Tidak ada kabar apa pun. Sejak tadi Airin terus saja mengaduk makanannya, tidak berniat sedikit pun untuk memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasa lapar yang ada dalam dirinya seketika lenyap tidak bersisa kalau saja kedua mertuanya tidak memaksanya untuk turun dan makan bersama dengan mereka ia lebih memilih untuk berdiam diri di kamar sambil meminta kepada Tuhan agar menyelamatkan Tendi.
Sayur bayam yang menurutnya makanan terlezat di muka bumi ini berubah menjadi makanan yang biasa saja, tidak istimewa seperti biasanya. Bahkan untuk mecicipinya saja ia tidak bisa tangannya menjadi lemas tidak bertenaga. Yang Airin mau adalah berbaring di kasur dan berharap semua ini adalah mimpi buru.
“Rin, kenapa nggak di makan? Masakan Ibu tidak enak ya?”
Airin yang sedang menundukkan kepalanya hanya menggelengkan kepala. Kemudian menatap Endang. “Sepertinya Airin mau di kamar saja Bu. Boleh?”
“Boleh. Nanti Ibu bawakan makanannya ke kamar ya? Kamu harus tetap makan biar bertenaga.” Endang menyetujui keinginan Airin, ia hanya bisa diam melihat menantunya meninggalkan meja makan. Tidak ada pilihan lain walaupun sebenarnya Endang ingin sekali membuat Airin tetap kuat dan sehat ketika berada di situasi sulit seperti ini.
Airin kembali terdampar di kasur kedua matanya menatap ke langit-langit kamar. Kedua matanya berlumuran air mata. Dia masih tidak bisa merelakan kepergian Tendi. Ia tidak terima jika Tendi pergi begitu saja meninggalkannya.
Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak saat suaminya tua? Tendi sangat ingin mempunyai anak kemudian bisa membesarkannya sampai dewasa dan melihat anak-anaknya menikah mempunyai keluarga sendiri lalu menua bersama dengan Airin.
Dari luar Endang dengan jelas bisa mendengar rintihan Airin yang sangat menyayat hatinya. Ingin sekali ia memberikan waktu untuk Airin agar bisa meluapkan semuanya akan tetapi dia tidak bisa. Endang tidak mau menantunya terus menerus bersedih.
“Airin, Ibu masuk ya.”
Endang tersenyum simpul ketika melihat menantunya duduk di pinggir kasur. Ia berjalan mendekati meja yang letaknya di pinngir tempat tidur Airin dan meletakkan nampan yang di atasnya ada sayur bayam dan nasi kemudian air minum di sana.
“Cuacanya cerah sekali ya Rin,” ucap Endang sambil menatap ke luar jendela. Langit sedang menunjukkan kecantikannya, berwarna biru seperti warna air laut. Tidak ada tanda-tanda akan hujan membuat Endang senang karena cucian bajunya akan cepat kering.
Tidak ada jawaban dari Airin, Endang melirik sedikit ke belakang dan tertegun melihat raut wajah Airin yang muram. “Semua yang hidup pasti akan meninggalkan dunia ini. Bayi yang baru lahir kalau sudah waktunya untuk meninggal pasti akan pergi. Tidak ada yang kekal, kunci untuk keluar dari masalah ini adalah kita harus bisa merelakannya. Ibu tahu ini tidak gampang, akan tetapi Ibu juga tidak mau kamu terus-menerus tenggelam dalam kesedihan ini Airin.”
“Makan ya. Ibu nggak mau kamu sakit.” Itu ucapan terakhir Endang, setelah itu mertuanya keluar dari kamarnya dan meninggalkannya sendirian.
Kedua matanya memandang mangkok yang mengeluarkan asap dari panasnya sayur bayam. Sepertinya Endang memanaskan kembali sayur itu. Namun, ia tidak tergoda dengan harum wangi yang menguar dari sayur itu. “Mas, kamu akan pulang kan? Aku janji setelah ini aku akan penuhi semua keinginan kamu termasuk memiliki anak. Jadi, besok kamu harus pulang ya. Dalam keadaan sehat tentunya,” ucapnya sambil menatap langit biru yang ada di luar. Benar kata mertuanya cuaca di luar sangat indah.
Revan tercengang melihat postingan terbaru yang diunggah oleh Airin hari ini. Foto langit dari luar jendela yang ia tahu di mana foto itu di ambil. Kedua matanya melotot berarti Airin tidak pergi ke Medan! Terus kenapa wanita itu tidak masuk ke kantor? Airin bukan tipe pembolos ia sangat professional, lalu kenapa?
Revan sangat penasaran maka dari itu ia berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan ruang kerjanya. Berjalan menuju pojok ruangan yang menunjukkan pemandangan luar dari balik jendela besar.
Sambungan telepon tersambung hanya saja Airin tidak sedikit pun membuka suara. “Airin. Ada apa?”
Revan menghela napasnya, di sebrang sana Airin tidak membuka suara sedikit pun. Pasti ada yang tidak beres pikirnya. “Airin. Kita udah sahabatan dari lama. Kamu juga selalu cerita kalau ada apa-apa. Jadi ada apa?”
“Yaudah kalau kamu nggak mau cerita. Tapi jika kamu udah nggak bisa nahan ini sendirian kamu harus menghubungi aku. Awas jangan dipendam sendirian.”
Kedua mata Revan membulat. Dia langsung berlari ke bawah menggunakan tangga darurat ketika di sebrang sana wanita itu terisak, menangis dalam keadaan terluka yang sangat menyayat hati pendengarnya. “Revan… Pesawat Tendi hilang kontak.”
Dengan alasan ada urusan mendadak Revan bisa berada di sini, di rumah kedua orang tua Tendi. Toh, laporannya juga sudah ia kerjakan Pak Ahmad tidak akan marah atau pun kecewa kepadanya.
“Airin sedang tertidur. Nak Revan tidak apa-apa jika menunggu di sini? Tidak baik kan kalau kamu melihat Airin dalam keadan tidur di kamarnya? Apalagi di saat Tendi sedang tidak ada di sini.” Penjelasan Endang membuat Revan mengangguk setuju.
“Makasih Bu.” Endang mejamunya dengan kue kaleng dan secangkir kopi s**u. Mengingat nama Tendi ia juga teringat dengan perkataan Airin yang menyebutkan pesawat Tendi hilang kontak.
“Saya turut bersedih dengan kecelakaan yang di alami Tendi Bu, Maaf jika saya baru datang ke sini.”
Jujur Revan sangat bersedih dengan berita buruk ini. Tendi sangat dekat dengannya ia juga merasa kehilangan. Tidak disangka sahabat terbaiknya harus meninggal dengan cara seperti ini.
“Makasih Nak Revan. Kami semua sengaja menyembunyikannya karena berharap Tendi selamat. Semoga saja Tendi selamat dan bisa datang ke pernikahan kamu Van.” Revan terdiam mendengar perkataan Endang. Menikah dengan siapa? Pacar juga tidak punya pikir Revan dalam hati.
“Saya belum punya pacar Bu.” Revan tidak mau terjadi kesalah pahaman antara ia dan ibunya Tendi.
“Padahal kamu ganteng loh Van. Kayak Oppa Korea.” Bakti menyahut, benar apa yang dikatakannya Revan memang seperti orang yang selalu Airin tonton di laptopnya. Putih, bersih, dan tinggi, idaman semua para gadis.
Revan terpaksa tertawa. Walau pun ia ganteng akan tetapi dia bukan lelaki gampangan. Hanya ada satu wanita yag akan terus mengisi relung hatinya. Tidak bisa digantikan dan tidak akan pernah tergantikan.
“Mamah dan Papah Airin tahu tentang kejadian ini Bu?” Revan jadi teringat dengan kedua orang tua Airin. Tidak mungkin kan mereka menyembunyikan masalaha ini dari Mamah dan Papahnya Airin?
Endang dan Bakti terdiam. Mereka saling menatap karena bingung untuk menjawab. Sebenarnya Endang dan Bakti sudah ingin memberitahukan masalah ini kepada besannya. Hanya saja Airin menolak dan ingin menyembunyikannya.
“Belum. Airin tidak mau kami memberitahu mereka.”
***