“Ugh! Merepotkan sekali!” Ran berjalan dengan perlahan menggunakan heels setinggi 10 cm berwarna hitam, warna yang senada dengan dress lengan pendek yang dikenakannya. Dress panjang sampai mata kaki, tapi bagian depan sepanjang bawah lutut sedikit. Wanita ini berjalan tertatih. Ran adalah wanita yang sangat jarang menggunakan heels, kecuali di acara-acara tertentu.
“Kenapa Mama memaksaku memakai pakaian dan sepatu merepotkan ini?!” oceh Ran di sela langkah kakinya.
Ran terus saja menggerutu kesal.
Sial sekali hidupnya! Mengapa harus ada perjodohan ini?!
“Argh!” Ran memekik saat tubuhnya terdorong ke depan. Seseorang dari belakang tak sengaja menyenggolnya. Untung saja di samping wanita ini terdapat pilar besar di depan sebuah restoran mewah tempat keluarganya dan keluarga Kusumo mengadakan pertemuan. Ran langsung berpegangan pada pilar itu dengan erat.
“Eh..sorry, Nona.” Terdengar suara maskulin seseorang di belakangnya, yang Ran yakini adalah penyebab tubuhnya hampir terjerembab ke atas tanah.
Saat Ran membalikkan tubuh, mata wanita ini langsung disuguhkan pemandangan seorang pria yang memiliki rahang tegas, alis tebal, serta bentuk bibir bawah lebih tebal dengan lekukan bibir atas yang sempurna dan indah. Pakaian formal berwarna abu-abu tua melengkapi penampilan sang pria yang terlihat sangat, sangat cocok dengan wajahnya. Sesaat, Ran terpesona. Namun tak berapa lama, wanita ini kembali memasang wajah datar terkesan dingin. Ekspresi yang memang sudah terbentuk sejak kecil. Mungkin karena Ran terbiasa hidup sengsara sejak dini, jadi wajahnya selalu terlihat serius.
“Anda tidak bisa melihat dengan benar?” tanya Ran dingin.
Pria itu terdiam kaku sambil memandangi wajah Ran. Pandangan pria itu seperti sangat terpesona, seolah Ran adalah wanita tercantik di dunia. Lihatlah, matanya dengan lancang memperhatikan penampilan Ran dari atas sampai bawah, dan kembali memandangi wajahnya, dan berlama-lama di sana.
Dipandang sedemikian rupa seperti itu, Ran mendengus sebal. Wanita ini sudah biasa ditatap seperti ini, karena wajahnya memang cantik luar biasa walaupun terlihat dingin. Namun, tatapan pria di depannya ini entah mengapa membuat tubuhnya meremang.
“Tuan, pikiran Anda masih berada di sini kan? Lain kali, berjalanlah dengan hati-hati! Jangan main asal seruduk seperti banteng! Memang jalanan di dunia ini milik Anda?! De—”
“Kamu cantik.”
Ran melongo tak percaya, saat pria ini membuka suara, dan langsung saja mengeluarkan pujian. Wajah merona tak bisa Ran cegah. Namun perasaan jengkel juga tak bisa ia tepis. Sialan pria ini! Selama ini, para pria hanya berani menatapnya. Tapi pria di depannya ini malah mengeluarkan pujian??
“A-apa?”
“Kamu cantik. Bidadari dari mana?” tanya sang pria, yang membuat Ran ternganga.
Mereka saling melempar pandangan beberapa saat, sampai akhirnya Ran yang memutuskan pandangan mereka lebih dulu.
“Dasar pria gila!” desis Ran pada akhirnya.
Wanita ini segera membalikkan tubuh, dan kembali berjalan masuk ke dalam restoran. Daripada meladeni orang asing yang malah blak-blakan memuji dan menggombalinya, lebih baik dia segera mencari keberadaan keluarganya. Ran menuju meja resepsionis restoran ini.
“Meja keluarga Mahendra dan Kusumo di mana?” tanya Ran pada resepsionis yang berjaga.
Resepsionis itu langsung mencari nama yang disebut Ran di dalam buku reservasi. “Ada di ruang VIP tiga, Bu. Biar kami antar.” Resepsionis itu segera memanggil salah seorang temannya yang mana adalah pelayan di restoran ini, yang langsung menghampiri Ran dan sang resepsionis.
Setelah temannya memberitahu untuk mengantar Ran, pelayan itu tersenyum sopan ke arah Ran. “Sebelah sini, Bu.”
Ran hanya mengangguk kecil, lalu mengikuti langkah pelayan itu berjalan menuju ruang VIP yang dikatakan sang receptionist.
