Bab 11. Pesan Kaleng

1028 Kata
Sekitar jam 10 malam lewat dikit Nina tiba di mansion. Dengan mengayun langkah dengan santainya ia menuju paviliun dari samping mansion, tidak perlu harus masuk ke dalam mansion untuk ke sana. Bibirnya sejak tadi mengulum senyum tipisnya. “Apa ya reaksinya dia sekarang, semoga tidak sport jantung. Tapi gak pa-pa deh, biar makin sehat jantungnya,” gumam Nina sendiri, matanya agak menyipit sinis, hatinya membara mengingat apa yang baru saja ia kirim ke nomor Rafa. Ya, gadis itu sudah mulai menyerang suaminya perlahan-lahan. Lantas apa reaksi Rafa? Pria itu masih berada di ruang kerjanya tenggelam dengan pekerjaannya, sementara Cakra sudah berpamitan beristirahat, tinggallah Rafa seorang diri di sana. Saking sibuknya ia mengabaikan suara pesan masuk di ponselnya, berpikir jika bukan pesan yang penting, selain menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tetapi untung saja suara pintu terketuk tidak diabaikannya. “Ya, masuk!” sahut Rafa dari dalam ruang kerja tanpa menolehkan wajahnya ke arah pintu. Rupanya yang mengetuk adalah Gusti. “Permisi Tuan, ini kopi yang Tuan minta. Selain ini ada yang Tuan Rafa butuhkan lagi?” tanya Gusti sembari menaruh cangkir kopi yang ia bawa ke atas meja. Rafa mengangkat wajahnya, lalu langsung menyesap kopinya yang masih terasa hangat tanpa menjawab pertanyaan Gusti terlebih dahulu. Pas ia menyesap kopinya, kening Rafa mengernyit, lalu tepi cangkir kopinya ia tarik dari bibirnya. “Pak Gusti ini kenapa rasa kopinya berbeda sama yang tadi siang saya coba ya?” tanya Rafa curiga, padahal ia ingin kembali merasakan kopi yang sangat nikmat seperti tadi siang. Gusti mendesah pelan, lupa akan permintaan tuannya tadi siang. Pikirnya Rafa tidak akan bisa membedakan rasa kopinya, ternyata masih teringat. “Ini yang buat kopinya Pak Gusti,’kan? Sama seperti tadi siang? Seharusnya rasanya konsisten, atau yang buat kopinya berbeda?” cecar Rafa jadi tidak mood minum kopi sehingga ia meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas piring tatakan. Pria paruh baya itu tampak kikuk menjawabnya. “Kalau begitu saya ganti kopinya dengan yang baru, jika yang ini kurang enak, Tuan,” jawab Gusti sembari menarik cangkir kopinya. “Tidak usah, bawa saja cangkirnya. Percuma saja kalau nanti rasanya tidak sama, saya mau rasa yang sama seperti tadi siang!” tegas Rafa. Gusti menarik napasnya dalam-dalam, sepertinya ia harus memberitahukan kebenarannya, siapa tahu jika tuannya sudah tahu siapa pembuatnya tidak akan minta dibuatkan kopi dengan rasa yang sama. “Maaf Tuan, sebenarnya kopi yang Tuan minum tadi siang itu buatan maid baru,” ucap Gusti pelan. Rafa kembali mendongakkan wajahnya dengan ekspresi terkejutnya. “Maksud Pak Gusti yang buat Nina itu?” tanya Rafa, rasanya ia ingin menertawakan dirinya yang sempat memuji rasa kopi tadi siang di hadapan Nina, padahal ia tidak suka dengan gadis itu. “Kalau Tuan ingin kopi buatannya, saya akan minta Nina buatkan, tapi saya belum tahu dia sudah kembali ke mansion atau belum,” ucap Gusti sangat berhati-hati bicaranya. Rafa mendesis sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Tidak usah Pak Gusti, kopinya tidak enak. Sebaiknya Pak Gusti keluar saja dan bawa cangkir kopi ini,” titah Rafa, kini ia memutar balik fakta. Gusti hanya bisa mengangguk paham lalu membawa cangkir kopi itu keluar dari sana. Tinggallah Rafa yang jengkel dengan dirinya, sembari mengambil ponselnya di atas meja kerjanya. Beberapa pesan masuk ia baca, sampai ke nomor yang tidak ia kenal pun dibacanya, lantas pria itu terhenyak seketika saat melihat foto yang dikirim ke ponselnya. “Hai, masihkah Anda ingat dengan gadis ini yang Anda nikahi di Balikpapan 4 tahun yang lalu?” Inilah pesan yang Rafa baca selain foto Nina yang masih terbaring di ruang ICU dengan wajahnya penuh perban. “Malang sekali nasib gadis ini? Hanya dinikahi saja lalu ditinggal begitu saja!” Lanjutan isi pesan tersebut. Sontak saja Rafa menaruh kembali ponselnya dengan sedikit mengentakkannya di meja kerja. “Pesan apa itu barusan!” seru Rafa bergidik lantas langsung beranjak dari duduk, pandangannya kembali ke ponselnya. Sungguh Rafa sangat terkejut dengan pesan tersebut, terutama foto gadis yang dulu ia tabrakan tak sengaja. “Aku sudah mengganti nomor ponselku, jadi tidak akan ada yang bisa menghubungiku!” gumam Rafa sembari mengingat-ingat, jika empat tahun yang lalu begitu ia tiba di Jakarta langsung mengganti nomor ponsel agar tidak ada komunikasi kembali dengan keluarga korban sekali, istri pertamanya itu. Apalagi ia merasa dengan membayar biaya rumah sakit sebanyak 300 juta menurutnya urusan sudah selesai. Lagipula sebenarnya ia tidak pernah menganggap pernikahan itu terjadi, pernikahan itu hanya terpaksa. Notif pesan kembali berbunyi, Rafa kembali mengutip ponselnya, lalu membaca pesan tersebut. “Hidup Anda tampaknya begitu nyaman ya! Seharusnya Anda itu tinggal di balik jeruji! Bukannya menikahi gadis itu, lalu Anda mencampakkannya begitu saja!” Rafa geram, lantas sekejap ia membalas pesan tersebut. “Siapa kamu! Anda sepertinya salah kirim pesan!” balas pesan Rafa. Sembari ia menunggu jawaban dari pengirim pesan tersebut, Rafa mengecek profilnya dan alhasil kosong, tidak ada foto profilnya, cek di aplikasi get contacts pun tidak ada namanya. “Mana mungkin saya salah kirim pesan Pak Rafa Fauzan Pradana!” Balasan pesan. Deg! Jantung Rafa berdegup cepat melihat nama lengkapnya disebut. Nina kembali tersenyum sumringah, kemudian ia mematikan ponselnya. “Hari ini sudah cukup,” gumam Nina terkekeh pelan. “Kayaknya makan mie ramen enak nih,” lanjut Nina bergumam sendiri sembari melihat plastik belanjaan yang ia bawa pulang itu. Lantas, ia bergegas ganti pakaian saja tanpa merubah penyamarannya, kemudian membawa mie untuk dimasaknya di dapur kotor yang ada di mansion. Suasana di mansion tidak terlalu banyak maid karena sudah banyak yang beristirahat, jadi Nina leluasa menggunakan dapur kotor di sana tanpa merasa bersalah. Sebelum memasak ia harus meraba terlebih dahulu di mana letak alat masak serta perkakas yang lainnya, sekalian cek isi lemari pendingin siapa tahu ada sayur dan telor buat tambahan toping mienya. Sementara itu, otak Rafa sudah semakin mumet, pusing, dan butuh minuman untuk menyegarkan otaknya, alhasil ia pergi ke dapur kering untuk mengambilnya. Usai mendapatkan minuman kaleng di lemari pendingin, sayup-sayup telinganya mendengar suara klotak-klotak di ruang sebelah, kakinya pun bergerak ke arah dapur kotor. Lantas, terlihatlah Nina sedang masak mie, dan gadis itu tidak menyadari jika pria itu mendekat dan sudah berdiri di sampingnya. “Buatkan saya kopi sekarang juga!” perintah Rafa yang cukup membuat Nina terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN