Brakk
Pintu kamar Shania terbuka dengan begitu keras, menampilkan sosok seorang laki-laki yang selalu ada di saat-saat Shania dalam masa kesulitan, Jean. Entah bagaimana laki-laki itu bisa mengetahui tentang bahaya besar yang tengah mengancam nyawa Shania, tapi dari raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang kentara.
"Laras kamu tidak apa-apa?"
Shania hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia menangis dan ketakutan karena ular itu masih menetap di tempat yang sama.
Ketika Jean hendak menolong Shania, gadis itu menolak dan memintanya untuk menjauh karena Shania tidak ingin Jean sampai menjadi korban. Ia tidak mau Jean ikut campur karena konsekuensinya adalah nyawa laki-laki itu akan terancam oleh bahaya yang sama dengannya. Akan tetapi, Jean tidak mau mendengarkan penolakan Shania. Ia dengan fokusnya melangkah hati-hati menghampiri ular itu.
"Tuan, jangan," mohon Shania dengan sangat.
"Kamu tenang, biar saya yang urus ular itu," katanya dengan nada bicara yang serius. Jean memerhatikan dengan seksama gerak-gerik yang dihasilkan oleh ular tersebut. Hewan itu sekarang sudah mengganti objek yang ia beri juluran lidahnya, yaitu Jean.
*****
Tidak banyak yang dipikirkan Shania sekarang ini, ia hanya terus mengucapkan kata terima kasih kepada Jean. Tanpa Jean ia pasti sudah menjadi korban dari ular berbisa tadi, tanpa Jean Shania tidak akan bisa berbuat apapun.
Setelah berhasil mengamankan hewan melata itu, segeralah Jean memanggil petugas damkar untuk membawa hewan itu ke tempat penangkaran hewan liar.
Shania masih merasa terguncang akan kejadian yang barusan terjadi padanya, untungnya ia tidak mendapatkan luka fisik. Walaupun begitu, Jean tetap ingin menelpon dokter pribadi keluarganya untuk memeriksa keadaan gadis itu. Shania sempat menolak karena merasa hal itu sedikit berlebihan, tapi Jean tetap memaksa dengan mengatakan bahwa apa yang telah terjadi kepada Shania merupakan tanggung jawabnya sebagai atasan. Jean tidak ingin menjadi atasan yang tidak peduli kepada orang-orangnya. Jadi, mau tidak mau Shania tetap harus menerima niat baik dari majikannya itu.
Di dalam kamarnya yang sesak ini, banyak pelayan-pelayan rumah lainnya yang datang berkumpul untuk melihat bagaimana keadaan gadis itu. Mereka ada yang membantu menenangkan Shania, sebagian lainnya saling mempertanyakan bagaimana bisa ular itu memasuki kamar Shania karena sebelum-sebelumnya tidak pernah ada kejadian seperti ini yang terjadi di rumah keluarga Abirama, kepala pelayan yang mengatakannya sendiri secara langsung.
Meskipun baru beberapa Minggu menempati kamar ini, Shania tetap menjaga kebersihan kamarnya. Ruangan ini sangatlah bersih, steril dari kotoran maupun debu sekecil apapun, ventilasi udaranya juga sangat rutin dibersihkan. Jadi, penyebab dari mana dan bagaimana ular itu bisa muncul di sini masih menjadi tanda tanya untuk mereka-mereka yang memiliki jiwa kepo yang tinggi.
Shania yang biasanya juga seringkali mengalami sindrom kepo, untuk kali ini malah terlihat tidak terlalu menyibukkan diri untuk mencari tahu apa dalang yang menyebabkan nyawanya tadi berada di ambang bahaya. Hal itu dikarenakan dirinya sendiri sepertinya sudah memiliki jawabannya, tapi Shania masih ragu untuk menyimpulkan apa yang ia pikirkan sekarang ini adalah kebenaran yang sesungguhnya.
"Kak Laras!"
Mendengar itu seketika semua orang saling menjauh, memberi jarak agar Tuan Muda mereka bisa lebih leluasa berjalan menuju Shania yang berbaring di atas ranjang.
"Tuan Muda?" Shania lumayan terkejut. Bagaimana tidak? Hari ini sudah bisa dikatakan larut malam, tapi anak majikannya itu malah keluar dari kamarnya hanya untuk mengetahui bagaimana keadaan Shania.
Andi langsung memeluk erat tubuh Shania, seakan-akan tidak ingin gadis itu terlepas dari genggamannya. Hal itu membuat Shania hampir tidak bisa berkata-kata lagi karena merasa tersentuh dengan ketulusan yang Andi berikan padanya.
Semua orang yang berada dalam satu ruangan dengan mereka berdua tidak memberikan komentar apapun melainkan hanya tersenyum sembari memperlihatkan kedekatan keduanya saja. Mereka semua sudah tahu sejauh mana kedekatan antara Shania dengan anak majikan mereka, Andi.
"Kakak tidak apa-apa?" tanya anak itu sambil wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sama seperti milik Jean tadi.
Shania menggeleng. "Ini sudah sangat malam, kenapa Tuan Muda malah ke sini bukannya tidur?" Shania juga ikut melemparkan pertanyaan. Bukannya Shania tidak bersyukur atas perhatian yang ia terima dari Andi, tapi gadis itu hanya takut kalau-kalau besok anak itu akan kesiangan dan menjadi terlambat untuk ke sekolah.
"Andi khawatir sama Kakak," ungkap anak itu, jujur.
Shania menghela napas panjang. "Tapi besok 'kan Tuan Muda harus ke seko—"
Andi segera menempelkan jari telunjuknya pada bibir Shania, tidak ingin mendengar kalimat itu keluar dari mulut seseorang yang benar-benar ia anggap sebagai kakaknya sendiri. "Gak papa, Andi 'kan bisa nyuruh papa buat ngasih tahu guru Andi kalau Andi ijin cuti besok dan mereka pasti mau ijinin Andi. Jadi, kakak gak perlu khawatirin Andi lagi. kak Laras harusnya khawatirin diri Kakak sendiri," kata anak itu sudah seperti orang dewasa saja.
"Kalo Tuan Muda ngambil cuti cuma karena Kakak, Kakak gak setuju ya. Walaupun cuma satu hari, tetapi waktu tetaplah waktu dan itu sangatlah berharga. Kalau kayak gini, Kakak jadinya ngerasa bersalah karena telah nyuri waktu Tuan Muda," ucap Shania. Merupakan suatu hal berharga baginya mendapatkan perhatian seperti ini dari Andi, tetapi itu bukan berarti Shania bisa menutup mata dari sesuatu yang ia rasa salah. Shania memang tidak bisa tinggal diam apabila ada seseorang yang dengan rela mementingkannya tanpa terlebih dahulu mementingkan diri orang itu sendiri.
"Kak, ular yang masuk ke dalam kamar Kakak tadi apakah sangat besar dan menyeramkan?" tanya Andi yang sengaja ingin mengalihkan pembicaraan mereka, ia tidak ingin dipaksa Shania untuk kembali ke kamar. Anak itu ingin terus-terusan berada di samping Shania. Bila perlu, malam ini ia sangat ingin tidur dengan kakaknya itu.
Shania jadi memutar bola matanya, tahu kalau Andi sebenarnya tidak ingin mendengar ceramahnya lagi. Melihat wajah penuh harap Andi, Shania jadi tidak tega untuk meminta anak itu pergi dan mau tidak mau ia harus mengatakan jawaban dari pertanyaan yang Andi ajaukan padanya barusan.
Terlepas dari itu semua, Shania menjadi menyadari satu hal. Sekarang ini, semua penghuni rumah berkumpul di sini termasuk Jean yang sedang berbicara dengan seorang dokter pria yang sudah selesai memeriksa keadaan Shania di depan pintu kamar gadis itu. Namun, hanya satu orang saja yang tidak ada di sini. Sehingga hal itu menambah rasa curiga bagi Shania. Ia berpikir, jangan-jangan beneran orang itulah yang menjadi dalang atas kejadian yang menimpa dirinya hari ini.
Setelah Shania pikirkan lagi, semua bukti yang ia miliki ternyata sangat akurat mengatakan kalau orang itulah pelaku. Namun, Shania tidak berani mengatakannya kepada semua orang karena ia tidak memegang bukti fisik.