“Silakan, Bu.”
Ran kembali mengangguk kecil setelah pelayan itu membukakan pintu salah satu ruang VIP di restoran ini.
“Maaf telat.”
“Maaf telat.”
Ran terkejut saat di belakangnya ada seseorang juga yang mengatakan hal yang sama seperti apa yang baru saja dia ucapkan. Ran membalikkan tubuh, lalu tatapannya kembali bertemu dengan pria yang tadi menabraknya di depan restoran. Mata Ran membola sempurna. Mengapa pria ini menuju ke ruangan yang sama? Jangan bilang kalau pria ini yang akan dijodohkan denganny—
“Hai, Cantik. Kita ketemu lagi. Kenalkan, Aku Aryan, Aryan Mada Kusumo,” ucap pria di depannya ini.
Kusumo?
Kusumo?
Kusumo???
Tubuh Ran mendadak kaku.
Pria ini bukan yang dijodohkan dengannya kan? Gila! Jangan sampai pria gila ini, yang saat ini tersenyum lebar ke arahnya dengan sebelah mata mengerling genit dan sebelah tangan terjulur untuk berkenalan dengannya, adalah pria yang ingin dijodohkan dengannya!
Ran membalikkan tubuh ke arah orang-orang yang sudah lebih dulu ada di dalam ruangan, berharap dapat penjelasan dari orang tuanya.
“Kalian sudah bertemu sebelumnya?” tanya Adila, mama tiri Ran, karena mendengar ucapan Aryan.
“Tentu saja. Mereka kan satu sekolah saat di SD,” bukan mereka berdua, tapi Kania Kusumo yang menjawab dengan mata berbinar.
Ran semakin melebarkan mata tak percaya. Sementara itu, tubuh Aryan mendadak kaku.
Satu sekolah?
“Kita pernah satu sekolah?” tanya Aryan dengan jantung berdetak kencang.
Ran kembali membalikkan tubuh ke arah Aryan, lalu menaikkan sebelah alisnya. “Mana saya tahu! Saya tidak merasa punya teman satu sekolah seperti kamu!” sinis Ran.
Terdengar tawa renyah dari bibir Kania. “Kalian tidak ingat? Aryan sayang, dia Ran, Pumpkin yang kamu cari selama ini, Sayang.”
Mata Aryan membola tak percaya. Sementara Ran semakin mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Maaf, ‘Pumpkin’? Apa maksudnya?” tanya Ran ke arah Kania.
“Sebaiknya kalian berdua masuk dulu, daripada berdiri di depan pintu seperti itu.”
Ran langsung tersadar posisinya saat sang ayah mengatakan hal itu. Wanita ini segera melangkah masuk.
Sementara Aryan, pria ini terdiam kaku di depan pintu.
Ran? Pumpkin? Pumpkin-nya ada di depan mata?
Aryan tak percaya ini.
*Flashback 16 Tahun Yang Lalu*
“Hahaha… Labu gak ikut jualan sama nenek?”
Ran hanya mampu memasang wajar datar saat bocah laki-laki teman sekelasnya kembali mengejek seperti hari biasa. Bocah itu selalu memanggilnya ‘Labu’, karena Ran selalu ikut sang nenek berjualan kolak labu kuning. Sang nenek setiap sore berjualan kolak labu kuning, bubur sumsum dan bubur kacang hijau dengan cara berkeliling menggunakan gerobak kecil. Dan sialnya, komplek perumahan tempat bocah laki-laki yang sedang mengejek Ran ini tinggal sering kali dilewati sang nenek. Tak jarang pekerja di rumah besar itu membeli dagangan sang nenek. Dan tak jarang juga Ran bertemu dengan bocah laki-laki ini, yang tak pernah bosan mengganggunya.
“Oh iya lupa, kan jualannya sore ya. Hahaha…” bocah laki-laki ini kembali tertawa, kali ini diiringi para pengikutnya. Bocah laki-laki ini adalah anak dari pendonor beasiswa terbesar di sekolah mereka, dan Ran adalah salah satu anak yang mendapat beasiswa itu karena kegigihan sang nenek, dan tentu saja karena otak pintar yang dimiliki Ran.
Ran tetap saja diam tanpa ingin menanggapi. Bocah perempuan ini malah mengeluarkan buku paket dari dalam tas usangnya, lalu segera sibuk dan larut dalam soal-soal yang ada di sana.
Bocah lelaki ini mendengus sebal, lalu menarik buku paket yang Ran baca.
“Aku lagi ngomong sama kamu!” seru bocah lelaki ini kesal.
“Kembalikan. Aku lagi gak mau ngomong.”
