Mereka menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, karena lokasi rumah Ran dan restoran itu lumayan jauh. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang membuka suara.
Sebenarnya Aryan beberapa kali memulai pembicaraan, tapi Ran tak merespon dengan baik, bahkan Ran sibuk dengan ponselnya. Lebih tepatnya pura-pura sibuk. Akhirnya Aryan menyerah, dan memilih fokus mengemudi. Walaupun sesekali matanya tak bisa diajak kompromi, karena selalu melirik wanita cantik yang duduk di sampingnya itu.
“Terima kasih sudah mengantar saya.” Ran membuka sabuk pengaman, lalu segera ke luar dari mobil Aryan saat mereka sudah sampai di depan gerbang rumahnya, tanpa mau repot-repot menanti jawaban dari Aryan.
Terdengar tidak sopan? Biarkan saja! Ran tidak peduli. Bahkan Ran berharap kalau Aryan mengadu pada kedua orang tua pria itu, supaya rencana perjodohan mereka bisa secepatnya dibatalkan.
“Gerbang mau di buka, Non?” Satpam rumahnya dengan sigap bertanya saat Ran sudah berada di depan gerbang yang terbuka sedikit setelah kedatangannya. Sepertinya satpamnya itu sudah melihat kedatangan sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang.
“Tidak per—”
“Ehm… Labu…”
Ran menutup kedua matanya, mencoba menahan kesal saat Aryan sudah berada di belakangnya, dan kembali memanggilnya dengan sebutan itu. Ran berbalik, sebisa mungkin memasang wajah datar.
”Kamu tidak ada niat untuk mampir kan? Ini sudah malam. Saya masih ingat kamu tadi bilang harus bangun pagi karena ada rapat.”
“Wah… ternyata kamu orang yang perhatian ya. Kayaknya kamu udah beberapa kali ingetin aku. Aku jadi merasa tersanjung.” Mata Aryan berbinar saat mengatakan itu, membuat Ran melongo tak percaya.
“Kamu ini super percaya diri ya! Saya bukan perhatian, tapi saya adalah orang yang memiliki ingatan yang amat sangat bagus!” desis Ran kesal. Entah sudah ke berapa kali dia kesal hari ini, dan sialnya dengan orang yang sama.
Wajah Aryan seketika mendung.
‘Punya ingatan amat sangat bagus, tapi kamu gak mengingatku sama sekali. Hebat sekali kamu, Pumpkin!’ seru Aryan kecewa luar biasa di dalam hati.
Ran memperhatikan perubahan wajah Aryan. Wanita ini bertanya-tanya di dalam hati, apakah dia menyinggung Aryan? Tapi jika dipikir-pikir, dia tidak mengatakan hal yang bisa membuat Aryan tersinggung. Kalau pun Aryan tersinggung kan bukan urusannya.
“Sebaiknya kamu pulang, karena ini sudah malam.” Ran kembali berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Apa kamu benar-benar gak mengingatku?” tanya Aryan.
Pergerakan kaki Ran terhenti.
“Aku yang dulu suka ganggu kamu di sekolah, setiap hari. Aku juga yang ganggu kamu saat kamu bantu nenek kamu jualan di depan rumahku. Aku—”
“Tentu saja saya mengingat kamu dengan jelas, bocah mengesalkan yang selalu mencari cara untuk duduk di sebelah saya saat kita sekolah hanya untuk mengganggu saya belajar. Dan bocah yang selalu mencari cara untuk berdiri di samping saya saat kita upacara hanya untuk menarik-narik rambut saya.”
Aryan membelalakkan mata terkejut. Jantungnya berdetak amat sangat kencang. Saat ini dia sudah berhadapan dengan Ran yang sudah kembali membalikkan tubuh ke arahnya.
“Ka-kamu… ingat se-semuanya?” tanya Aryan tak percaya.
“Saya sudah katakan, kalau saya memiliki ingatan yang amat sangat bagus!” Ran menaikkan dagunya, “tentu saja saya mengingat semuanya. Termasuk apa yang teman kamu katakan pada saya waktu itu. Berhubung kita kembali bertemu, bilang sama teman kamu, saya ternyata tidak terlahir dari batu. Saya punya seorang Ayah yang sangat tampan! Dan bilang juga sama dia, kalau saya sudah tidak dekil lagi seperti sampah!” ucap Ran menggebu.
Ya, Ran memang mengingat semuanya. Wanita ini bahkan tidak pernah melupakan kejahilan yang Aryan lakukan padanya dulu. Terlebih, kata menyakitkan yang diucapkan teman Aryan yang Ran bahkan tidak ingin mengingat nama bocah itu.
Terlihat kilatan luka di mata Ran, membuat Aryan kembali mengingat masa lalu terakhir yang mereka lalui bersama.
Aryan kembali merasa bersalah atas semua itu. Pria ini merasa ingin menyembunyikan dirinya di tempat terpencil saat ini karena terlalu malu.
“Maaf, Ran…” lirih Aryan sungguh-sungguh. Bahkan pria ini menyebut namanya, bukan Pumpkin atau Labu. Tercetak jelas raut bersalah Aryan.
Ran tertegun beberapa saat.
Bocah yang dulu tak pernah mengucap kata ‘maaf’ dan tak pernah absen menjahilinya ini meminta maaf? Kenapa? Apa karena sekarang Ran bukan lagi bocah miskin yang bisa dia jahili dan perlakukan seenaknya seperti dulu?
Cih! Dasar orang kaya sialan!
Tapi tunggu… Aryan tidak pernah memperlakukan Ran seenaknya. Pria di depannya ini dulu hanya jahil, kelewat jahil. Aryan pun tak pernah merendahkannya. Aryan kecil memanggilnya ‘Labu’, karena merasa wajah Ran manis seperti labu, bukan hanya karena nenek Ran berjualan kolak labu.
Bagaimana Ran bisa tahu? Pikiran Ran kembali merawang di masa lalu.
* Flashback Tujuh Belas Tahun Lalu *
“Labu~”
“Bisa enggak, kamu gak panggil aku ‘Labu’?!” kesal Ran saat bocah laki-laki di depannya ini bersenandung asal.
“Aku lagi nyanyi, bukan manggil kamu. Hahaha…”
Wajah Ran langsung memerah. Bocah perempuan ini merasa malu. Seharusnya dia tidak terpancing emosi meladeni Aryan yang sedang duduk berhadapan dengannya. Seharusnya dia bersikap seperti biasanya saja, mengabaikan Aryan. Sikap seperti itu sudah sangat benar, dan lebih aman. Lihat sekarang akibatnya, dia jadi malu sendiri.
Ran segera pura-pura sibuk dengan buku yang dipegangnya, tanpa peduli lagi pada bocah laki-laki yang duduk di depannya yang memilih membelakangi whiteboard di depan kelas mereka agar bisa duduk berhadapan dengan bocah perempuan ini. Kebetulan saat ini sedang jam istirahat, dan di kelas mereka hanya ada beberapa anak yang tersisa. Anak-anak yang lain memilih bermain di lapangan dan jajan di kantin.
“Labu…”
Ran mencoba abai saat Aryan kembali bersuara. Ran tidak ingin tertipu lagi meladeni Aryan. Tertipu sekali itu wajar, kalau dua kali itu namanya bodoh.
“Labu… Labu… Labu…” Aryan terus saja mengucapkan kata itu beberapa kali, tapi Ran tetap memilih pura-pura tuli.
“Labu, kalau dipanggil itu jawab. Kamu dikasih mulut yang sehat buat bicara, Labu!” seru Aryan kesal sambil menarik buku yang Ran baca. Aryan heran sendiri pada bocah perempuan di depannya ini, yang selalu saja memilih sibuk dengan buku-buku daripada berbaur dengan teman-teman mereka di kelas.
"Kamu manggil aku?” tanya Ran dengan wajah sama-sama kesal.
“Iya.”
“Aku pikir kamu lagi nyanyi. Lagian namaku bukan ‘Labu’!” ucap Ran sambil memelototkan matanya tak suka ke arah Aryan.
Bukannya takut, bocah laki-laki di depannya ini malah tertawa sinting. “Hehehe… buat aku nama kamu Labu.”
“Kenapa?! Mentang-mentang aku jualan kolak labu, iya?!”
“Bukan kok.”
“Terus?”
“Soalnya muka kamu manis kayak kolak labu buatan nenek kamu.”
Ran hanya melongo saat Aryan mengatakan itu. Apa maksudnya? Memang Aryan pernah memakan mukanya?
Tak!
Ran tersadar dari lamunan saat Aryan meletakkan tempat makan bergambar kartun kelinci di atas mejanya.
“Mama aku bikinin roti bakarnya kebanyakan. Habisin rotinya ya, Labu, gak boleh dibuang, nanti kamu dosa kalau buang makanan! Aku mau main dulu.” Setelah mengatakan itu, Aryan mengacak gemas rambut Ran, dan langsung berlari ke luar kelas. Sekilas Ran melihat pipi Aryan memerah, dan Ran tak tahu apa penyebabnya.
Ran memperhatikan kotak bekal di depannya beberapa saat, lalu tanpa sadar tangannya membuka kotak bekal itu. Di dalam sana, roti bakar yang Aryan bilang masih banyak itu terlihat utuh, potongannya rapi, dan tak tersentuh sama sekali.
“Kebanyakan apanya?” tanya Ran bingung.
Ini bukan sekali dua kali Aryan memberikannya makanan utuh seperti ini, seolah memang Aryan sengaja membawakan Ran makanan. Dan setiap kali Ran menolak, Aryan akan selalu menakutinya dengan ancaman seperti tadi, ‘GAK BOLEH DIBUANG! NANTI KAMU DOSA!’.
Ran memang tak pernah keluar istirahat. Bocah perempuan ini selalu disediakan sarapan oleh sang nenek sebelum berangkat sekolah. Saat istirahat, Ran akan sibuk membaca buku atau mengerjakan soal-soal yang bisa dia kerjakan di buku paket.
Ran masih memandangi bekal makan di depannya.
“Dimakan, Labu!”
Ran tersentak saat tiba-tiba saja kepala Aryan muncul dari jendela di samping Ran duduk, dengan nada suara memerintah. Setelah mengatakan itu, Aryan kembali berlari pergi.
Ran kembali terdiam kaku. Lalu tak berapa lama, helaan napas kesal muncul dari bibirnya. “Apa-apaan sih dia!” gerutu Ran, tapi tangannya sudah mengambil sepotong roti bakar pemberian Aryan. Ran takut kalau rotinya tidak dimakan, dia akan berdosa. Neneknya selalu mengajarkan, jika membuang makanan itu bisa membuat rezeki kita terhambat. Apalagi Aryan selalu cerewet jika dia tidak menghabiskan makanan pemberian bocah itu.
Bocah pemaksa!
*Flashback Off*