Aku Maharani

409 Kata
Namaku Maharani Tunggadewi. Orang sekelilingku biasanya memanggilku, Rani. Diusiaku di 38 tahun sudah menjadi janda, janda anak satu. Dan, sekarang sudah satu tahun berlalu. Mas Bram, sebutanku untuk laki-laki bernama Bramantya Atmaja. Dia adalah mantan suamiku. Kami bersama dari masa kuliah dahulu, dan meresmikan setelah mendapatkan ijasah kelulusan. Dimataku, dia orang yang spesial. Dengan postur yang tinggi, badan tegap walaupun tidak terlalu besar dan kulit sedikit gelap menambah dia kelihatan keren disaat itu. Dia ambil jurusan Tehnik Sipil sedangkan aku di D3 Design Interior, pasangan yang sempurna. Berbekal ilmu dan tekad, kami mulai membuka usaha di Bali. Itu tempat yang kami impikan dari dulu. Kami bisa bekerja sekaligus berlibur disetiap harinya. Impian yang indah untuk pasangan baru. Usaha kami masih belum ada hasil, untuk membantu keuangan aku bekerja sebagai manager di restoran di pusat pariwisata ini. Pengalamanku berorganisasi sangat membantuku. Karirku melesat pesat, dalam dua tahun aku sudah menjadi kepala cabang yang membawahi wilayah Bali dan Lombok. Bertahap tetapi pasti, usaha kami mulai berkembang. Kebahagiaan kami menjadi lengkap dengan lahirnya anak lelakiku, Wisnu Atmaja. Harapan menjadi anak lelaki yang bijaksana yang tersirat disitu. Kami sepakat untuk konsentrasi ke usaha sendiri dan perkembangan anakku dan aku keluar dari tempat kerja dan konsentrasi membantu Mas Bram untuk mengelola usahanya Kami bahagia sekali. Aku dan mas Bram setiap hari bersama. Usaha kami semakin maju, dan Mas Bram membuka cabang baru di Batam. Katanya ada teman yang mengelola di sana jadi tidak akan merepotkan pekerjaanku di kantor. Benar, aku tidak direpotkan dengan pekerjaan di Batam, termasuk dengan urusan suamiku. Seringkali dia di sana dengan alasan ada proyek yang mengharuskan dia di sana. Tidak hanya satu atau dua hari, bahkan pernah dia sebulan tidak pulang. Hari itu. Duniaku seperti terbalik. Aku menerima kiriman foto-foto Mas Bram ketika menikah, ketika menggendong bayi dan ketika liburan keluarga. Dan, foto disebelahnya bukan kami. Mereka terlihat bahagia, Mas Bram, perempuan muda yang cantik dan dua anak yang masih balita. Pengirim tanpa nama, dan ketika aku hubungi sudah tidak aktif lagi. Aku tidak perlu penjelasan apapun. Ketika itu, Wisnu sudah SMP kelas tiga. Dia tahu benar apa itu artinya. Hati kami menjadi beku dan mati. Diwaktu yang sama, kami, saya dan Wisnu sepakat untuk segera meninggalkan rumah. Perceraianku di urus pengacara, kami tidak mau bertemu lagi dengan dia. Aku tidak menuntut atau meminta apapun dari dia. Pergi secepatnya, itu Saja! Aku anggap, Mas Bram tidak pernah ada di hidupku. Dia sudah mati di hati kami. *** Astika Buana
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN