seseorang di balik penculikan Andi

1432 Kata
Di ruangan yang bisa dikatakan sempit karena dipenuhi oleh barang-barang yang tidak lagi dipakai, terdapat seorang anak kecil yang duduk di sebuah kursi kayu. Kedua tangan dan kakinya terikat oleh tali, yang menjadi alasan kenapa anak tersebut sulit atau bahkan sama sekali tidak bisa untuk beranjak dari kursi tersebut selama kurun waktu berjam-jam. Anak itu hanya menatap sendu sosok laki-laki dewasa yang ada di hadapannya sekarang ini. Ia sudah lelah untuk memberontak, suaranya juga sudah parau karena sedari tadi ia terus berbicara untuk meminta pelepasan diri. Namun, itu bukan berarti anak itu akan menuruti perintah seseorang yang telah mengurungnya di sini. Anak yang masih mengenakan seragam sekolah dasar itu akan tetap teguh pada pendiriannya sampai ia bisa terbebaskan dari pengekangan paksa ini. Jika saja tenaganya kuat, jika saja dia bukan sekedar anak kecil, jika saja ia lebih bisa mampu untuk melawan. Mungkin dirinya sudah terbebas dari ikatan tali yang mengisap kulit tangan dan kakinya ini serta pastinya akan membekas. Anak itu sudah memutar otaknya, tapi sayang ia belum bisa menerapkan hasil dari memutar otaknya itu lantaran belum menemukan waktu yang tepat. "Woii Bocil, cepat makan makanannya. Kalau tetap aja Lo nolak, gua bakalan gak segan-segan lagi buat lukain Lo," ancam pria dewasa itu sembari menoel kasar kepala anak yang pada name tag seragamnya tersemat nama Andi Abirama. Kepalanya yang tertoel tadi menjadi menoleh ke belakang, tapi anak itu kembali mendongkakkan kepalanya itu untuk memberikan tatapan nyalang pada sang pelaku. Tidak perlu bersuara, dari wajahnya sudah menunjukkan kalau anak itu membenci laki-laki yang berada di hadapannya saat ini. Laki-laki berperawakan urak-urakkan tapi masih terdapat garis-garis di wajah yang menunjukkan ketampanannya itu mengambil lagi piring makanan yang semulanya ia taruh di atas nakas, tidak berjarak jauh dari tempatnya berdiri sekarang ini. Ia mencoba kembali memaksa Andi untuk menerima suapan darinya, tapi seperti yang terakhir kali, Andi menutup rapat lagi mulutnya. Agar makanan yang tidak diketahuinya apakah bersih atau tidak, apakah aman atau tidak, tidak dapat masuk ke dalam mulutnya dan tidak sampai tercerna oleh perutnya. Namun, bukan itu yang menjadi sebab utama kenapa anak itu tidak ingin menerima suapan dari laki-laki itu. Coba pikirkan saja, pada saat kamu diculik apakah kamu akan dengan begitu mudah untuk menerima sesuatu yang diberikan oleh penculik mu di saat bersamaan kamu tahu bahwa dia itu bukanlah orang yang baik. Walaupun ia harus menahan rasa lapar yang lebih lama lagi, Andi tidak merasa itu adalah sebuah masalah besar. Ia sangat yakin bahwa dirinya pasti mampu menghadapi semua ini sampai pada akhir ayahnya Jean datang menolong. Andi juga sangat percaya kalau Jean saat ini pasti tengah sibuk mencarinya karena setelah tahu kalau dirinya tidak kembali ke rumah pasti tidak akan membuat ayahnya itu merasa tenang, dan sebentar lagi ayahnya itu pasti akan menemukannya di sini. "Ayo makan." Laki-laki itu semakin menyodorkan sendok yang berisi sedikit nasi yang ditemani oleh satu jenis sayur. Namun, semakin laki-laki itu menyuruhnya untuk makan Andi malah semakin merapatkan mulutnya dan menggelengkan kepalanya. Sontak saja hal itu membuat sang pemberi suapan tersulut emosi, dia tidak lagi mampu menahan kesabaran yang sedari tadi terus ia tampung. "Gua bilang makan ya makan..Lo itu cuma anak kecil, bukan raja yang harus dirayu buat ngelakuin sesuatu?!" ucap laki-laki itu dengan nada meninggi sembari menempeleng kepala kecil anak itu dengan kasar. Kalau bukan dipaksa oleh seseorang untuk mengurus anak di hadapannya ini dengan baik, laki-laki itu tidak akan mungkin mau repot-repot mengurusi anak kecil yang memang bukan keahliannya sebagai seorang laki-laki. Jujur saja, hidup selama tujuh tahun belum sekalipun anak laki-laki itu menerima k*******n seperti ini. Tapi hari ini Andi tidak henti-hentinya menerima semua perlakuan. Walaupun begitu, ia berusaha mati-matian agar tidak mengeluarkan air mata. Seruan 'anak Papa yang kuat' terus berdegung di dalam telinga anak itu. Seakan menjadi sorakan penyemangat untuknya agar tidak sampai berhenti untuk bertahan. Karena Andi yang terus-terusan berperilaku berontak seperti itu, membuat laki-laki itu kembali menghela napas karena sangat gusar. Ia meletakkan kembali piring itu di atas nakas. Kemudian merogoh handphone nya yang berada di dalam saku celana. Lagi dan lagi ia mencoba menghubungi orang yang sama. Seseorang yang entah siapa, tapi Andi rasa orang itu adalah komplotan yang menculiknya karena disela-sela pembicaraan mereka tadi anak itu tanpa sengaja ada sedikit mentega pembahasan tentang dirinya. Dirt... Dirt... Panggilan telepon yang hendak dilangsungkan oleh laki-laki itu terpaksa terhenti tatkala ia mendengar gedoran pintu yang cukup keras. Segeralah laki-laki itu berjalan menuju pintu utama untuk keluar dari gudang berdebu ini, meninggalkan Andi yang menatap kepergiannya dengan tatapan sendu. "Gio, gimana?" tanya seorang wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah wanita bernama Bella, kepada laki-laki yang sedari tadi terus menelponnya tanpa henti itu. "Masuk aja, liat sendiri," kata Gio sedikit malas, tetapi perkataanya itu malah dibalas dengan gelengan oleh Bella. "Enggak mungkin aku masuk ke dalam. Ntar yang ada anak itu malah mengenaliku. Kamu tahu 'kan kalau itu bahaya buat kita berdua," balas wanita itu, memaparkan alasan yang sebenarnya sudah diketahui oleh pihak laki-laki. "Terus, kamu datang cuma untuk berdiri di sini aja, begitu?" tanya Gio. Tanpa terlebih dahulu menjawab, wanita itu segera menarik tangan Gio, hendak membawanya menyingkir dari depan pintu. Ia ingin mencari tempat yang lebih aman untuk berbicara kepada laki-laki yang menjabat sebagai pacarnya selain Jean. Mereka berdua kini berada di bawah pohon rindang yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah yang tidak lagi dihuni tersebut, rumah yang mereka jadikan sebuah markas untuk menyembunyikan seorang anak kecil. Jarak mereka berdua tidak sampai satu meter dan pembicaraan mereka itu sangatlah intens yang pastinya akan berbahaya apabila diketahui oleh orang lain. Beruntung untuk mereka karena lokasi yang mereka pilih sekarang ini sangat jauh dari pemukiman, bisa dikatakan tempat ini adalah tempat terpencil yang mungkin saja hanya diketahui oleh sebagian orang saja. Sehingga menjadikan kemungkinan aksi ilegal yang mereka lakukan sangat kecil untuk menjadi ketahuan. "Gio, kita berdua harus lebih berhati-hati lagi karena Laras yang udah aku tuduh sebagai penyebab atas penculikan Andi dan sebenarnya udah berhasil aku usir, tapi ternyata balik lagi dan itu diijinkan oleh Jean. Sekarang aku takut apa yang kita lakukan ini jadi ketahuan oleh mereka. Kita harus memikirkan cara lain agar semua itu tidak terjad," ucap Bella dengan gelisah sembari menatap laki-laki yang menerima seluruh cinta yang ia miliki itu dengan tatapan khawatir. Berada di dekat Gio menjadikan Bella yang terkenal keras dan tidak mau mengalah tidak pernah malu untuk menunjukkan sisi lemahnya. Bertahun-tahun ia sudah mengenal Gio, laki-laki yang menemani dirinya dari titik terendah sampai bisa berdiri dengan bangga seperti sekarang ini. Semua yang ia dapatkan tidak akan ia dapatkan apabila tidak ada campur tangan dari Gio. Berkat Gio juga wanita itu jadi mengenal dan bisa menikmati harta kekayaan seorang konglomerat bernama Jean, karena itu semua adalah rencana mereka berdua untuk merebut harta kekayaan laki-laki baik hati itu dan menjadikan materi duniawi itu menjadi milik mereka berdua untuk menata masa depan. Mendengar pemaparan Bella barusan sontak membuat Gio menjauhkan dirinya. "Apa?! Berarti semua usahaku jadi gagal. Kita gak dapat apa-apa dari penculikan ini, dan malahan posisi kita berdua ini jadi terancam," ucap Gio, sedikit tidak percaya. Sebenarnya tujuan penculikan yang mereka lakukan terhadap Andi adalah Laras atau Shania. Bella takut posisinya menjadi terancam karena kehadiran Shania. Sudah berbagai cara ia lakukan agar gadis itu segera menyingkir dari keluarga Abirama, tapi semua itu selalu menemui titik kegagalan. Oleh karena itulah Bella meminta Gio untuk menculik Andi agar semua kesalahan itu dilimpahkan kepada Shania. Namun, rencana yang ia yakini akan meraih keberhasilan malah jadi berakhir begini. Shania tetap bisa berkeliaran sesuka hati di depannya dan di depan Jean. Segeralah Bella meraih kedua lengan Gio agar bisa ia dekati kembali. "Gio, kamu jangan seperti ini. Kita berdua sekarang hanya perlu menyusun rencana selanjutnya. Rencana cadangan," ucap Bella yang khawatir kalau laki-laki di hadapannya ini merasa kesal kepadanya. "Kamu itu bodoh tahu gak. Masa urusan begini saja kamu gak mampu. Kalau tahu gini aja gak akan mau nurutin perkataan kamu. Buang-buang waktu dan tenagaku saja," ucap Gio yang memilih beranjak dari sana. Awalnya Gio tidak begitu tertarik untuk melakukan rencana yang Bella susun ini karena menurutnya rencana Bella terlalu mudah. Namun, karena terus dipaksa dan diiming-imingi dengan uang, makanya laki-laki itu terpaksa melakukannya. Sekarang ini ia jadi terkena batunya juga. Melihat Gio yang pergi, segeralah Bella mengekori. Bella tahu kalau seseorang yang ia jadikan pacar di belakang Jean itu adalah pria yang temperamental. Mudah untuk emosi, tapi walaupun begitu Bella masih tergila-gila padanya. Tanpa Bella maupun Gio sadari, tidak jauh dari tempat mereka berada ternyata ada sebuah mobil hitam yang sedari tadi mengintai interaksi mereka berdua. Mobil hitam tersebut sudah berada di sana jauh setelah Bella juga tiba di rumah yang pantas untuk disebut gudang itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN