Nina sudah kembali ke dapur kotor, tampak ada chef bertugas dibantu beberapa maid sedang menyiapkan makan siang untuk tuannya. Lantas, ia melirik bingung mau bantu apa di dapur tersebut.
“Nina, ikut Bibi ke ruang laundry. Kamu tidak perlu bantu di sini,” ajak Bik Yuni yang kebetulan kembali ke sana untuk menaruh gelas.
Kebetulan sekali Nina juga tidak mau berlama-lama berada di dapur kotor, apalagi maid yang ada di sana tampaknya tidak ramah saat mereka tak sengaja berpapasan saling menatap. Berasa kayak orang memiliki kesalahan kalau melihat tatapan mereka.
“Ok, Bik Yuni,” balas Nina menyetujuinya, lantas melangkah mengikuti wanita paruh baya itu menuju ruang laundry yang berada di bagian belakan mansion dekat halaman khusus untuk menjemur.
“Selama di sini kamu harus berhati-hati dengan pekerja lain. Ada salah satu maid pribadi Nyonya Emma, dia salah satu mata-mata yang bisa bikin pekerja lain di pecat,” ucap Bik Yuni menjelaskan saat mereka menuju ruang laundry.
Nina mengernyit sembari agak memicingkan matanya. “Ternyata dunia kerja di mana-mana itu masih ada sikut menyikut, termasuk jadi babu aja juga penjilatnya,” gumam Nina pelan, tidak habis pikir.
“Kamu bisa menilai sendirikan bagaimana pesona Tuan Rafa, banyak wanita berbondong-bondong melamar bekerja jadi maid demi bisa melihat secara dekat dengan Tuan Rafa. Makanya gara-gara hal itu juga mereka banyak dipecat oleh Nyonya Emma. Nyonya Emma itu sangat pencemburu sekali, dia tidak segan akan melakukan hal yang kasar kalau ada maid yang nampak cari perhatian pada Tuan Rafa. Apalagi Tuan dan Nyonya belum memiliki anak,” imbuh Bik Yuni menceritakannya.
Bibir Nina hanya membulat serta mengangguk paham. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan dirinya yang menjadi maid di sana, menggoda suaminya sendiri.
“Jadi sekali lagi Bibi tekankan padamu jika ingin bekerja lama di sini, harus hati-hati dan jaga sikap,” lanjut kata Bik Yuni.
“Ya, Bik.”
Setibanya di ruang laundy sudah ada salah satu maid sedang menyetrika. Bik Yuni merapikannya dan memasukkannya ke keranjang, kemudian beberapa jas milik Rafa diberikan pada Nina untuk dibawanya.
“Bibi akan mengajarkan kamu merapikan baju-baju ini,” ucap Bik Yuni sebelum mereka keluar, dan gadis itu hanya mengangguk paham tanpa banyak bertanya.
Sepanjang mengikuti langkah Bik Yuni, pandangan Nina mengedari setiap sudut ruangan yang mereka lewati, ingatannya kembali di masa ia masih tinggal bersama papanya. Mansion yang cukup mewah, sayangnya mansion itu sudah dikuasai oleh ibu dan saudara tirinya. Sekarang melihat tempat tinggal suaminya bikin hatinya miris, bukan ia yang merasakan hunian suaminya tetapi wanita lain.
“Ayo masuk, kok malah diam saja,” ajak Bik Yuni melihat Nina termangu di depan pintu kamar utama.
Lamunan Nina langsung buyar seketika. “Eh, maaf Bik. Ini kamar siapa ya?” tanya Nina saat Bik Yuni sedang membukakan pintu.
“Ini kamar utama yang ditempati Tuan dan Nyonya, kita biasa mengantarkan pakaiannya di saat Tuan dan Nyonya tidak ada, kamu harus ingat itu. Kalau ada Tuan atau Nyonya, kita dilarang masuk kecuali dipanggil atau jadwal bebersih,” jelas Bik Yuni.
Nina kembali mengangguk paham, pandangannya kembali bergerilya melihat isi kamar yang begitu luas dan sangat mewah. Dan, ketika ia melihat bingkai foto pernikahan Rafa dan Emma, langkah kakinya berhenti, tatapannya begitu tajam. “Seharusnya jika Tuan memang ingin menikahi wanita lain harusnya ceraikan aku, bukannya membiarkan aku tanpa ada kejelasan,” batin Nina menggeram.