“Kamu—”
“Dasar sok banget kamu! Udah muka dekil kayak sampah. Buku sama baju penuh debu. Gak punya orang tua lagi! Kamu lahir dari batu ya? Hahaha…”
Ran dan bocah laki-laki itu terdiam, saat salah satu bocah laki-laki lain yang mana adalah pengikut si bocah laki-laki yang memegang buku paket Ran mengatakan hal menyakitkan itu.
Tak berapa lama, mata Ran berkaca-kaca. Gadis cilik berusia hampir sepuluh tahun ini mengepalkan tangan kuat.
“Kalau aku lahir dari batu, bukan urusanmu kan?!” ucap Ran dingin. Ran mengalihkan pandangan ke arah bocah laki-laki yang masih memegang buku paketnya. “Kamu, gak perlu ganggu aku lagi! Kembalikan buku paketku! Gak usah pegang-pegang lagi! Aku takut tanganmu kotor pegang buku ini karena banyak DEBU-nya!” Ran menarik kasar buku paket yang dipegang bocah laki-laki itu, lalu pergi ke luar kelas dengan bahu bergetar hebat. Bocah laki-laki itu sadar, kalau Ran pasti berusaha keras untuk menahan tangisnya. Bocah laki-laki ini baru pertama kali melihat wajah Ran yang seperti itu. Dan dia, tidak berharap Ran mengeluarkan air mata.
Sepanjang hari itu Ran terlihat murung, sementara sang bocah laki-laki tak jauh berbeda. Bocah itu selalu memperhatikan Ran yang duduk tak jauh dari tempatnya dengan tatapan penuh penyesalan.
Keesokan harinya, sang bocah laki-laki bertekad meminta maaf pada Ran walaupun bukan dirinya yang mengatakan hal yang menyakitkan itu. Tapi hatinya mengganjal, karena secara tak langsung dia merasa jika dirinyalah penyebab bocah laki-laki yang mana adalah temannya mengatakan hal itu. Seandainya dia tidak mengejek Ran lebih dulu, pasti Ran tidak akan pernah mendengar kata-kata menyakitkan itu. Tapi saat bocah laki-laki itu menanti sampai bel masuk berbunyi, sosok Ran tak muncul. Sampai beberapa hari berikutnya, Ran masih tak kelihatan masuk sekolah. Bocah perempuan itu menghilang bagai ditelan bumi.
“Si gembel sakit karena kebanyakan ngemil debu kali—”
“Bisa diem gak kamu, Tara!” bentak sang bocah laki-laki pada temannya saat sang teman mengejek bocah perempuan yang dinantinya selama beberapa hari ini.
“Kamu kenapa sih, Aryan? Ngapain juga mau minta maaf sama gembel i—”
Bug!
Bocah laki-laki yang ternyata bernama Aryan itu langsung memukul perut temannya. Dan akhirnya, perkelahian antara dua teman itu terjadi, sampai membuat kedua orang tua mereka keesokan harinya harus datang ke sekolah.
*Flashback Off*
“Anak Tampan!”
Aryan tersadar dari lamunan saat sang mama memanggilnya.
“Mau sampai kapan berdiri di sana? Kamu mau menggantikan pintu ruangan ini, Sayang?” tanya sang mama menggoda.
Aryan tersenyum salah tingkah. Pria ini melangkah masuk perlahan.
Diam-diam, Aryan melirik wanita super cantik yang tadi tak sengaja ditabraknya sudah duduk dengan anggun di samping wanita yang sepertinya sebaya dengan sang mama.
‘Oh God! She’s my Cute Pumpkin???’ erang Aryan di dalam hati, masih tak percaya dengan fakta di depan mata. d**a Aryan bergemuruh. Sekujur tubuhnya panas dingin, karena tak menyangka jika kembali bertemu dengan bocah perempuan yang pernah disakitinya di masa lalu.
Tatapan mereka tak sengaja bertemu. Namun sang wanita yang memiliki rahang tegas itu langsung mengalihkan pandangan dengan wajah datar, seolah tak ingin menatap Aryan lebih lama.
Aryan berpikir di dalam hati, apakah wanita itu mengingatnya? Sehingga tak mau berlama-lama menatap wajahnya yang tampan bak Dewa Yunani ini.
Memuji diri sendiri sepertinya tidak ada salahnya, karena pria ini memang sepercaya diri itu.
Mata Aryan masih mengarah ke arah wanita itu. Rasa kagum tidak bisa dia tepis melihat wajah cantik Ran.
‘Kamu luar biasa cantik, Pumpkin…’ ucap Aryan di dalam hati.
***