Saat sudah berada di dalam rumah yang sangat layak di sebut sebagai gudang tua itu, Shania lalu berjalan pelan sembari mengedarkan pandangannya. Rumah tersebut terdiri dari dua ruangan saja itupun tidak terlalu besar karena menyesuaikan rumah itu yang memang berukuran kecil.
Melewati pintu ruangan pertama, Shania memilih untuk membukanya. Sesaat ia berhenti sejenak, memeriksa apakah ruangan tersebut yang digunakan mereka untuk mengurung Andi. Ternyata yang dicari olehnya tidak ada di sana, yang ada hanyalah tumpukan kardus serta karung-karung yang tidak diketahui Shania apa yang ditampung oleh benda tersebut di dalamnya.
Kemudian, Shania berpindah tempat. Kali ini dengan cepat ia menuju pintu ke dua yang berada di ujung ruangan dengan kamar nomor satu. Ia yakin, di sanalah Andi berada.
Crekkk ....
Pintu terbuka dan Shania langsung masuk ke sana. Saat mata gadis itu berpendar, saat itulah ia melihat seorang anak kecil yang duduk lunglai di atas sebuah kursi yang berada di tengah-tengah ruangan. Mata Shania melotot, akan tetapi anak itu tidak menyadari tentang kehadirannya di sini. Sampai pada akhirnya ...
"A-andi?" Segeralah Shania melangkah dengan cepat.
Anak itu seketika mengangkat kepalanya, walaupun terasa lemah. "K-kak Laras?" Ia juga tidak kalah terkejut, tapi keterkejutannya itu bercampur dengan perasan senang yang tidak terhingga.
"Kamu gak kenapa-napa, 'kan? Apa ada yang terluka,?" tanya Shania, begitu khawatirnya.
"Aku gak papa kok, kak," ucap anak itu meski pada bibirnya terdapat warna pucat yang begitu kentara.
Shania segera menunduk untuk membuka semua ikatan yang telah mengekang tubuh anak itu berjam-jam lamanya. Namun, pada saat proses pembukaan tali itu, Shania merasakan panas yang menyengat kulitnya. Ia menoleh ke belakang, ternyata itu adalah kobaran api yang perlahan membakar dinding-dinding yang terbuat dari kayu itu. Ia sangat terkejut, begitu pula dengan Andi. Oleh karenanya lah Shania semakin mempercepat pergerakannya untuk membuka ikatan Andi agar mereka berdua bisa segera keluar dari sini.
Ketika tali itu selesai dibuka, keduanya langsung bergegas untuk beranjak dari sana. Namun, ketika mereka sudah keluar dari ruangan itu, ternyata api sudah menjalar ke mana-mana. Mereka kesulitan untuk bergerak, padahal sekarang ini mereka hanya perlu melewati pintu keluar itu saja. Shania memeluk Andi dengan begitu erat agar anak itu tidak lepas dari pantauannya.
Rumah ini bermaterialkan dinding-dinding kayu dan itu sudah tua sekali, serta di dalamnya juga terdapat barang-barang yang mudah termakan oleh si jago merah. Perlahan namun pasti, rasa sesak mulai menyerang indra pernafasan Shania. Gadis itu kesulitan untuk mencari oksigen bersih karena semuanya sudah bercampur dengan asap.
"Ayo, Kak." Andi menarik tangan Shania, mengajak gadis itu untuk menciptakan pergerakan lagi.
"I-iya."
Shania menguatkan dirinya agar bisa terus berjalan, berusaha mengabaikan rasa sesak yang menyakiti hidung serta paru-parunya. Ketika mereka sedikit lagi mencapai pintu keluar, sebuah bongkahan kayu yang berasal dari plafon rumah akan terjatuh ke arah mereka. Shania segera mengganti posisinya dengan menjadikan dirinya sebagai pelindung Andi dari bongkahan kayu berapi tersebut.
Brakk ...
Seketika itu Shania pun langsung pingsan di tempat.
*****
Di saat Fika tengah menghubungi pusat pemadam kebakaran, sebuah suara sirene dari mobil polisi terdengar jelas memekakkan telinganya. Gadis itu segera bangkit berdiri untuk mengapai para rombongan polisi serta kakaknya yang telah datang itu agar bisa dimintai pertolongan.
"Andi, Kak, Andi. Dia ada di dalam sana," ucap gadis itu sembari menunjukkan sebuah rumah yang terbakar. "Laras juga, dia di dalam sana untuk menolong Andi," lanjutnya.
Tanpa menunggu lagi, Jean segera berlari untuk masuk ke dalam rumah itu juga. Suara larangan dari orang-orang berseragam coklat sengaja diabaikan oleh laki-laki itu.
Sementara itu Fika langsung melaporkan kepada polisi tentang ke arah mana Bella bersama pacarnya yang kabur masuk ke dalam hutan.
Jean menepis semua rasa ketakutannya. Dengan segala usaha ia mendobrak pintu agar bisa masuk ke rumah yang terbakar tersebut. Rasa panas yang seketika menyengat kulitnya tidak begitu ia pedulikan. Pikirannya hanya diisi oleh sebuah keharusan untuk bisa menyelamatkan kedua orang yang ia sayangi dengan keadaan masih hidup. Jean sangat rela jika harus menukarkan nyawanya sendiri demi untuk Andi dan juga Laras. Baginya, kedua orang itu sama-sama memiliki makna penting dalam hidupnya. Ia tidak bisa membiarkan mereka terluka, walaupun itu hanya secuil.
Brakk ...
Satu detik setelah ia mendobrak pintu, laki-laki itu juga langsung menendang kuat kayu yang hendak menimpa punggung belakang Shania yang tengah melindungi Andi menggunakan pelukannya. Alhasil kayu tersebut tidak berhasil mengenai punggung Shania, tapi sayangnya gadis itu tetap pingsan di tempat mungkin karena memang ia tidak lagi mampu menahan rasa sesak yang menggerogoti seluruh saluran pernapasannya. Pada dasarnya, sewaktu kecil gadis itu pernah mengidap penyakit asma.
Syukur saja, Jean dengan kegesitannya langsung menyambut tubuh Shania yang hampir terjatuh ke lantai. Kemudian laki-laki itu mengajak keduanya keluar dari sana dengan masih membopong tubuh Shania yang lemah.
*****
Seluruh ruangan terselimuti oleh kegelapan yang sangat pekat, tidak ada setitik pun cahaya yang mengisi kedua rentina mata coklat milik seorang gadis yang tubuhnya masih terasa lemah itu. Karena merasa takut, gadis itu mencoba berjalan agar bisa menemukan sumber cahaya. Kakinya terus berjalan tanpa henti, berjalan lurus tanpa tahu ke arah mana sebenarnya kaki itu membawa tubuhnya pergi. Sudah terlalu lama ia berjalan, yang ia cari masih tidak ia temukan. Ruangan itu terasa tidak memiliki ujung, karena sedari awal ia berjalan ia hanya menginjaki lantai yang kosong tanpa ada satupun sandungan. Sebenarnya di mana ia berada?
Tubuhnya semakin terasa lemah lantaran energinya terkuras banyak akibat terlalu lama berjalan tadi. Ia pun menghentikan langkahnya. Kegelapan pekat itu masih menghantui dirinya, hampir saja gadis itu mengira kalau dirinya mengalami kebutaan total, sebelum sesuatu yang seperti kabut putih tiba-tiba muncul secara perlahan di hadapannya.
Kabut putih itu semakin lama semakin menguat, membentuk tubuh seorang wanita cantik berpakaian putih serta sangat bercahaya, dan itu membuat tangan gadis itu terangkat seketika untuk menutupi matanya karena merasa silau dengan cahaya tersebut. Kaki gadis itu pun mundur beberapa langkah karena sempat mengira kalau sosok yang muncul di hadapannya itu adalah sosok makhluk ghost. Sampai pada akhirnya, gadis itu menyadari kalau sebenarnya sosok wanita yang muncul di hadapannya itu adalah sosok yang sama dengan potret wajah seseorang yang terdapat di dalam liontin kesayangannya.
"Mama?" ucapnya, memastikan.
Wanita itu melempar senyum kepada seorang gadis yang sekarang sudah ketahuan sedang memakai pakaian rumah sakit yang bagian kiri dadanya tertulis tersemat jelas nama Laras atau yang dikenal oleh banyak orang sebagai Shania.
"Ini Mama, bukan?" ucapnya lagi karena belum menerima respons yang berarti.
Wanita itu terlihat menganggukkan kepalanya, kemudian tangannya terangkat untuk membelai wajah tirus gadis itu. Shania diam saja, matanya tertutup untuk menikmati setiap sentuh yang dulu selalu ia pertanyakan bagaimana rasanya.
"Apa yang Mama lakukan di sini?" tanya gadis itu kemudian.
Wanita itu tersenyum kembali, dia lalu mengulurkan tangannya di hadapan anaknya. Alis Shania terangkat, tapi meskipun begitu ia tetap meraih uluran tangan tersebut.
Dulu ia hanya mendengar cerita tentang ibunya dari ayahnya saja. Bimo selalu mengatakan kalau wajah ibunya sangat cantik mirip sekali dengan Shania. Sekarang ini Shania jadi tahu kalau ucapan ayahnya itu bukan omong kosong belaka, wajah ibunya itu memang mirip dengan dirinya tapi dalam versi yang lebih dewasa.
"Ke mana kita akan pergi, Ma?" Gadis itu mengajukan pertanyaan lagi saat mereka berdua tengah berjalan beriringan.
"Rumah Mama, kita akan tinggal bersama." Untuk pertama kalinya, ibunya itu membuka suara.
Mendengar jawaban dari ibunya itu, Shania mendadak menghentikan langkah kakinya secara sepihak.
Shania menoleh pada wanita di sampingnya. "Tapi, bagaimana dengan Papa dan Kak Shekan. Aku belum memberitahu mereka. Ummm ... Apakah kita akan tinggal bersama?"
Seketika pertanyaan yang gadis itu ajukan membuat tautan tangan mereka terlepas. Ibunya pergi begitu saja tanpa membawa Shania. Sedangkan Shania sendiri mencoba mengejar, tapi tidak bisa karena sekarang kakinya terasa lumpuh sehingga menyebabkan dirinya tidak lagi bisa berlari ataupun sekedar berjalan.
"Mama?!" Teriak gadis itu dengan begitu kencangnya.