Amelia yang Manis

922 Kata
"Bik Inah, tolong cobain. Enak, kan?" Aku buka satu bungkus pepes untuk dicoba. Setelah dipanggang sebentar, bau pepesnya terasa lebih enak. "Heem, enak bu. Rasanya seger, tidak ada rasa amis. Enak. Ini saya coba dikit saja, ya. Tak bawa ke belakang buat Kang Maman. Dia suka yang ginian," kata dia sambil menunjukkan jempol, bergegas dia rapikan makanannya itu. Aku tersenyum geli melihat tingkahnya. "Saya mandi dulu ya, Bik? Tuan dan nona masih lama kembalinya. Tolong dijaga sebentar ya." Aku rapikan peralatan dapur dan diteruskan Bik Inah mencuci peralatan dapur. Untuk urusan cuci mencuci diambil alih dia * Terasa hilang pegal dibadan dan sedikit terurai otakku yang penuh dengan ingatan file-file tadi. Hmmm ... Ternyata capek juga. Aku pakai baju bersih, baju hijau toska dipadukan dengan rok tiga perempat dengan warna hijau tua. Rambut disanggul rapi dan riasan tipis. Mbak Anita sudah berpesan, aku harus selalu tampil rapi dan bersih. Aku cek ponsel, mungkin ada yang menghubungi. Satu pesan yang masuk, dari Wisnu-anakku. [Ma, bagaimana pekerjaannya? Mama baik-baik saja?] [Mama sudah ditempat kerja. Alhamdulillah, kerjaannya baik. Kamu jaga diri. Do'akan mama selalu sehat] [Selalu ma. Wisnu selalu berdo'a buat mama. I love you ma] Dia langsung menjawab pesanku, berarti dia menantikan ini dari tadi. Terasa sesak didadaku, ingin menangis. Aku hela nafas dalam-dalam mencari kekuatan, saya harus kuat dan tega kepada Wisnu. Supaya dia menjadi anak yang mandiri dan kuat. [Iya sayang. Love you anakku] Wisnu, dia anak satu-satunya. Setelah berpisah dengan Mas Bram-mantan suami, kami menetap di rumah orang tuaku. Tinggal ibu saja disana, bapak sudah meninggal. Ibu mempunyai beberapa peternakan ayam yang sudah dikelola rekanan. Nanti hasil usaha akan dibagi sesuai kesepakatan. Hasilnya lumayan untuk kehidupan kami bertiga. Tetapi, akhir-akhir ini harga tidak stabil, kami mengalami kebangkrutan. Bukan untung, malah tabungan kami keikut untuk operasional. Minggu kemarin, Wisnu memberi kabar gembira. Kabar ini yang membuat saya bertekad untuk mencari pekerjaan yang berpenghasilan tetap. "Mama .... Mama .... Aku diterima kuliah, Bu!" teriak Wisnu anakmu. Dia lari dan memelukku. Wajahnya sangat senang, cita-cita sekolah diperguruan tinggi di Malang tercapai. Arsitektur, jurusan yang dia ambil. "Alhamdulillah, Nak. Akhirnya kerja kerasmu tercapai. Ibu senang sekali," aku usap rambutnya yang panjang ikal. Rambutnya gondrong, dia janji akan potong kalau yang diinginkan tercapai. Badannya sudah kelihatan tinggi. Dengan tinggi sekitar 170 cm, kulit sawo matang, dan wajah bersih, dia kelihatan lebih dewasa dan ganteng. Aku bertekad untuk mengantarmu menjadi orang sukses tanpa mengandalkan Mas Bram. Sakit hati ini kalau ingat penghianatannya. Tiga tahun dia membohongiku. Tiga tahun, saya dibodohi mereka! Pembukaan cabang di Batam hanya sekedar kedok untuk menyembunyikan istri barunya. Sampai punya anak dua, saya tidak menyadari penghianatannya. Saya sangat kecewa dan merasa menjadi orang bodoh sedunia. Anggap saja dulu kami tidak pernah kenal, sekarang saya kembali