Keadaan Shania sekarang seratus persen telah bebas dari bubuk putih bernama tepung. Setelah tidak berhasil mendapatkan Andi, anak yang menjahilinya, Shania lebih memilih untuk membersihkan diri. Masalah dengan Andi, Shania tidak terlalu memperhitungkannya. Biar bagaimanapun perbuatan Andi terhadapnya, Shania tidak bisa memberi pelajaran dan memaksanya untuk meminta maaf. Anggap saja apa yang Andi lakukan padanya hari ini merupakan sebuah sambutan selamat datang yang Andi lakukan untuknya. Karena saat mereka pertama kali bertemu beberapa jam yang lalu, mereka berdua tidak cukup saling menyapa satu sama lain.
Memang sih ada perasaan tidak terduga yang dirasakan Shania, Jean yang adalah seorang pria baik hati ternyata memiliki anak yang cukup nakal seperti Andi. Shania sangat yakin, bibit nakal yang terdapat pada diri Andi pasti bukan berasal dari Jean, ini pasti dari ibu anak itu. Memikirkannya membuat Shania semakin ingin bertemu dengan wanita tersebut, mengenali tutur dan rupanya.
Shania tersenyum kecut melihat pakaian yang akan ia kenakan selanjutnya, itu adalah sebuah gaun pink-putih sederhana terkhusus untuk pelayanan di rumah ini. Shania bukan menyesali nasib yang sedang ia hadapi, melainkan melihat pakaian itu ia menjadi teringat pada seseorang.
"Bik San ...," Ucapannya lirih dengan mata yang membendung air.
Santi atau lebih sering dipanggil oleh Shania sebagai Bik San merupakan seorang wanita paruh baya yang berkerja sebagai pengasuh bagi Shania sedari ia kecil dulu. Iya, seperti profesi yang sedang Shania geluti sekarang ini.
Bik San sudah seperti seorang ibu bagi Shania. Wanita itu menjaga Shania dengan hati yang tulus, dengan kehadirannya Shania jadi punya gambaran bagaimana jika ia memiliki sosok seorang ibu. Dari kecil hingga kata dewasa sudah tersemat pada diri Shania, Bik San tidak pernah meninggalkannya. Buktinya saja, wanita itu mau berada di pihak Shania dan mendukungnya saat ia dengan teguh berkata tidak akan pernah menerima perjodohan yang Bimo atur.
Shania merasa sedih karena ketika kabur dari rumah ia tidak berkompromi dengan Bik San ataupun sekedar menyempatkan diri untuk mengucapkan kalimat pamit yang semestinya. Shania percaya, saat ini wanita itu pasti sedang kalang kabut memikirkan tentang dirinya yang menghilang tanpa kabar. Shania kesal pada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia melupakan Bik San-nya?
"Maafin Shania ...," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Shania memeluk pakaian yang akan dipakainya itu, menumpahkan rasa kerinduan yang tidak terhitung jumlahnya. Shania rindu kehidupannya yang dulu, rindu rumahnya, rindu Shekan, bahkan ia juga rindu pada Bimo. Bukan Bimo yang sekarang yang memaksanya untuk menikah dengan seorang yang tidak ia cintai, melainkan pada Bimo yang dulu yang selalu melimpahkan kasih sayang padanya. Tanpa disadari, likuid bening mengalir deras dari pelupuk mata Shania. Jangan katakan Shania itu cengeng dan manja, melalui tetesan air mata itu Shania ingin melepaskan rasa sesak yang terkekang pada jiwa dan raganya.
Lebih daripada itu semua, harapan Shania hanya satu. Ia ingin, cobaan yang sedang Tuhan ujikan padanya saat ini cepat berlalu dengan keberhasilan yang memuaskan. Shania yakin kalau ia pasti akan bisa terbebas dari cobaan ini sesegera mungkin, ia hanya perlu bersabar saja. Karena tidak ada kata yang lebih menenangkan daripada kata 'sabar' untuk orang yang sedang berjuang dalam hidupnya.
Tok Tok Tok
Lamunan Shania buyar oleh adanya suara ketukan itu. Dengan cepat, Shania langsung menyeka air matanya dan bergegas mengganti pakaiannya. Sudah jam segini, Shania ingat akan tugasnya. Ia harus segera keluar dari kamar sebelum dimarahi oleh kepala pelayan.
*****
Tidak ada yang lebih membahagiakan jika memandangi makanan yang lezat dan nikmat, tapi sayangnya makanan itu bukan untuk dirinya melainkan untuk majikannya. Ahhh ... Melihat makanan itu Shania jadi ingin merasakan masakan koki-koki rumahnya yang selalu ia tolak dahulu sebelum masalah melanda keluarganya.
Makan malam yang diperuntukkan hanya untuk Andi seorang kelihatan sangat mewah sekali. Semua pelayan yang telah selesai menghidangkan makanan itu, segera pergi dari sana meninggalkan Andi, Shania, dan juga Pak Orman. Tugas Shania di sini adalah untuk menemani Andi makan tanpa ikut makan, sedangkan pak Orman bertugas untuk memantau kinerja Shania. Shania masih baru di sini, takutnya anak itu tidak becus dalam pekerjaannya jadi pak Orman bisa saja langsung menegur kesalahan anak itu. Sekalian pak Orman juga ingin menilai Shania, apakah gadis itu bisa dipercaya untuk menjaga anak penerus keluarga Abirama.
Shania terus memperhatikan Andi yang memainkan makannya menggunakan sendok dan garpu dantidak sekalipun menyendokkan makanan itu ke dalam mulutnya. Shania hendak menegur, tapi tidak jadi karena pak Orman lebih dulu maju mendahului dirinya.
"Tuan muda, mohon makanannya segera dimakan," kata pak Orman, meminta dengan hormat. Andi berhenti memainkan makanannya. Ia mendongkak, menatap pak Orman.
"Gak mau, Andi cuma mau makan kalau papa yang nyuapin," kata anak itu dengan nada paksaan dan manja.
"Kalau Tuan muda seperti ini terus, tidak akan baik buat kesehatan. Tuan muda 'kan tahu sendiri kalau Tuan Jean lagi keluar kota dan hanya akan kembali esok hari," jelas Pak Orman. Sedari siang Jean memang tidak berada di rumah karena ada tugas bertemu kliennya yang berada di luar kota. Saat-saat seperti ini Andi memang menjadi manja dan akan sulit untuk menghadapi anak itu tanpa adanya Jean.
"Ya udah, Andi akan makan sampai Papa pulang," kata anak itu.
"Ckkk manja," gumam Shania yang hanya bisa didengarkan oleh dirinya sendiri. Shania akui kalau sewaktu kecil dirinya juga manja, tapi semanjanya Shania tidak pernah sekalipun Shania merepotkan orang rumah dengan cara tidak makan hanya karena ayahnya tidak ada di rumah.
Mendadak Shania terkejut lantaran Pak Orman langsung melempar tatapan padanya. Apa mungkin orang tua itu mendengar gumamannya tadi?
Shania baru bisa bernafas lega ketika ia sudah bisa menangkap maksud dari tatapan orang tua itu. Ternyata pak Orman memintanya untuk mengambil tindakan terhadap Andi. Hampir saja Shania jantungan.
Shania langsung mengambil alih kursi yang berada di samping Andi. Ia berusaha menarik perhatian anak itu.
"Tuan muda ayo makan, biar saya yang nyuapin. Kata guru kakak, kalau disuapin sama orang yang cantik bakalan ketularan juga lohhh," kata Shania dengan nada rayuan. Gadis itu sudah mengudarakan sendok yang berisi makanan.
Andi memandangi Shania tidak minat. "Guru kakak gak pernah ngasih tahu ya. Kata sifat cantik itu 'kan gak pantas dipake sama anak cowok," kata anak itu sembari memutar bola matanya.
"Ummm ... Cantiknya diganti ganteng aja, gimana?" kata Shania.
Andi menggeleng. "Gak perlu, Andi 'kan memang udah ganteng dari lahir," ucap anak itu dengan tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi.
"Ya udah, makin manis aja deh." ucap Shania sedikit jenuh, berharap kali ini anak itu tidak terlalu fokus pada perkataannya melainkan segera menerima suapan darinya.
"Gak baik terlalu manis, ntar kena penyakit diabetes," kata Andi.
Shania jadi kicep, sungguh, selain nakal Andi juga ahlinya membalas perkataan lawan bicaranya. Padahal seingat Shania, rayuan ini tidak pernah gagal apabila diterapkan pada keponakannya Adel.
Shania menghela nafas, jengah. Ternyata lelah juga jadi seorang pengasuh anak, apalagi anak yang diasuh modelan kayak Andi. Benar-benar merepotkan. Tapi Shania bertekad, ia harus bisa mengatasi masalah ini.
"Jangan gitu dong. Tuan muda ma—" ucapan Shania mendadak dipotong oleh Andi.
"Kak, aku boleh nanya, gak?" tanya anak itu, menatap Shania lamat-lamat.
Shania dengan cepat menaik turunkan kepalanya, berpikir kalau anak itu pasti sudah luluh. "Boleh banget," kata Shania, kelewat antusias.
"Kalau ada lalat dekat-dekat sama makanan kita. Bagusnya itu, dibiarin atau diusir?"
Shania menaikkan alisnya. Kenapa pula Andi harus mengajukan pertanyaan seperti itu. Ini bukan pertanyaan menjebak, 'kan? Andi itu bisa dibilang anak yang gak terduga, Shania khawatir ia akan dijahili seperti tadi siang.
Meski sebenarnya merasa ragu, tapi Shania masih berusaha untuk tetap berpikir positif. "Ya ... Harus diusirlah, karna serangga kayak lalat itu 'kan jorok. Kalau sampe hinggap di makanan kita, bakalan bikin sakit perut kalau dima—" ucapan Shania terpotong, lantaran adanya ...
Plakk
Sebuah tepukan didaratkan oleh Andi pada hidung mancung Shania. Gadis itu lumayan terkejut, karena tanpa sebab anak itu tahu-tahunya bermain fisik. Rasa nyeri juga dirasakan oleh Shania. Bagaimana tidak? Pukulan itu sangat cepat dan menggunakan tenaga. Shania tidak bisa berkata-kata, selain hanya diam menjadi seperti patung.
"Hahahaha ...." Seperti tadi siang, Andi tertawa renyah karena lagi-lagi berhasil mengelabui Shania. Shania jadi sadar, ternyata yang Andi maksudkan dengan lalat itu adalah t**i lalat yang ada di hidungnya.
Shania yang semula memberikan elusan pada hidungnya yang nyut-nyutan, menatap Andi yang tertawa sembari mangap. Terlintaslah sebuah ide di benak Shania. Ia tersenyum menyeringai, lalu mengambil ancang-ancang.
"Happ... Nyam, nyam," kata Shania bernada mengejek setelah berhasil memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut Andi.
Meski terkejut, anak itu tetap mengunyah makanannya secara perlahan. Shania terkekeh geli. Saat kunyahan Andi telah habis, Shania berpikir untuk mencari cara lain supaya anak itu membuka mulutnya lagi.
"Hei, coba lihat ini," kata Shania, menunjukkan pada Andi kedua matanya yang sengaja dibuat juling. Tentu saja itu memancing Andi buat tertawa lagi. Shania tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan gesit ia memasukan lagi sesendok makanan ke dalam mulut Andi.
Karena Shania tidak kehabisan akal, aksi Shania itu terus berlanjut sampai butiran-butiran nasi di piring Andi berkurang banyak. Pak Orman yang berdiri di belakang mereka berdua, diam-diam tersenyum. Pria tua itu juga tampaknya menikmati lelucon yang Shania buat.
Shania menoleh, orang tua itu langsung membuang muka. Shania jadi tersenyum karenanya.