrinya. Pria tersebut berusaha untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi, karena mungkin saja saat ini dia hanya salah lihat. "Kapan-kapan kalian harus berkunjung ke Jakarta dan menginap di rumah kami," ujar Zayan menyela obrolan heboh kedua perempuan tersebut. "Iya, Mas, terima kasih. Kebetulan nanti aku juga ada beberapa kunjungan ke Jakarta. Diusahakan untuk mampir deh," sahut Hadrian. "Aku nebeng, ya," timpal Nia. "Bayar bensinnya," tukas Hadrian yang dibalas Nia dengan cibiran. "Pelit pisan!" Gadis berwajah oval itu menggerutu. "Aku kan berangkatnya pakai dana kantor, Nia. Nggak bisa sembarangan, nanti dikira nilep duit," jelas Hadrian. "Pokoknya aku tunggu kalian datang. Kudu nginep, kalau nggak aku bakal ngambek," ujar Ivana. "Siap, Ndoro." Hadrian meletakkan tangan kanan ke dadanya dan pura-pura menunduk hormat. "Aih, ndoro!" Tawa Ivana menguar, demikian pula dengan Nia. Sementara Zayan hanya mengulaskan senyuman tipis. Mereka melanjutkan obrolan sambil menikmati hidangan santap malam. Seusai acara, kedua orang tersebut berpamitan. Nia tidak sanggup menahan haru karena akan berpisah dengan sahabatnya. Gadis itu menangis tersedu-sedu di pelukan Ivana. "Kok aku ngerasa kamu kayak nangisin orang meninggal, Nia," ucap Ivana sambil mengusap punggung sahabatnya itu. Dia sendiri pun sudah meneteskan air mata karena merasa sedih akan berpisah. "Masalahnya, nggak ada kamu itu jadi nggak ada piring kedua yang harus kuhabisin," canda Nia sembari melepaskan pelukan. "Beuh! Dasar kemaruk!" Ivana menarik pipi Nia yang chubby dengan gemas. Kemudian beralih menyalami Hadrian yang menatapnya dengan sendu. "Makasih atas jamuan makannya," ucap Hadrian. Dirinya berusaha menahan diri untuk tidak memeluk Ivana, tetapi saat perempuan itu yang melakukannya terlebih dahulu, Hadrian membalas dengan erat sembari bergumam,"semoga kamu bahagia, Sayangku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN