"itu suara apa?" tanya Fika, keheranan.
Shania seketika mengedikkan bahunya. "Gak tahu juga, mending kita periksa sama sama," ujar Shania dan dibalas anggukan cepat oleh Fika. Keduanya secara kompak bangkit berdiri menuju tempat asal suara yang berjatuhan itu. Perasaan penasaran juga tidak luput menemani diri mereka menuju ke sana.
Ketika sepasang kaki mereka telah membawa tubuh mereka ke tempat di mana semestinya, tepatnya di dapur. Seketika itu langkah mereka tercekat karena menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat tidak baik.
"Bi Iyem?!" Seru kedua gadis itu, lalu secara kompak mereka menghampiri seorang wanita tua yang terlihat tidak sadarkan diri dengan kepala yang bersandar di dekat meja kompor gas. Pingsan, satu kata itulah yang dapat mendeskripsikan semuanya.
*****
Beberapa orang terlihat berkumpul di suatu ruangan yang ukurannya tidak terlalu luas layaknya kamar yang dimiliki oleh Shania sekarang ini, serta nuansa dan gayanya juga sangat mirip seperti kamar Gadis itu. Jumlah orang yang berada di sana termasuk wanita tua yang tengah berbaring di atas ranjang itu adalah lima orang. Suasana di sana sudah lumayan tidak se-tegang seperti waktu di awal-awal mereka tiba di kamar itu. Sebut saja Shania, Fika, Jean dan juga pak Orman.
"Apa gak sebaiknya Bibi temui dokter saja? Biar saya bisa telepon dokter langganan sekarang juga" ucap Jean, yang masih saja menghawatirkan keadaan Bibi Iyem walaupun sebenarnya wanita tua yang sudah sadarkan diri itu berkali-kali mengatakan pada Jean kalau dirinya sudah baik-baik saja.
"Tidak usah Tuan, saya sekarang sudah tidak apa-apa. Pusingnya juga sudah berangsur-angsur mendingan setelah makan obat yang diberikan oleh Nak Laras tadi. Terlalu berlebihan kalau sampai pake dokter segala buat nangganin kasus Bibi yang cuma demam aja," ujar bibi Iyem dengan begitu lembut, ia sangat tidak ingin merepotkan majikannya.
"Bibi, kalau penolakan ini cuma karena bibi tidak ingin merepotkan saya, itu tidak perlu. Karena Bibi itu bekerja untuk saya, segala sesuatu yang terjadi sama Bibi itu adalah tanggung jawab saya. Lagian, Bibi jadi begini juga 'kan karena sedang melakukan pekerjaan di rumah ini. Jadi, sudah seharusnya saya merawat Bibi dengan baik," ucap Jean lagi, berupaya agar Bibi Iyem mau menerima perawatan lebih dari sekedar minum obat saja.
Sebenarnya, ia tadi sempat mencoba untuk menghubungi seorang dokter yang selalu bekerja untuk keluarganya agar segera datang ke rumahnya memeriksa keadaan Bibi Iyem. Namun, aksinya itu malah keburu ketahuan oleh orang yang sedang ia khawatirkan. Bibi Iyem langsung bersuara agar Jean tidak perlu melanjutkan sambungan telepon itu. Karena saat itu Jean tidak ingin melakukan sesuatu tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan, makanya laki-laki itu langsung menuruti permintaan wanita tua tersebut.
"Saya berterima kasih banyak atas kebaikan hati Tuan itu, tapi saya tetap tidak bisa menerimanya. Bukan hanya karena saya tidak ingin merepotkan Tuan, tapi sebenarnya saya juga ...." Bibi Iyem menjeda kalimatnya sebentar untuk melihat satu per satu orang yang sedang menatap dirinya saat ini. "Sebenarnya Bibi punya takut sama jarum suntik," ujar wanita itu yang setelahnya langsung menyembunyikan diri di balik selimutnya.
Sontak semua orang saling berbagi pandang setelah mendengar penuturan polos dari orang yang usianya paling tua di antara mereka semua saat ini. Sedetik kemudian, semuanya terlihat menahan tawa mereka karena tidak ingin membuat Bibi Iyem merasa tersinggung. Tapi, jika di lihat, Fika sendiri lah yang berusaha mati-matian menahan tawanya sampai Shania yang berdiri di samping terus menerima pukulan darinya, Shania sampai harus menahan kesabaran karena tidak ingin membuat keributan lain. Sedangkan pak Orman hanya geleng-geleng kepala saat menyaksikan interaksi kedua gadis muda itu.
Jean juga sedikit terkekeh, merasa lucu saja melihat tingkah bibi Iyem ini sangat mirip dengan anak kecil yang takut apabila disuntik, meskipun pada dasarnya Andi tidak termasuk ke dalam itu.
"Bi, dokter itu gak akan sembarangan kalau mau nyuntik orang. Bibi harus diperiksa terlebih dahulu biar tahu pengobatan seperti apa yang bibi butuhkan. Nanti pun saya bakalan bilang sama dokternya untuk sebisa mungkin jangan menggunakan jarum suntik," ucap Jean mencoba merayu Bibi Iyem lagi. Namun, yang ia terima hanyalah penolakan saja, di dalam selimut itu Bibi Iyem menggeleng-gelengkan kepalanya. Pertanda kalau ia tidak setuju.
Jean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kalau sudah begini ia juga jadi bingung harus bereaksi seperti apa lagi. Ketika wanita tua itu membuka kembali selimut yang menutupi tubuhnya tadi, Shania dengan rela hati mendekatinya. Gadis itu menjatuhkan bokongnya di atas ranjang tepat di samping Bibi Iyem.
"Bibi, kalau Bibi memang gak mau gak pa-pa. Tapi, asalkan Bibi harus tetap rutin makan obat penurun panasnya," ujar gadis itu dengan begitu lembut sehingga ia pun langsung menerima anggukan pelan dari wanita tua yang ia ajak bicara itu.
Kini, tatapan Shania beralih pada Jean yang berdiri di depannya. "Tuan, sekarang Tuan tidak perlu khawatir lagi. Saya yang akan urus Bibi Iyem. Karena ini sudah malam, sebaiknya Tuan beristirahat saja," ujar Shania pada laki-laki itu terdengar sangat meyakinkan.
"Baiklah, kalau begitu saya minta tolong sama kamu ya, Laras. Tolong urus Bibi Iyem," ujar laki-laki itu yang kemudian pamit dari sana ke pada semua orang, diikuti oleh pak Orman yang juga meninggalkan sebuah kalimat pamit sebelum dirinya benar-benar beranjak dari sana.
Sekarang hanya tertinggal Bibi Iyem, dirinya dan juga Fika saja di ruangan berwarna putih itu. Fika menghampiri Shania dan memilih berdiri di dekat gadis itu.
"Makasih ya, karena kalian udah mau nolongin bibi waktu bibi pingsan tadi," ujar wanita itu kemudian.
Shania dan Fika secara kompak menyahut, "Sama-sama, Bi ...."
"Gak hanya di kami aja, Bibi jugatu harus berterima kasih sama, Tuan jean. Karena dia tadi sangat menghawatirkan Bibi, dia lah yang telah gendong bibi hingga bisa berada di kamar ini," jelas Shania.
"Benarkah? Tuan muda tadi gendong tubuh bibi yang se-gembul ini. Ya ... Bibi makin ngerasa gak enak hati jadinya," ucap orang tua itu seperti benar menyesal dengan fakta baru yang ia dengar dari Shania.
Secara bersamaan Shania dan Fika menaik turunkan kepalanya.
"Iya, Bu. Kebetulan saat kami menemukan pingsan, aku langsung manggil Kak Jean buat susulin tempat bibi pingsan." Kali ini Fika yang menjelaskan.
"Tuan Jean itu memang benar-benar baik hati. Padahal Bibi cuma sekedar pembantu saja di sini, tapi dia segitu peduli dengan Bibi. Bibi sungguh beruntung punya majikan seperti dia," ucap Bibi Iyem sembari mengenang semua kebaikan yang selama ini ia dapatkan dari Jean. Jika terus ia pikirkan, semuanya hampir tidak terhitung jumlahnya. Dia lebih banyak menerima dibandingkan memberi.
"Iya, Bi. Kak Jean itu memang definisi manusia berhati malaikat. Dia memang hobi banget bantu orang yang lagi butuhin pertolongan," tambah Fika, ia juga tidak bisa menampik semua pernyataan itu karena memang begitulah adanya kalau sosok Jean itu sangat baik hati.
Shania sendiri terlihat menganggukkan kepalanya, merasa setuju dengan pendapat dua wanita yang berada di hadapannya. Mengingat bagaimana khawatir dan tindakan Jean padannya sewaktu seekor ular bisa masuk ke dalam kamarnya waktu itu, membuat Shania merasa wajar-wajar saja dengan kebaikan hati dari Jean.
"Ohh ... Iya, Bi. Kalau boleh tahu, gimana sih asal mulanya Bibi bisa takut sama jarum suntik, ceritain dong. Fika mau dengar," pinta Fika dan berhasil mendapat jawaban 'iya' dari Bibi Iyem.
Setelahnya, ketiga orang itu menjadi hanyut tenggelam dalam percakapan mereka. Semakin lama Shania merasa dekat dengan Bibi Iyem, begitu juga Jean. Fika banyak bercerita pada mereka tentang filosofi hidup kakaknya itu. Mendengar semua cerita tentang Jean membuat Shania semakin merasa tertarik kepada laki-laki tersebut.