“Nina, kok malah bengong lagi. Ayo ke sini!” pinta Bik Yuni yang sudah berdiri di depan ruang walk ini closet.
Nina mengerjapkan netranya dan kembali melangkah menyusul Bik Yuni. Kemudian ia langsung dikasih tahu cara menyusun baju di dalam ruangan tersebut, biar tidak ada kesalahan menaruh.
“Duh, Bibi lupa bawa pewangi ruangan. Ini kamu lanjutin merapikan bajunya, nanti Bibi ke sini lagi,” titah Bik Yuni sembari menepuk tumpukan kaos yang sempat dikeluarkan.
Nina hanya mengangguk saja dengan tangannya begitu lincah menyusun baju ke dalam lemari.
Beberapa menit setelah Bik Yuni meninggalkan ia seorang diri di ruang walk in closet, tiba-tiba saja Rafa masuk ke sana dan tampaknya ia ingin mengganti kemeja yang ia kenakan karena kena noda kudapan.
Pria itu tidak menyadari jika di balik salah satu pintu lemari ada sosok Nina yang menyadari kehadiran pria itu. Rafa dengan santainya membuka jas, kemudian disusul kemejanya dilepaskan dari tubuhnya. Nina tersenyum kecut melihat begitu gagah tubuh suaminya itu, lantas dengan sengajanya ia membanting pintu lemari hingga berbunyi, agar tahu jika pria itu tidak sendiri di dalam ruangan tersebut.
Sontak saja Rafa terkejut dan langsung mencari sumber suara tersebut. “Kamu!” sentak Rafa dengan kedua matanya membulat.
Nina tidak menundukkan pandangannya seperti maid lain, justru dengan beraninya menatap pria itu.
“Berani sekali kamu masuk ke kamar saya! Siapa yang mengizinkannya!” sentak Rafa mulai terlihat amarahnya.
Gadis itu tersenyum miring, lalu mengangkat keranjang kosong dari lantai ke atas meja kaca, kemudian ia dengan santainya mengambil jas yang ia bawa untuk digantung ke lemari gantung.
“Hei ... jawab pertanyaan saya!” bentak Rafa usai melihat Nina tidak menjawab. Nina bungkam seribu bahasa, sesuai permintaan Rafa sendiri tidak boleh banyak bicara, jadi ya ia lalukan perintah tuannya.
Pria itu berdesak kesal, lantas ia melangkah mendekati gadis itu yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Eeeh!” pekik Nina terkejut, beberapa jas yang sedang ia susun terjatuh di lantai begitu saja, gara-gara tangannya dicekal oleh Rafa tanpa aba-aba.
“Hmmm, jatuhkan,” keluh Nina menatap lesu ke arah lantai, lalu tak lama ....
“Aakh!!” Nina kembali memekik saat pergelangan tangannya ditarik, wajahnya pun akhirnya mendongak menatap pria yang kini menatapnya garang.
“Saya tadi bertanya, kenapa kamu tidak menjawabnya ... huh! Telinga kamu ini budek ya!” Suara Rafa kembali meninggi.
Lagi, Nina tersenyum tipis tanpa ada rasa takut atau sungkan pada pria itu. “Sesuai dengan permintaan Tuan, saya tidak boleh banyak bicara dan harus menjaga jarak. Tapi, sepertinya Tuan melupakan sesuatu—“ Nina menatap tangannya yang masih dicekal oleh Rafa, lalu menggiring pandangannya ke tubuhnya yang begitu dekat dengan tubuh Rafa yang belum mengenakan kemejanya kembali.
“Saya diminta untuk tidak terlalu dekat dengan Tuan, harus menjaga jarak. Tapi Tuan lupa! Lihat tangannya dan posisi kita berdua ini, Tuan. Kalau ada Nyonya Emma pasti disangkanya saya ingin menggoda Tuan, padahal Tuan Rafa sendiri yang memulainya,” ucap Nina memandang sinis.
Pria itu lantas melirik tangannya kemudian mendengkus kesal sembari menghempaskan tangan Nina dengan kasarnya. Gadis itu meringis pelan lalu mengusap pergelangan tangannya. Namun, baru saja tangannya terlepas dari cekalan Rafa, pipinya terasa amat sakit dan perih.
“Berani ya kamu menggoda suamiku!” sentak Emma murka, tiba-tiba sudah berada di ruang walk in closet.