Ayu masih sibuk melihat campur sari di salah satu stasiun TV. Mengikuti liriknya dengan mahir sambil melipat baju untuk digosok nanti.
Saat di kampung. Ayu sering nonton jaranan bersama Mamak. Ayu selalu suka bunyi gamelan dan lenggak-lenggok para penari dengan pakaian berwarna mencolok. Apalagi saat mendem. Para penari akan menari secara brutal. Memakan sesajen yang disediakan atau ada juga yang bertingkah lucu layaknya binatang. Ah, kalau di sini mana ada. Ayu hanya bisa melihatnya dari layar kaca. Itu pun jarang sekali ada.
"Kapan bisa nonton jaranan lagi ya? Bosen nonton sinetro terus. Ndak ada sensasinya," gerutu Ayu.
Ia rebahkan diri ke kepala sofa. Menatap langit-langit. "Beres-beres udah. Sarapan udah. Nonton TV ndak ada yang bagus. Lha jan, kalau gini terus ndak ada kemajuan. Aku yo ndak bakal tau dunia luar." Bibir Ayu semakin menukik ke bawah. "Mas Adeen ndak ngasih sangu. Aku mau keluar yo mikir-mikir. Duit ku tinggal dua puluh ribu."
"Dasar bojo pelit!"
Atensi Ayu teralih. Panggilan dial memenuhi layar. Tampak kontak seseorang yang diberi nama Bojo Galak.
"Wih, panjang umur." Ayu menekan tombol hijau. Suara Adeen terdengar.
"Lima belas menit lagi supir akan menjemput mu. Siapkan bekal dan titipkan ke dia. Kau mengerti?" Tanpa basa-basi Adeen menitahkan.
"Mbok ya assalamualaikum dulu mas. Atau hallo dek, gitu. Kan enak. Lha ini. Dateng-dateng langsung nyerocos minta bekal."
"Tck! Sekarang!"
"Ndak mau!" Ayu memang sudah membuang jauh harga dirinya sebagai perempuan. Menjadi parasit di hidup orang. Tapi... jangan lupakan bahwa Ayu adalah wanita yang punya mood. Kadang naik kadang turun. Dan sayangnya setiap kali berhadapan dengan Adeen. Mood Ayu langsung anjlok.
"Mas kalau minta tolong itu yang bener. Emang cuma Mas aja yang bisa marah?! Pokoknya aku ndak mau sebelum mas bilang pakai bahasa lembut."
Di seberang telepon tampak Adeen menghela nafas. Ia menempelkan kembali handphonenya. Lalu berkata, "Ayu yang baik dan selalu benar. Bisa tolong buatkan aku bekal dan titipkan ke supir? Aku tunggu ya. Terimakasih." Sebisa mungkin Adeen berkata lembut dan pelan. Terdengar kakehan singkat di belakang yang ternyata adalah Erik. Dia memasang wajah datar dan pura-pura menelepon. Semata-mata untuk menghindari tatapan Adeen.
Adeen kembali fokus ke panggilan. "Sudah kan?"
"Kurang!" pekik Ayu. Dia tersenyum tengil. Yah, hitung-hitung balas dendam. "Panggil aku baginda ratu dulu."
"Ha?! Gila!"
"Mau ndak? Kalau ndak mau ya sudah."
Ayu hendak menutup telepon. Adeen sigap mencegah. "Oke, oke. Tunggu." Dia menarik nafas. Jika bukan karena Mamanya. Sumpah demi apapun dia tidak akan melakukan hal gila ini. "Ba-baginda ratu. Tolong buatkan aku bekal. Aku sangat membutuhkannya sekarang."
Sebelum menjawab. Ayu sempat terkekeh kekel. "Baik, kisana. Satu bekal meluncur." Kemudian panggilan diakhiri. Adeen melihat layar yang telah menghitam. Hampir saja handphone keluaran terbaru itu berakhir mengenaskan di lantai.
"Sabar... sabar...." ucap Adeen seraya mengusap d**a.
Tak berselang lama. Bekal itu datang bersama si pembawanya, Ayu. Sedang si supir entah kemana. Digantikan Sakila yang entah bagaimana bisa bertemu Ayu. Mau menghujat tapi ada Sakila. Pasrah. Adeen menyuruh dua wanita itu masuk.
"Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Sakila. Dia menunduk singkat lalu balik kanan.
"Tunggu!" cegah Adeen. "Lima menit. Tunggu lima menit setelah itu kita berangkat ke hotel Horizon. Tuan Hirata pasti sudah menunggu."
Bibir dengan polesan tipis lip tin itu enggan mengucap. Ia melirik singkat ke mantan Presiden yang masih duduk di sofa, Erik. Lalu menilik istri atasannya. Akan sangat tidak sopan jika bosnya pergi di saat dua orang penting ini hadir.
"Sakila?" tegur Adeen.
"Eh? I-iya. Saya akan menyiapkan mobil." Apapun itu, Sakila tidak bisa menentang.
"Bagus."
Kepergian Sakila membuat perhatian Adeen beralih pada Ayu. Dia menghela nafas. Lihatlah dia! Jauh sekali dengan Sakila. Bagaikan bumi dan langit. Seperti biasa. Penampilan norak. Baju pink fanta. Rok panjang coklat tua. Rambut di kuncir kuda. Jujur, dibanding istri. Dia lebih mirip pembantu. Ah, pening sekali kepala ini.
"Mana bekal ku?" tagih Adeen. Datar.
Siapa yang menyangka ada mertua. Ayu jadi tidak bisa leluasa mengerjai Adeen. Dia hanya bisa patuh dan menyerahkan wadah bekal berwarna hijau tosca itu.
"Nah, kalau begini kan Mama jadi senang. Terimakasih ya Ayu sudah menyempatkan datang. Padahal kau cukup menitipkan pada supir saja tidak masalah." ucap Erik. Perhatian.
"Hehe, ndak apa-apa Pak. Kan sudah tugasnya istri melayani suami dengan baik," dusta Ayu yang aslinya hanya ingin jalan-jalan keluar. Di sampingnya ada Adeen yang mengikuti perkataan Ayu tanpa suara. Jelas sekali wajah nyinyir nya.
"Nah, sekarang ayo lihat sini." Erik mengarahkan kamera handphone. Misinya berhasil dilaksanakan. Dia bisa pulang dengan tenang.
Ayu membawa sayur lodeh dan tempe goreng. Anehnya bojo galak itu tidak protes. Dia menyantap makan siangnya dengan nikmat. Berhubung Papa sudah pergi. Ayu bisa leluasa bergerak. Istri idaman sudah selesai. Saatnya Ayu kembali menjadi dirinya.
Sebuah bingkai dengan piagam penghargaan terpampang. Begitupun barisan piala penghargaan dari berbagai tahun. Dalam hatinya berdecak kagum. Hal seperti ini. Apakah Ayu bisa menggapainya suatu hari nanti?
"Hei, jangan sentuh sembarangan!" celetuk Adeen. Mulutnya masih terlihat mengunyah. "Itu berharga."
"Dasar pelit!" gumam Ayu kemudian melengos. Dia kembali melihat-lihat. Binar kekaguman terus terbentuk. Harapan demi harapan tercipta. Ah, menjadi wanita karir adalah tujuan Ayu sejak lama.
"Kira-kira aku bisa ndak ya?" gumam Ayu. Disadari Adeen. "Bisa apa?" sahutnya.
"Jadi wanita karir."
"Hahaha. Berkaca dulu. Lihat saja penampilan mu. Apa ada wanita karir dengan penampilan norak seperti itu? Kau akan membuat malu seluruh wanita karir di dunia. Lebih baik bangun dan berhentilah bermimpi. Kau sama sekali tidak cocok. Ah! Ada satu pekerjaan yang cocok. Pembantu. Ya! Kau cocok jadi pembantu."
Sakit!
Perkataan itu seperti panah melesat dan mengoyak perasaan. Adeen boleh menghina penampilannya. Adeen juga boleh menghina aksen medoknya. Ada dua garis yang tidak bisa dilewati. Sesuatu yang menyentuh ranah tujuan hidup. Impian dan Mamaknya. Sekarang Mamak sudah tidak ada. Satu tujuan hidup telah gugur. Tinggal satu. Dan Adeen berhasil menjatuhkannya.
"Hmm, gitu."
"Itu sebabnya aku--" Perkataan Adeen tercekat. Wajah yang selalu membuat Adeen muak dengan tingkah konyolnya kini berwajah muram. Ah, apa ucapan Adeen sudah kelewatan?
"Aku mau cari angin," lontar Ayu. Melenggang keluar begitu saja.
Membeku. Tubuh Adeen seakan menyatu dengan sofa. Bibirnya kelu mengucap. Baru kali ini Adeen melihat Ayu seperti itu. Hatinya terasa tidak nyaman. Namun gengsinya terlalu tinggi untuk ditaklukan. Dia membiarkan saja Ayu pergi.