Bagian 11

1142 Kata
Malam yang dingin tak disangka bergerak dengan lambat. Ketegangan itu masih terasa hingga keesokan harinya. Ketika Jim baru saja menghabiskan sarapannya, Rita sedang berdiri di belakang konter, baru saja memasukkan dua kotak gula ke dalam tehnya dan menyesap teh itu dari tepi gelas. “Kau lihat dasiku?” Suara itu muncul di belakangnya. Rita berbalik saat menyambar lemari pakaian. Ia berusaha menghindari tatapan Jim bahkan ketika Rita bergerak untuk memasangkan dasi pada kerah kemeja laki-laki itu. Namun Jim tidak berhenti mengamatinya karena Rita dapat merasakan sekujur tubuhnya menegang persis ketika Jim menyentuh rahangnya. “Apa ini karena Julie? Yang benar saja!” Alih-alih menanggapinya, Rita memilih untuk berbalik pada secangkir teh yang diletakkannya di atas konter. Sejenak Rita berharap Jim dapat segera pergi sehingga ia dapat bernafas lebih leluasa. Yang terjadi, ia mendengar laki-laki itu meletakkan kunci mobilnya di atas meja. “Aku ingin kau kembali sebelum pukul lima. Aku akan menelepon,” ucap Jim sebelum berbalik dan pergi meninggalkan ruangan. Rita mendengar suara pintu depan ditutup dengan kasar. Kemudian suara gemuruh mesin dan ban yang menggilas kerikil di halaman depan rumah. Melalui kaca jendela, ia menyaksikan kepergian Jim. Mobilnya menghilang persis ketika laki-laki itu berbelok ke jalan lepas. Rita dapat merasakan darahnya berdesir cepat. Jim menginginkannya kembali sebelum pukul lima sore, dan ada banyak hal yang dapat dilakukan Rita. Ia berencana untuk mengunjungi Lester. Rita mungkin juga tidak akan menolak ajakan David untuk menghabiskan makanan dan melanjutkan diskusi mereka tentang koleksi musik-musik klasik di apartemennya. Selain itu, masih ada banyak waktu untuk berbelanja, mengecat kuku-kukunya, pergi ke salon untuk manikur. Sudah lama Rita tidak melakukannya. Hari ini ia ingin bebas dari rumah itu – dari Jim, setidaknya hingga pukul lima sore. Rita menyegerakan rencananya dengan cepat. Ia mandi dan memoles riasan tipis di wajahnya. Langit cukup cerah pagi itu, alam sepenuhnya berpihak pada Rita dan hal-hal baik berhasil membuatnya tersenyum pagi ini. Ia mengendarai mobilnya melewati kediaman Mrs. Lawrence yang masih tertutup, kemudian rumah di seberang taman. Seorang wanita berambut merah yang tinggal di seberang taman tampak sedang menunggu seseorang di terasnya. Wanita itu mencondongkan tubuh saat melihatnya, seakan-akan ia baru saja melihat hantu. Ekspresinya kosong dan ia benar-benar pucat. Rita hanya tersenyum sekilas kemudian mengemudikan mobilnya melewati tikungan. Aneh, pikir Rita. Ia hanya pernah melihat wanita itu beberapa kali. Jika tidak salah, nama Louise. Ia tinggal di seberang rumahnya sendirian. Sesekali wanita berambut pirang yang sedikit mirip dan lebih tinggi mengunjungi rumah itu, tapi hanya sementara. Rita menduga wanita itu adalah salah satu saudarinya. Louise menjalani kehidupan yang aneh, tidak hanya itu sikapnya juga terlihat aneh. Wanita itu sering terlihat berdiri di belakang jendela rumahnya, menatap lurus ke depan seolah sedang mengamati Rita. Diam-diam, Rita merasa takut padanya, namun Louise sama sekali tidak terlihat berbahaya. Siapapun yang melihat wajahnya akan menyadari bahwa wanita itu merupakan seorang pemabuk yang menjalani sisa hidupnya bersama alkohol dan obat-obatan. Rita mengusir pikiran itu dan mengendara dengan cepat. Kota tampak padat, puluhan kendaraan melintasi jalur yang sama, rambu-rambu lalu lintas bergilir mengatur jalan. Ruko-ruko di sudut jalan baru saja beroperasi. Pub-pub mulai dipadati pengunjung dan belasan orang yang baru saja menyeberang jalan, berbondong-bondong menuju sebuah walmart. Rita berhenti di sebuah restoran untuk membeli makanan siap saji. Ia telah memesan kopi berukuran besar untuk dirinya dan membayar pesanannya dengan cepat. Kemudian, Rita mengendarai mobilnya menuju apartemen David. Laki-laki itu telah menunggunya di pintu depan ketika Rita masuk. Sambutan David terdengar hangat dengan aksen prancisnya yang kental. Genggamannya pada tangan Rita mengerat ketika mereka sampai di depan pintu suite. Kemudian, David menggeser pintu dan mempersilakan Rita untuk masuk mendahuluinya. Aroma krim cukur menguar di dalam ruangan. Selain itu, aroma masakan yang baru saja diangkat dari oven juga tercium segar. Ketika Rita hanya berdiri di tempatnya, ragu untuk mengambil langkah lebih jauh, laki-laki itu membantunya melepaskan mantel dan menggantungnya di tiang besi. David kemudian membimbingnya untuk mendekati konter dan menarik kursi untuk Rita. Samar-samar Rita teringat Jim dan percakapan mereka semalam. Sudah lama sejak Jim bersikap manis dan menyiapkan masakan untuknya. Laki-laki itu menyukai rasa manis, masakan Jim selalu terasa manis. “Kuharap kau cukup lapar karena aku membuat lebih banyak porsi untuk dimakan dua orang.” David mengelilingi ruangan. Laki-laki itu bergerak dengan cepat hingga Rita nyaris tidak menyadarinya. Kemudian, di sudut, ia memerhatikan punggung David yang lebar, menyaksikan tangannya bergerak luwes saat menuang bir ke dalam dua gelas kosong. “Kuharap kau suka anggur merah.” “Terima kasih.” “Kau mau kutambahkan batu es?” “Ya, tolong.” Mereka duduk bersampingan di depan konter. Laki-laki itu memandanginya ketika Rita menyesap anggur dari gelasnya. Kemudian dengan tangan bergetar, Rita meletakkan gelasnya di atas konter, merasakan keheningan di sekeliling mereka dan mengingat Jim. Satu bagian dalam dirinya enggan mengecewakan Jim, bagian lain begitu mendambakan kebebasan yang tidak diberikan Jim. Rita sepenuhnya bergantung pada keputusan untuk melanjutkan atau mengakhirinya. “Ada apa?” tanya David ketika menyadari perubahan situasi di antara mereka. “Kau baik-baik saja?” “Aku terpikir tentang Jim.” David tidak menunjukan reaksi tententu, namun Rita dapat merasakan ekspresinya mengeras. Laki-laki itu berusaha untuk menarik rahangnya untuk dapat tersenyum. “Apa?” “Maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.” “Tidak apa-apa, katakan saja. Aku bukannya orang asing, kau ingat? Kau butuh waktu?” “Tidak, tidak, hanya saja..” Rita menarik nafas dan mengembuskannya dengan cepat. Bulir-bulir uap dari dalam gelas kaca itu mengaburkan warna merah pekat anggurnya, tanpa sadar menariknya perhatiannya. Sementara itu, David masih menunggunya mengucapkan sesuatu. Satu hal yang dikaguminya adalah ketenangan laki-laki itu, keterbukaannya yang bersahabat: satu perasaan yang tidak akan dirasakannya bersama Jim. Saat berbicara dengan Jim, Rita akan memikirkan secara ulang tentang apa yang harus dikatakannya. Sikap penuh hati-hati itu membuatnya sampai pada satu keputusan yang salah. Pada akhirnya, ia hanyut dalam kekeliruan setiap saat. Sementara hidupnya terus bergerak seirama dengan jarum jam. Hidupnya terbatas pada ruang dan waktu. Segalanya bergerak cepat, detik ke detik, menit ke menit, hari berganti hari, bulan, dan tidak terasa tahun demi tahun berlalu. Ia hanyut sepenuhnya dalam kekeliruan yang dibuatnya sendiri: sebuah keputusan yang memaksanya terseret arus lebih jauh. Rita telah terseret begitu jauh hingga ia khawatir jika tidak ada seseorang yang akan bisa menolongnya, menariknya keluar dari kubangan besar yang dibuatnya sendiri. “Kau baik-baik saja?” suara David lembut, penuh dan bergetar seperti biasanya. Kemudian laki-laki itu mendekat, minum dari gelasnya dan tersenyum. “Ini enak,” katanya dengan santai. “Apa yang harus kukatakan pada Jim?” Ada satu perasaan lega yang dirasakan Rita setelah mengatakannya. Ia tahu persis bahwa David memahami ucapannya, tahu kemana pertanyaan itu mengarah dan reaksinya benar-benar mengejutkan Rita. Laki-laki itu mengagetkan Rita dengan menciumnya. Tubuh Rita mematung di tempatnya, ia pikir ia baru saja merasakan aroma David di bibirnya. “Katakan yang sebenarnya, atau kau bisa diam dan selanjutnya akan berjalan seperti ini.” - PUNISHMENT
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN