Bagian 13

2451 Kata
Louise merasa tubuhnya seperti di remas. Ia berkali-kali memuntahkan seisi perutnya pagi itu. Sementara itu anggurnya terlihat menggiurkan, pantulan cahaya keemasan di balik botolnya yang jernih terus mengundangnya untuk duduk dan meneguknya sekali lagi. Namun cukup untuk hari ini. Louise berpikir bahwa itu adalah efek kelelahan. Namun, ia bahkan tidak beranjak dari rumahnya sekalipun. Louise menginjakkan kakinya di pekarangan sepanjang hari, duduk di beranda rumahnya dan menatap ke seberang taman, kemudian melihat Rita Foster mengendarai mobilnya menuju kota. Tidak ada kegiatan bersih-bersih yang menguras tenaga. Ia mendapatkan waktu tidur yang cukup – bahkan mungkin lebih dari cukup. “Kau tidur seperti kelelawar.” Ed pernah mengatakannya ketika mereka bersama-sama menyantap makan malam bersama setelah berminggu-minggu lamanya. Louise ingat menu yang dihidangkannya malam itu: kalkun besar, sebotol wine, pai apel kesukaan Ed dan sayuran rebus. Ada banyak kentang, wortel dan sayuran hijau yang disiapkannya. Mereka merayakan thanksgiving dengan layak, kemudian berbincang-bincang sepanjang malam dan untuk pertama kalinya keajaiban terjadi ketika menyadari bahwa tidak ada perdebatan malam itu. Louise merindukan Ed tertidur di sampingnya. Ia bahkan masih mengingat posisi tidur Ed, atau bagaimana cara laki-laki itu mendengkur di sampingnya, nafasnya yang tidak beraturan. Ed memiliki riwayat penyakit asma sejak kecil. Ia membawa pil-nya kemanapun ia pergi. Dalam satu malam di tengah keributan mereka, Louise sempat tergoda untuk menukar pil itu dan menggantinya dengan pil beracun. Louise benar-benar kesal hingga ia merasa perlu melakukannya. Lidia Wheleer, atau yang akrab di sapa Lidia, istri muda Ed yang menyebalkan, bocah bermulut besar dan mata duitan, selalu bersandiwara. Perhatian Lidia terhadap Ed adalah palsu. Louise membayangkan Lidia melakukan apa yang Louise tunda kala itu: menukar pil milik Ed dengan pil beracun. Mungkin, suatu saat, ketika Lidia akhirnya mengetahui sikap Ed dan merasa tidak tahan dengannya. Louise selalu menunggu momen itu. Ia merasa kesal setiap kali mendengar suara wanita itu saat membentaknya di telepon. “Jangan coba hubungi suamiku lagi, Louise! Sadarlah! Dia sudah meninggalkanmu. Kalian sudah berakhir.” Louise tidak suka cara Lidia mengatakannya, menganggap bahwa Louise dan Ed benar-benar berakhir. Lidia-lah yang tiba-tiba hadir di tengah pernikahan mereka dan merusak segalanya. Masalahnya Ed adalah laki-laki bermata jelalatan, peselingkuh nomor satu yang tidak dapat menolak godaan. Ally telah mengingatkan Louise berkali-kali, namun setelah bertahun-tahun bekerja bersama Ed di sekolah, ada beberapa hal yang dikagumi Louise tentang Ed. Wawasannya yang luas tentang sejarah, dan Ed benar-benar seorang filsuf. Ia memiliki teori-teori yang berhasil mengubah pikiran Louise dan pada akhirnya memenangkan Louise. Ed selalu berambisi pada banyak hal. Laki-laki itu adalah versi terbaik jika menyangkut urusan pekerjaan, namun Ed benar-benar bisa menjadi versi terburuk jika menyangkut pernikahan. Jiwanya yang labil adalah satu hal yang benar-benar menjengkelkan. Pada dasarnya, Louise menikahi laki-laki itu, ia mencintai Ed sebelum Ed menodai pernikahan mereka. Namun, bahkan setelah bertahun-tahun, Louise tidak pernah yakin bahwa ia membenci Ed. Sebaliknya, Louise menginginkan keadaan berubah. Ia meyakini hal itu mungkin juga terjadi pada Rita. Saat Louise menyaksikan wanita itu pergi dengan mobilnya kemarin, Louise benar-benar penasaran. Itu adalah hal yang tidak pernah dilakukan Rita dan akhir-akhir ini Louise melihat perubahan signifikan yang tampak darinya. Wanita itu mulai merias dirinya, mengenakan pakaian yang berbeda dari biasanya dan sering berpergian keluar. Louise memandangi kepergian mobil yang dikendarai Rita, kemudian melihat rumah kosong di seberang taman. Pintu-pintu dan jendelanya tertutup. Bagian garasinya juga tertutup. Rumah tampak kosong dan tenang. Jimmy Foster tidak ada disana dan saudarinya juga tidak hadir. Perubahan itu terjadi secara tiba-tiba, secara langsung telah mengejutkannya. Louise mengangkat kamera dan melihat foto-foto yang ditangkapnya. Ia tergoda untuk menulis sebuah jurnal. Louise bisa melakukannya, lagi pula ia punya banyak waktu untuk satu kesibukan kecil. Siangnya, Louise berdiri di depan kaca sembari menggenggam sebuah gunting. Ia bersiap untuk penampilan barunya. Sembari menimbang, Louise menggerai rambut panjangnya. Ia menginginkan potongan rambut pendek yang membuatnya terlihat lebih segar, kemudian Louise akan mengecatnya dengan warna pirang seperti Rita. Louise melakukannya dengan cepat. Gumpalan tebal rambutnya berkumpul di atas lantai dan kini ia mendapat tampilan yang diinginkannya. Tampilan itu membuatnya terlihat seperti orang yang benar-benar berbeda, namun Louise menyukainya. Ia menekankan jarinya di atas kantung matanya. Mungkin Louise juga membutuhkan krim untuk menutupi kantung mata itu. Sudah sejak lama ia tidak berdandan. Ketika mengecat rambutnya, Louise melakukannya dengan perlahan, berhati-hati sehingga tidak akan merusak tatanannya. Ia mewarnai rambutnya secara menyeluruh, nyaris tidak meninggalkan sehelaipun warna kecoklatannya. Setelah berjam-jam, Louise puas melihat hasilnya. Ia mencukur bulu halus di kakinya, mandi lebih lama dari biasanya dan menggunakan parfum milik Ed yang masih disimpannya di lemari. Louise merasa seperti baru saja memprogram ulang dirinya. Ia adalah versi yang berbeda dan ia sudah tidak sabar untuk mengetuk pintu rumah Rita Foster dan berbicara dengannya. Louise menghabiskan waktu hampir satu jam untuk memilih setelan yang pas. Ia memiliki kemeja-kemeja lama yang digunakannya saat masih mengajar. Pakaian-pakaian itu terkubur jauh di dalam lemarinya, namun masih cukup layak untuk dikenakan. Louise juga baru menyadari bahwa bobot tubuhnya menurun saat mengenakan pakaian lama itu. Pakaian itu tampak lebih besar sehingga tidak lagi menonjolkan bentuk-bentuk tubuhnya yang feminin. Dulu, Louise suka membeli baju dengan stuktur bahan yang membentuk lekuk indah pinggulnya. Ia tidak kurus, namun tidak juga gemuk, tubuhnya proporsional, dan Louise cukup tinggi. Ia suka mengenakan bot hitam, sepatu itu tampak pas di atas kakinya yang jenjang. Louise juga memiliki pinggul yang ramping, nyaris berbentuk bulat sempurna. b****g dan payudaranya penuh. Ed juga suka menggoda Louise dengan bualan-bualannya tentang p*****r abad ke-19 yang memiliki bentuk tubuh indah seperti Louise. Namun, Louise semakin kurus setiap harinya. Alkohol itu nyatanya tidak hanya melahap seisi pikiran Louise, namun juga memakan tubuhnya, membuatnya tampak sangat mengerikan dengan pakaian lamanya. Jadi, Louise memutuskan untuk melepas dan menggantinya dengan sweter tebal yang cukup nyaman. Rita mungkin tidak begitu menyukai formalitas. Lagipula, Louise cukup pandai membawa diri. Ia memiliki aura itu sejak dulu dan Ed menyukai Louise karenanya. Melalui kamera nikonnya, Louise melihat Rita sedang berdiri di atas balkon. Ia tampak seolah sedang merenungi sesuatu. Tatapannya kosong dan ia nyaris terlihat berbeda dari wanita yang kemarin dilihatnya. Rita memikirkan sesuatu, Louise menyadari hal itu sebelum ia mengetuk pintu rumahnya. Terdapat hamparan rumput pada halaman depan yang luas di sekelilingnya. Rumput itu baru saja dipangkas hingga hanya setinggi mata kaki. Jalanan berbatu disusun membentuk jalur untuk sampai di terasnya. Sementara itu cahaya lembut sinar matahari jatuh tepat di atas rumput, memanjang dan merambat hingga mencapai bebatuan yang tersusun di bawah tangga. Wajah pucat Rita muncul di depan pintu. Tidak ada riasan wajah hari ini, yang ada hanya wajah hampa seperti yang dilihatnya bertahun-tahun. Louise menjulurkan tangannya yang segera dijabat oleh Rita. Ia memaksakan senyumnya kemudian menyerahkan lilin lavender pada wanita itu. “Aku Louise, tetanggamu. Aku menempati rumah di seberang taman. Sebenarnya, kita sering bertemu, hanya saja, kita tidak pernah berbicara sebelumnya.” Rita menerima pemberian itu, setelah mengenali wajah Louise, ia mendorong pintu hingga terbuka lebih lebar. “Oh.. ya, aku ingat. Louise. Aku..” “Foster..” potong Louise. “Rita Foster.” “Kau mau masuk?” “Jika kau tidak keberatan.” “Masuklah!” Ruangan depannya sangat luas, persis seperti yang dibayangkan Louise. Lantainya terbuat dari marmer, dinding-dindingnya menyempit dan menyisakan lebih banyak ruang untuk kaca-kaca tinggi. Rita menurunkan tirai-tirainya sehingga menghalangi pemandangan keluar. Sementara itu di bagian tengah ruangan, terdapat sebuah sofa yang ditata dalam bentuk melingkar. Karpet flanel berwarna keperakan membentang di bawah sofa-sofa itu. Rak-rak menyimpan sejumlah pajangan antik. Lukisan dengan bentuk abstraksi yang menggambarkan kekacauan di sebuah kota benar-benar menarik perhatiannya. Keluarga Foster pasti membayar mahal untuk lukisan menarik itu. Di balik sekat yang membatasi ruang depan dengan ruang tengah, terdapat sebuah layar televisi yang besar. Tidak hanya itu, Rita Foster juga memiliki konter yang cukup besar dan nyaman. Mejanya dilapisi marmer. Peralatan dapur seperti porselen, oven, dan peralatan masak tertata rapi di atas meja. Rak-rak kecil yang menggantung digunakan sebagai rak bumbu. Laci-lacinya menyimpan sendok, pisau dapur dan garpu. Mereka juga memiliki kulkas yang besar. Rita sedang membuka pintu lemari pendingin itu ketika Louise memandanginya. Sekat-sekatnya dipenuhi oleh minuman dan makanan-makanan kaleng. “Kau ingin sesuatu? Teh? Kopi? Bir?” “Air saja.” Rita mengeluarkan sebotol mineral dari dalam sana, menuangnya ke dalam gelas kosong sembari mempersilakan Louise untuk menempati sofa di ruang depan. Louise sedang menyusuri jari-jarinya di atas bantalan lembut sofa ketika Rita bergabung dengannya sambil membawa segelas air. Wanita itu meletakkan lilinnya di atas meja kemudian duduk di sofa seberang sembari menggenggam gelasnya sendiri. “Ini perkenalan yang aneh karena aku hampir tiga tahun menempati rumah ini. Kita tidak pernah bertemu. Omong-omong, terima kasih untuk lilinnya. Aku harap aku punya sesuatu untuk diberikan padamu.” “Tidak perlu, aku hanya ingin berkenalan.” Rita meletakkan gelasnya, kemudian menyilangkan satu kakinya di atas kaki yang lain kemudian bergeser di atas sofa. Suaranya sedikit serak dan bergetar, lingkaran hitam di bawah matanya juga menegaskan bahwa wanita itu mungkin saja mendapat tidur yang tidak nyenak semalam. Belum lama ini Louise menyaksikannya bersitegang dengan Jimmy Foster. Louise bertanya-tanya apa yang mungkin dilaluinya semalam? Mungkinkah pasangan itu kembali berdebat? Atau itu berhubungan dengan apa yang disaksikan Louise kemarin ketika Rita mengendarai mobilnya menuju kota. Wanita itu tidak membawa mobil untuk menghadiri kelas terapinya karena itu bukan hari kamis, jadi Rita mungkin saja menemui seseorang, atau sekadar pergi untuk bersenang-senang. Namun, bersenang-senang bukanlah kata yang tepat untuk Rita. Menimbang dari sebagian besar rutinitas yang dijalani Rita di dalam rumahnya, Louise nyaris tidak dapat membayangkan Rita pergi keluar untuk bersenang-senang tanpa Jim. Tapi Louise menyimpan pertanyaan itu untuk nanti. Ia tidak ingin Rita berpikir bahwa Louise mengetahui sebagian besar aktivitasnya karena Louise menghabiskan waktu untuk mengamati wanita itu setiap hari. Louise akan mencoba menggunakan pendekatan Ed yang mulus. Ia hanya perlu berpura-pura. Rita Foster tidak akan tahu: Louise sangat pandai berpura-pura. “Sudah berapa lama kau menempati rumah itu?” pertanyaan Rita memecah keheningan. Louise sedang memandangi air dingin yang menguap di dalam gelasnya, berusaha memecahkan teka-teki di dalam kepalanya tentang apa yang dilewatkannya semalam. Namun itu hanya dugaan. Pasangan itu mungkin hanya duduk dan melewati makan malam seperti biasa, kemudian pergi untuk tidur lebih awal. Meskipun begitu, semua itu tidak memberi penjelasan tentang mengapa Rita terlihat murung pagi ini. “Lima, mungkin enam.. aku tidak ingat.” Louise tersenyum kaku. Ia mengangkat wajah kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Kau sendirian?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut, Louise sudah tahu jawabannya, namun sikapnya akan terdengar lebih meyakinkan jika ia terus berpura-pura. “Aku bersama suamiku, Jim, tapi dia sedang bekerja.” “Jadi kalian hanya berdua menempati rumah sebesar ini?” “Ya begitulah,” Rita tersenyum. “Bagaimana denganmu?” “Dulu ada suamiku,” anehnya Louise mengucapkan hal itu dengan ringan. Ia tidak berniat menutupi masa lalunya sedikitpun. Rita Foster terbukti wanita yang ramah dan menyenangkan untuk diajak berbicara. Louise berharap hubungan mereka bisa lebih dekat dari itu. “Namanya Edmund, Ed. Dia meninggalkanku lima tahun yang lalu. Dia nyaris tidak membawa apa-apa selain mobil dan pakaian yang dikenakannya hari itu. Aku tidak ingat, mungkin dia mengenakan kemeja warna biru dan celana hitam. Apapun itu..” kening Rita berkerut. Wanita itu tampak tertarik. “Apa yang terjadi?” tanyanya. “Aku mengusirnya. Aku marah besar padanya karena dia meniduri muridnya sendiri. Ed seorang dosen. Dia ahli sejarah dan dia menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja di universitas itu. Dia benar-benar menjengkelkan. Tapi dia tidak ingin mendebatku, jadi.. dia hanya mengalah dan.. pergi - atau memang itu yang diharapkannya. Entahlah.” “Oh.. maaf, aku..” “Tidak, kenapa kau berpikir itu kesalahanmu?” Louise menegakkan tubuhnya menautkan jari-jarinya di atas lutut. “Setelah lima tahun, aku mulai belajar untuk menertawakan hidupku sendiri.” “Oh Tuhan, bagaimana mungkin?” “Begitulah. Tapi aku suka Ed. Tidak ada yang seperti dia.” “Itu seharusnya tidak terjadi.” “Tapi sudah terjadi.” “Bagaimana keadaanmu? Kalian tidak punya anak?” “Tidak. Kami terlanjur berpisah sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Itu melegakan sebenarnya, karena aku benar-benar tidak pandai mengurus anak. Kupikir aku akan menjadi ibu yang buruk.” “Kau tidak terlihat seburuk itu,” sanggah Rita saat menyandarkan punggungnya di atas sofa. “Kau juga tidak terlihat begitu buruk,” Louise menautkan jari-jarinya saat merasakan perubahan emosi dalam raut wajah Rita. “Kau memiliki anak?” “Tidak, Jim dan aku belum membicarakannya.” “Kenapa kalian tidak membicarakannya? Maksudku.. berapa lama kalian menikah?” “Tiga tahun.” “Itu waktu yang cukup lama.” “Tidak cukup lama.” “Terapisku mengatakan itu sebenarnya bisa saja mencegah keretakan hubungan pernikahanku. Tapi bagaimana mungkin dia tahu? Bisa saja lebih buruk. Maksudku.. anak-anak benar-benar akan membuatmu gila. Ketika kau berniat untuk mendengar musik favoritmu atau menyaksikan film favoritmu, dia akan menangis begitu keras, dan jika kau mencoba untuk mengabaikannya, itu akan menjadi semakin buruk. Dia akan mengompol di celananya dan menangis untuk itu, kemudian dia akan memaksamu untuk bangun di tengah malam dan ketika kau siap untuk melompat dari jendela, dia akan tersenyum ke arahmu. Mengerikan, sebenarnya. Tapi Lidia, bocah itu mungkin akan memberi Ed selusin anak. Kemudian keadaannya akan menjadi lebih buruk. Entahlah.. aku berharap begitu.” Dari atas cangkirnya, Louise dapat menyaksikan Rita Foster menyeringai lebar. Ia merasa geli setelah mengakui versi terburuk dalam dirinya. Ada suatu keganjalan aneh yang dirasakannya, namun itu adalah serangkaian cara untuk memancing Rita keluar. Sementara itu, wanita yang duduk berseberangan dengannya terus menatap ke arah jendela. Rambut pirangnya membingkai wajahnya dengan anggun. Rita tampil menarik bahkan dengan versi terburuknya sekalipun. Wanita yang memiliki segalanya: sempurna nyaris dalam segala aspek, memiliki tatapan paling kosong, dan sejumlah keganjalan yang patut di pertanyakan. Akan lebih mudah jika Louise mampu membaca seisi pikiran Rita. Itu akan membuatnya menyadari posisinya. “Pasti menyenangkan dapat menempati rumah ini,” kata Louise. Rita berbalik menatapnya, kali ini wanita itu melipat kedua kakinya, bertumpu pada satu lutut kemudian menyandarkan tubuhnya kembali di punggung sofa. “Tidak selalu menyenangkan,” aku Rita. Louise berpikir bahwa ia telah membuat suatu kemajuan. Tunggu sampai Louise dapat mendengar semuanya. “Terkadang rumah ini terasa sangat besar untuk ditempati. Setiap sudutnya harus dijaga dengan baik. Itu mencegahmu untuk pergi kemanapun.” “Ya aku bisa melihatnya. Sangat disayangkan itu seharusnya menyenangkan untuk berjemur di bawah sinar matahari pada musim panas di atas sini.” Rita mengangguk, bibirnya mengulas senyum tipis dan wanita itu terus menunduk. “Kau suka Barry The Bear?” “Serius?” Rita membeliakkan matanya dengan tidak percaya. “Itu favoritku. Kau menontonnya?” “Hingga saat ini. Aku tidak begitu menyukai Talk Show, tapi aku bisa menghabiskan waktu seharian untuk menyaksikan Barry. Aku menyimpan banyak di lemariku. Aku bisa membawanya untukmu jika kau mau.” “Pasti menyenangkan.” Louise menyetujuinya, tapi ia punya firasat bahwa Rita tidak lebih tertarik pada bualan-bualannya tentang film atau anak-anak. - PUNISHMENT  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN