Nina menunggu reaksi Rafa saat membaca CV dan sudah menyebut namanya barusan. Alhasil pria itu tidak menunjukkan raut wajah terkejutnya, tetap terlihat dingin dan tenang. Hati Nina jelas semakin tercabik-cabik melihat suaminya yang memang melupakan nama gadis yang pernah ia nikahi itu. Miris bukan!
Dugaan Nina memang benar, Rafa ingat jika pernah terpaksa menikah dengan gadis yang tidak ia kenali tetapi lupa dengan nama istri pertamanya itu, karena tidak pernah tersemat di hatinya, yang ada hanyalah nama Emma Febiola yang selama ini menjadi kekasih dan istri keduanya jika dirunut dari kejadian sebelumnya. Namun, bagi Rafa hanya Emma lah istri satu-satunya, tidak ada istilah istri pertama dan kedua.
Rafa pun juga memang sengaja memutuskan kontak yang ia berikan pada kakeknya Nina, menghilangkan jejaknya begitu saja dan tidak merasa bersalah sama sekali. Tetap hidup dengan tenang dan membina rumah tangga bersama Emma yang sudah memasuki tiga tahun usia pernikahannya. Berbeda dengan Nina yang selama itu sedang berjuang keras.
“Lulusan SMU, asal dari Balikpapan, jauh juga ya,” gumam Rafa sendiri saat membaca CV milik Nina.
“Dan, status sudah menikah!” Alis mata Rafa naik sebelah seiringan dengan wajahnya yang kembali mendongak. Salah satu peraturan penerimaan maid yang bekerja di mansionnya adalah yang berstatus belum menikah atau janda tanpa anak dengan tujuan agar tidak terlalu banyak minta izin pulang kampung.
“Kamu tahu peraturan di sini tidak menerima maid yang berstatus sudah menikah. Jadi—“ Rafa masih menatap lekat pada Nina yang kini mendesah pelan.
“Itu hanya status di CV saja, Tuan Rafa. Kenyataannya suami saya sudah kabur digondol wewe gombel selama 4 tahun lamanya. Jadi bagaimana saya mau urus status pernikahan saya tersebut, gak mungkin juga saya harus mengejar suami yang udah kabur begitu saja kecuali suami saya tergeletak tak bernyawa di depan saya, barulah ada akta janda ditinggal modar,” jawab Nina santai, padahal ia sedang menyindir halus suaminya, sehalus sutra tanpa cela.
“Ehmmm!” Rafa jadi ikutan tarik napas dalam-dalam sembari menarik kerah kemejanya, ia sudah berusaha terlihat serius dalam wawancara justru dipatahkan dengan jawaban gadis itu.
“Jadi bagaimana Tuan Rafa, apa terkendala dengan status pernikahan saya itu? Padahal tugas saya hanya berbenah, nyuci, masak, gosok, bukan ngurus suami orang, ’kan?” tanya Nina dengan mendelikkan matanya berulang kali.
Rafa meninggikan lehernya sembari berdeham, fix maid ini harus ditandai olehnya karena sejak tadi banyak cakap padanya, tidak ada rasa sungkan atau hormat.
“Berapa gaji yang kamu pinta jika saya terima kamu bekerja di sini?” tanya Rafa serius.
Nina mengulum senyum tipisnya sembari membenarkan gagang kacamatanya. “Saya yakin pasti Tuan akan memberikan gaji yang sesuai jadi saya hanya mengikutinya saja. Hanya saja saya ingin menyampaikan jika ada beberapa hal yang perlu Tuan ketahui, andaikan saya diterima bekerja di sini dan semoga Tuan Rafa bisa memberikan kelonggarannya serta bisa memakluminya.” Akting selanjutnya mulai dimainkan oleh Nina.
Gadis itu menundukkan kepalanya sejenak sembari mengusap ujung matanya seakan ada air mata yang jatuh di sana.
“Sejujurnya saya hanya bisa bekerja dari pagi hingga jam 3 sore, karena selebihnya saya harus berada di rumah sakit untuk menemani kakek saya yang kini sedang dalam koma. Jika keadaan kakek saya sudah pulih mungkin saya bisa full kerjanya, jadi saya rela digaji berapa pun oleh Tuan demi menyambung nyawa saya selama tinggal di Jakarta,” tutur Nina begitu lirih, menciptakan kesedihan yang begitu mendalam di hadapan Rafa.
Bekerja sebagai maid bukan berarti ia sepenuhnya jadi maid di mansion Rafa, pekerjaannya yang saat ini ia rintis sebagai desainer fashion tidak bisa ia tinggalkan begitu saja, apalagi beberapa bulan ke depan ada pagelaran fashion week yang harus ia ikuti. Jadi sebisa mungkin ia harus bisa membagi waktunya agar jalan seirama.
Rafa tampak berpikir mencari jalan keluar, di hatinya agak iba mendengar cerita Nina sungguh pandai sekali gadis itu merubah ekspresinya untuk menarik simpati suaminya, setelah sempat membuat Rafa kesal.
“Kamu yakin mau terima setengah dari gaji yang seharusnya diterima karena jam kerja kamu tidak full seperti yang lainnya. Saya juga tidak mau rugi jika harus membayar gaji karyawan tidak sesuai dengan jam kerja?” tanya Rafa melayangkan tatapan seriusnya.
Nina kembali mengusap ujung matanya seakan masih di rundung kesedihan, kemudian membalas tatapan pria itu dengan tatapan sendunya. “Saya rela, asalkan masih diizinkan tinggal di sini dan dapat makan tiga kali sehari. Setidaknya biaya kontrak rumah selama ini hilang dari pundak saya, Tuan. Hidup saya ini hanya berdua saja sama kakek saya, bayangkan Tuan,” jawab Nina tersedu-sedu.
“Alamak geli sendiri aku berpura-pura kayak begini. Amit-amit jabang bayi, sehat sehat ya kakek,” gerutu batin Nina.
Rafa menghela napas panjang, lalu mengambil berkas di dalam laci meja kerja dan meletakkan di atas meja kerjanya.
“Baiklah kamu saya terima bekerja di sini, ada masa percobaan selama tiga bulan. Dan, ada beberapa yang perlu kamu ketahui selama bekerja di sini. Kamu harus mematuhi segala perintah yang diminta oleh Pak Gusti selaku kepala pelayan di sini, kemudian kamu harus menjaga sikap untuk selalu menjaga jarak dari saya! Jangan sekali-kali berniat menggoda majikan sendiri jika kamu masih ingin lama bekerja di sini. Lalu, patuhi segala perintah istri saya selaku Nyonya di sini! Ingat itu!” tegas Rafa sembari mendorong surat perjanjian kerja serta ballpoint ke hadapan Nina.
“Tanda tangani surat kontraknya,” perintah Rafa.
Gadis itu melangkah maju, kemudian mengambil surat tersebut untuk dibacanya terlebih dahulu.
“Maaf Tuan, berarti saya harus jaga jarak berapa meter dari keberadaan Tuan sendiri kalau saya tidak dibolehkan dekat-dekat, apalagi jika nanti disuruh oleh Pak Gusti yang terkaitan dengan keperluan Tuan sendiri. Saya perlu tahu?” tanya Nina sedetail mungkin.
“Lagian mana ada saya niatan buat godain Tuan, ya kali Tuan suka sama saya yang hanya babu saja. Apalagi nyonya cantik dan semok sekali tidak ada yang bisa menandinginya,” lanjut kata Nina menyindir pelan sekali, tetapi Rafa mendengarkannya.
Membulatlah mata Rafa, jengkel mendengar ucapan gadis itu. “Yang mengurus keperluan saya itu Pak Gusti, jadi jangan sok tahu dulu. Sebisa mungkin kamu tidak ada di hadapan saya saat bekerja di sini!” sentak Rafa tampak kesal. Lalu, tak lama ponselnya berdering, mau tidak mau ia harus menerima panggilan teleponnya.
“Bagaimana Cakra ... sudah bisa menghubungi Karenina desainer dari London itu?” tanya Rafa saat menerima panggilan telepon dari asisten pribadi dengan tatapan jengkel pada Nina.
Telinga Nina langsung meninggi bagai telinga kelinci saat mendengar nama lainnya sendiri!
“Karenina?”