dititik awal itu. Saya anggap tidak pernah mengenal Mas Bram, saya coret dari hidup ini. Oleh karena itu, saya menolak dengan tegas pembagian harta ataupun biaya untuk Wisnu. Saya hilangkan dia dari hidup saya. Saya mau hidup tenang. Tin .... Tin .... Tin .... Terdengar bunyi klanson mobil. Ternyata Nona Amelia pulang dari sekolah. "Selamat siang, Nona Amelia. Perkenalkan, saya Maharani, panggil saja Rani," ucapku memperkenalkan diri. "Ini Tante Rani, ya! Wah, sudah dateng!" dia langsung menghampiriku, memelukku dan menggelayut manja seperti seorang anak kepada ibunya. Anak ini manis sekali, sejenak teringat Wisnu anakku. Wajahnya cantik putih bersih, memakai baju seragam kotak-kotak, sepatu putih, cantik sekali. "Non, segera bersih-bersih dan langsung makan ya. Tante sudah masak buat nona." "Ok!" jawab Amelia, dia langsung berlari ke kamarnya. Aku siapkan makanan di atas meja dengan piring, sendok, garpu termasuk napkin yang saya tata atur sedemikian rupa seperti di restoran. Di buku panduan tercantum, dia suka jus mangga tetapi tidak suka jus buah naga. Baik, aku buat jus mangga dengan racikan seperti di restoran tempatku bekerja. Dulu sebagai manager, aku tahu benar resep dan rasa yang pas. "Wow, enak sekali!" teriak Amelia melihat makanan yang tersedia di meja. "Heeemmm, jusnya enak banget. Tante racik sendiri ya?! Tidak seperti biasanya," komentarnya setelah minum jus mangga sampai tandas. "Mau lagi, Te" "Cukup ya. Makan dulu. Nanti tante buatkan lagi setelah makan. Nona, ayo makan!" Aku ambilkan nasi di piringnya. Pepes kubuka sedikit. Dia memandangku terus, apa yang aku lakukan dia ikuti. Entah, apa yang dipikirkan. "Tante, jangan panggil aku nona, dong. Aku malu. Panggil aja Amel atau sayang. Seperti temanku dipanggil mamanya. Aku pingin gitu" rajuk Amelia kepadaku. Matanya seperti memohon. Deg .... Aku iba melihatnya. "Baik. Tante panggil Amel atau sayang, ya. Ayok, sekarang makan. Ini pakai lauk yang mana, Sayang?" Sikap kami mulai akrab. Ternyata Amelia yang memilihku untuk bekerja di sini. Berkas lamaran yang dikirim lewat online dia pelajari semua, dan jatuh pilihannya kepadaku. Katanya, merasa sudah klik. Ini kesempatan pertama, dia memilih orang yang kerja di sini. Biasanya, Nyonya Besar yang mengirim orang untuk bekerja mengurus pekerjaan ini. Kata Amelia, orangnya banyak yang aneh-aneh. Paling lama satu tahun bertahan. Kami makan bersama, dia memaksa untuk ditemani. Makannya lahap sekali, sekarang sudah piring kedua. Seperti lapar sekali. "Sayang, di sekolah apa tidak makan di kantin?" "Makanan di kantin tidak enak. Aku malas makan. Di sekolah makan camilan aja," katanya sambil mengunyah makanannya. "Kalau tante buatkan bekal makanan, mau?" "Mau banget tante! Wah, aku bisa pamer sama temanku! Biasanya aku suka dipameri bahkan diledek sama mereka. Mereka suka bawa bekal, katanya mamanya yang buat. Yang enak ya?" Melihat tingkah Amelia, dadaku sesak. Anak ini dari umur 5 tahun tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Kasihan. Sambil makan, dia terus tersenyum dan memandangku. Manis sekali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN