4. CEO

1057 Kata
Di dalam gedung bertingkat. Ada 21 lantai yang sudah ditata dengan baik bagian demi bagiannya. Modern dan canggih. Seolah tak mau ketinggalan kemajuan teknologi mutahir. Mengingat sudah puluhan tahun GM Group merambah pasar Indonesia. Menjadikannya salah satu tonggak berdirinya perekonomian dalam negeri. Adeen adalah pemimpin yang baru beberapa bulan lalu dimandatkan jabatan sebagai CEO. Tentu saja, bukan hal instan. Adeen menapak karir dari bawah. Dari seorang Manejemen Training biasa. Erik Lihong tak pernah memberi hal instan pada darah dagingnya sendiri. Dia selalu mengajarkan arti perjuangan. Karenanya Adeen dikenal sebagai tunas baru GM Group. Tuan muda yang memiliki visi misi cemerlang. Dan membuat orang lain percaya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tersembunyi di antara kaca-kaca dan dinding kantor. Sebuah ruang yang mencerminkan aura profesionalisme dan kenyamanan, yaitu ruang rapat utama. Adeen menggeser pintu metalik. Meja panjang berbahan kayu solid memegang peran sentral di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi kulit yang nyaman dan ergonomis. Cahaya lampu gantung yang lembut menciptakan sorotan di atas meja. Dari jendela besar di sisi ruangan, cahaya matahari menyusup masuk, memberikan kilau hangat dan memandu mata ke pemandangan kota yang sibuk di luar. Adeen duduk di kursi utama. Di depannya sebuah layar sentuh besar terpampang, menampilkan presentasi visual tentang visi misi. GM Group membawahi tiga anak perusahaan. Pengiriman, marketplace, dan produksi makanan instan. Ada tiga direktur utama di setiap anak perusahaan. Dan Adeen memegang kendali ketiganya. "Apa pendapat kalian tentang pencapaian kita sejauh ini?" ucap Adeen. Ketiganya diam. Mereka saling lirik sebelum salah satu angkat bicara. "Berdasarkan laporan keuangan. Sejauh ini profit perusahaan terus meningkat. Sejak kepemimpinan Anda. Banyak inovasi dan kreasi baru yang diimplementasikan. Anda adalah masa depan perusahaan. Saya sangat menantikan kemajuan GM Group di tangan Anda," ucap paruh baya dengan rambut rapih itu. "Saya juga setuju. Anda memberikan banyak masukan positif. Sepak terjang penjualan makanan instan semakin meningkat. Anda adalah panutan." Direktur Infood menambahkan. "Saya pribadi sangat berterimakasih atas sistem baru yang Anda sarankan. Hal itu membuat para kolega bisnis memilih pengiriman kami." Sekarang Direktur Fast ikut bicara. Mereka memuji Adeen. Selayaknya bawahan pada atasan. Padahal sia-sia saja. Adeen adalah orang berdedikasi tinggi terhadap bisnis. Segalanya ia lihat berdasarkan prosesnya. Pun apa yang ingin ia sampaikan pada tiga pentolan ini. "Ah, terimakasih atas pujiannya. Aku tersanjung. Tapi jujur saja. Aku mengumpulkan kalian bukan untuk membahas sepak terjang ku sebagai pemimpin baru. Yang ku tanyakan adalah bagaimana pencapaian kalian dalam mengelola manejemen perusahaan. Apakah karyawan mendapatkan hak mereka? Kenyamanan dan fasilitas." "Sebab, aku sempat mengunjungi salah satu kantor. Tidak perlu kusebut kantor siapa. Banyak dari mereka mengeluhkan banyak hal. Mulai dari perizinan cuti yang terlalu rumit. Fasilitas kantor kurang. Dan...." Adeen menatap tajam. "Gaji ditunda karena alasan telat masuk kerja?" "Haha, apa-apaan itu? Sebelum melakukannya pada karyawan. Cobalah berkaca dulu. Apa kalian membayar pajak tepat waktu? Ah, bahkan aku tidak menjumpai kalian di kantor waktu itu. Jam setengah delapan pagi. Kalian belum datang." "I-itu--" "Tidak perlu berkelit. Introspeksi diri saja. Aku ingin GM Group memiliki karyawan loyal. Buat mereka berterimakasih maka apa yang kita minta pasti akan dipenuhi dengan baik. Mulailah memperbaiki fasilitas kantor. Kalian punya anggaran besar. Aku akan memeriksanya di akhir tahun." Adeen berdiri. "Mungkin itu saja. Saya ada jadwal temu dengan kolega. Permisi." Ia memasang dua kancing jasnya. Hendak beranjak sebelum digagalkan oleh kehadiran seseorang. "Kau punya kebiasaan mengakhiri meeting tanpa bersalaman, Adeen." "A-Ayah," gumam Adeen. Tak menyangka Ayahnya akan datang tanpa memberitahu. Erik melewati Adeen. Tersenyum ramah. Lantas ia pun menyalami satu persatu pentolan perusahaan. "Maafkan anak saya. Dia masih muda. Masih perlu banyak bimbingan." Adeen menghela nafas. Ia lirik Sakila yang sedari tadi mengikuti jalannya meeting. Memberi isyarat agar pertemuannya dengan kolega diundur sejenak. Lantas Adeen kembali duduk. Seiring Erik duduk di kursi utama. Mereka bercakap santai. Sekedar menanyakan kabar yang ujung-ujungnya membahas perusahaan. Di penghujung pembicaraan. Adeen yang memilih diam dan mengamati tiba-tiba dituntut bersuara. Ya, Ayahnya menanyakan sesuatu. Lebih tepatnya sesuatu yang unfaedah. "Adeen, kamu tahu? Tujuan Ayah kemari bukan untuk mengganggu pekerjaan mu. Ayah tau cara memimpin setiap orang berbeda. Ayah tidak berhak mengomentari mu." "Lalu... atas tujuan apa Ayah kemari?" Erik diam. Memandang lekat putranya. Sedang tiga pentolan perusahaan saling melempar tatap. Ikut penasaran. Pastilah sesuatu yang sangat penting. "Mama mu ingin memastikan kamu makan dengan baik. Dan...." Erik mengeluarkan handphone lalu tersenyum cerah. "Mengambil foto mu yang sedang makan bekal buatan Ayu." Detik itu juga Adeeb melongo. Begitu pun para tiga pentolan perusahaan. Bagaimana bisa suasana serius tiba-tiba jadi romance komedi murahan. Hah! Benar-benar! "Itu... bisakah dibicarakan di belakang?" ucap Adeen geram. Ia memberi isyarat pada mereka untuk keluar. Begitu pun Sakila. Kini tinggal Adeen dan Erik saja. "Yah, cukup Mama saja yang tidak rasional sekarang Ayah juga? Oh ayolah. Di mana lagi aku bisa dapat pembelaan?!" "Kamu tau sendiri Mama mu bagaimana kan?" Erik menunduk layu. "Hais! Ya! Ayah adalah b***k cintanya Mama!" Adeen memijit pangkal hidung. Pusing rasanya. "Aku tidak bekal. Ayu tidak membawakan ku apa-apa." "Itu karena kamu menolaknya kan? Ayah tau tabiat mu." Sayangnya itu benar. Tadi pagi. Selain insiden kamar mandi. Adeen harus berhadapan dengan wajah masam Ayu yang sedang memasak. Karena gengsi menegur duluan. Adeen nyelonong pergi. Padahal Adeen tahu Ayu sedang menyiapkannya bekal. "Selagi ada waktu. Minta Ayu untuk mengantarkan bekal. Nah, Ayah akan mengambil foto saat kamu sedang makan." "Tidak bisakah beli sesuatu di luar? Atau diedit saja. Aku bisa memanggilkan bagian content creator untuk membuatnya seolah-olah memakan bekal." "Ayah tidak pernah mengajari mu berbohong pada Mama. Sudahlah, panggil saja Ayu. Kamu makan bekalnya. Beres kan?" Erik Lihong adalah orang yang efisien dan malas berdebat dengan istri. Dia tahu Adeen tidak mencintai Ayu. Sering kali Adeen mengeluh. Namun, Erik tak berkuasa di hadapan Arista. Cintanya. Nafasnya. Yah, benar apa kata Adeen. Erik Lihong adalah definisi bucin. "Tck! Aku tidak mau berakhir seperti Ayaj." "Kamu akan berakhir seperti Ayah. Darah tidak bisa berdusta." "Tidak." "Kamu anak Ayah. Dari golongan darah sampai makanan kesukaan. Kita sama. Kamu akan seperti Ayah." "Baiklah, kalau pun aku berakhir seperti Ayah. Akan ku pastikan bukan Ayu orangnya!" Adeen berdiri. Mendial nomor Ayu. Sedangkan Erik menatap lamat-lamat putranya. Ada satu rahasia yang dia tidak tahu. Tentang kisah cintanya bersama Arista. Yah, awalnya pun seperti ini. Sama-sama tidak terima dijodohkan. "Biarkan waktu yang menjawab." Adeen menoleh. Erik pikir gumamnya sudah lirih. "Kenapa?" kata Erik. Adeen menaikan satu alis. Menatap Erik horor. Sampai kapan pun Ayu tidak akan menjadi bagian dari hidupnya. Titik!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN