Bab 6

1042 Kata
Nihil, tidak ada perkembangan informasi apa pun tentang pesawat yang dinaiki oleh Tendi. Para keluarga korban disarankan untuk menunggu di rumah masing-masing. Bakti juga meninggalkan nomor teleponnya agar jika ada informasi apa pun tentang Tendi ia bisa langsung dihubungi. Teman-teman Bakti yang ada di Medan pun sama belum ada informasi apa pun membuat Bakti memutuskan untuk pulang dan termenung di ruang tengah. Di dinding sebelah kiri terpasang foto yang sangat besar, foto keluarganya ditambah Airin. Di dalam foto itu semuanya bahagia tersenyum lebar tanpa pernah membayangkan kejadian ini akan datang. “Bakti. Pulang jam berapa?” Endang berdiri di tangga mengenakan pakaian panjang sampai mata kaki. Ia mendekati suaminya dan duduk disebelahnya. Tidak ada yang bersuara mereka hanya saling pandang menyalurkan perasaan yang tidak bisa di katakan melalui kata-kata. Ini sangat menyakitkan, tidak ada yang sanggup menerima musibah ini. Rasanya mereka ingin sekali memutar waktu dan menghentikan kejadian ini agar tidak pernah terjadi. “Belum ada kabar. Tim SAR bilang kita harus menunggu, jika ada informasi mereka akan segera menghubungi.” Bakti harus tegar jika ia tidak sanggup menahan kesedihan ini Airin dan Endang akan semakin menderita. “Hanya saja bisa dipastikan Tendi termasuk dalam penumpang pesawat itu.” Bakti harus mengatakan semua kebenarannya. Saat mengunjungi Bandara tadi ia melihat daftar penumpang yang merupakan korban dari pesawat itu, tubuhnya lemas seketika ketika melihat nama anaknya tertulis di daftar itu. Bakti tidak sanggup melihat Airin bersedih kembali akan tetapi ia juga tidak bisa menyembunyikan informasi ini. Semua berita sudah disebar termasuk dafta nama penumpang ke berbagai televisi nasional termasuk media sosial. “Ibu harus tegar. Jika Ibu bersedih Airin juga akan semakin bersedih. Saat ini Airin sangat membutuhkan sandaran. Jika sandarannya lemah maka Airin akan semakin terpuruk.” “Ibu nggak mau kan Airin kembali bersedih?” tanya Bakti sambil menyentuh kedua pipi istrinya yang sudah basah oleh air mata. Matanya bengkak karena terus menerus menangis. Endang memeluk suaminya yang dibalut oleh jaket berwarna hitam. Ia bisa mencium aroma citrus yang menguar dari tubuhnya. “Ibu nggak kuat Yah. Ibu sedih kenapa Airin bisa mengalami bencana seperti ini? Bukannya mereka harusnya sedang bahagia? Mereka baru dua tahun menikah.” Endang menangis tergugu mengingat jika Tendi dan Airin baru saja berhasil melangkah ke jenjang pernikah. Ia juga masih ingat raut wajah bahagia anaknya ketika lamaran pernikahannya diterima oleh Airin. “Mungkin semua ini yang terbaik buat Tendi dan Airin Bu. Kita hanya makhluk yang tidak bisa berbua apa-apa jika kematian sudah datang. Ayah juga ingin sekali menggantikan posisi Tendi. Kenapa tidak Ayah saja yang naik pesawat itu? Kenapa harus Tendi? Atau kenapa Tendi diam saja di rumah dan tidak pergi ke Medan?” Bakti mengusap punggung rapuh istrinya, berusaha membuatnya kuat agar bisa menghadapi semua ini. “Kita tidak tahu apa yang akan dialami di masa depan. Kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Ayah juga baru teringat hal itu. Kita bukan Tuhan maka dari itu mengikhlaskan adalah kunci agar bisa melewati masa buruk ini.” Endang menjerit berharap sakit yang ia rasakan bisa segera berakhir. Dia sadar jika ia hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan kematian. Di dalam kamar yang gelap gulita Airin mengeluarkan air matanya dalam keadaan tidak bersuara sedikit pun. Ia membekap mulutnya menggunakan kedua tangannya berharap tidak ada siapa pun yang mendengar tangisannya. Airin berharap semua ini hanya mimpi buruk yang datang ketika ia tidur, kemudian pergi ketika bangun di pagi hari. Revan menatap cemas bangku kerja Airin yang kosong.  Komputer yang biasa menyala dan suara ketikan yang hilang membuatnya cemas. Kenapa? Apakah Airin menyusul Tendi ke Medan? Kedua matanya melirik Pak Ahmad yang posisinya berada di tengah ruangan. Otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia juga mendadak tidak bisa mengerjakan pekerjaanya dengan lancar. Ia harus menanyakan kenapa Arin tidak datang bekerja. Kenapa wanita itu tidak menghubunginya biasanya jika sakit atau akan izin Airin akan memberitahunya. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menggunakan sepatu hitam mendekati meja Pak Ahmad. “Pak? Bapak tahu kenapa Airin tidak datang?” Revan tidak bisa berbasa-basi ia ingin segera tahu tentang keadaan sahabatnya. Pak Ahmad menghentikan laju tangannya di atas keyboard lalu memusatkan tatapanya kepada Revan. “Airin izin katanya ada urusan keluarga.” Revan mengangguk dan karena hal itu perasaannya sedikit tenang. Perkiraanya benar Airin pergi ke Medan menyusul suaminya. Mengingat hal itu ia sedikit murung, ada rasa iri yang menyerang hatinya. Kenapa bukan dia yang dikhawatirkan oleh Airin? Kenapa bukan dia yang menjadi pendamping hidup Airin? “Masih ada pertanyaan lain Van? Bukannya kamu harus bekerja? Kenapa masih ada di sini?” Pak Ahmad membangunkan Revan dari lamunannya. Ia tidak habis pikir kenapa para bawahannya bisa berleha-leha seperti ini ketika menginjak akhir bulan? Ingin rasanya ia mengerjakan semuanya sendirian akan tetapi kenapa ada bawahan jika tida dipergunakan dengan baik? Revan tersenyum simpul kemudian kembali menuju tempat kerjanya. Ia menghembuskan napas kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi. Melihat langit-langit kantor yang berwarna putih menatapnya dengan perasaan hampa dan tidak bertenaga. Semangatnya selalu hilang jika Airin tidak masuk kerja seperti ini. “Pak. Mau segelas kopi?” tawar seorang perempuan yang berdiri tepat di belakang Revan. Revan tersenyum dan mengangguk. Mungkin segelas kopi akan membuat perasaanya jauh lebih baik. Airin meneguk kopi yang ada di hadapannya dengan sekali tegukan. Kopi akan membuatnya tetap terjaga, karena bergadang semalaman ia takut jika ia akan ketiduran dan melewatkan informasi penting tentang Tendi. Kata ayah mertuanya jika ada perkembangan dalam evakuasi pesawat itu Tim SAR akan segera menghubungi mereka. Maka dari itu ia tidak mau ketika Tim SAR menghubungi mereka Airin sedang tertidur. Ia tidak mau melewatkan satu pun informasi. “Sebaiknya kedua orangtua kamu dikasih tahu Rin. Supaya mereka bisa mendoakan Tendi juga. Semakin banyak orang yang memohon kepada Tuhan agar Tendi selamat semakin besar pula permintaan itu terkabul,” ucap Endang ia tidak habis pikir menantunya itu tidak mau memberikan kabar duka ini kepada kedua orangtuanya. Mereka saat ini sedang duduk di meja makan. Endag sedang menyiapkan makan siang untuk mereka bertiga. Bakti juga memutuskan untuk di pergi bekerja. Sekarang ia sedang berkebun di belakang rumah sambil menunggu kabar. Airin menggelengkan kepalanya. “Tidak sekarang Bu.” Ia masih belum ada tenaga untuk menjelaskan hal mengerikan ini kepada kedua orangtuanya. Malahan Airin berharap Tendi tidak menaiki pesawat itu. Sayang, kamu pasti selamat kan? **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN