Waktu cepat sekali berlalu, hampir mencapai satu jam Shania dan Fika mengobrol di luar rumah. Takut kalau Andi akan mencari keberadaannya karena telah lama menghilang, Shania pun mengajak sahabatnya itu untuk kembali ke dalam rumah. Fika mengangguk sebagai pertanda kalau ia mengerti, lagipula pun mereka berdua sudah banyak mengobrol walau bagi Fika sendiri itu belum cukup untuk menutupi kerinduannya kepada Shania selama ini, tapi gadis itu mengerti tentang keadaan Shania. Ia tidak ingin sahabat terbaik itu berada dalam masalah.
Mereka berjalan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang, karena dengan begitu bisa mengurangi resiko bertemu dengan orang-orang di rumah ini. Sehingga dengan begitu mereka juga bisa menghindari interogasi dari orang-orang yang penasaran akan hubungan mereka berdua, kenapa bisa se-akrab seperti ini.
"Gua bakalan dateng ke sini setiap hari, biar gua bisa temuin Lo terus," ujar Fika, sembari berjalan dengan mengayun-ayunkan tangan mereka yang bergandengan. Hal biasa yang sering mereka lakukan.
"Gak boleh," tolak Shania dengan cepat yang seketika membuat kening Fika menggerenyit karena merasa heran dengan respons Shania barusan.
"Gak boleh ingkar, maksudnya," lanjut Shania, dengan sedikit kekehan karena lucu saja melihat raut wajah sahabatnya itu. "Gua juga senang kok kalau Lo rajin-rajin ke sini. Dengan adanya Lo gua 'kan jadi ada temen untuk diajak bicara." Memang selama ini ada Andi yang selalu mengajak Shania berbicara, bermain, dan berinteraksi. Namun, tetap saja hal itu sangat berbeda jika ia berbicara dengan Fika. Karena pembicaraan yang dimaksudnya ini adalah pembicaraan sesama perempuan, sesama orang dewasa, dan sesama sahabat.
Plak
"Bisa aja Lo bercandanya, gua kira beneran tahu," ucap Fika setelah berhasil melayangkan pukulan pada bahu Shania.
"Awwwww ... Fika, sakit tahu. Lo benar-benar gak berubah ya, selalu aja main tangan," ucap Shania sembari mengelus bahunya yang terasa nyeri akibat ketempelan telapak tangan beracun milik Fika itu.
Fika kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "hehehe ... Maaf," katanya. Suatu kebiasaan bagi Fika kalau sudah berbicara sesuatu yang memicu hormonnya, pasti ia tidak bisa mengontrol tangannya. Meskipun dirinya adalah seorang perempuan, tapi jangan pernah meremehkan tenaga yang dimiliki anak tersebut.
Shania menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kapan sih Lo berubah, Lo bukan anak kecil lagi sekarang. Ntar lama-lama Lo beneran gak bisa dapet jodoh karena semua cowok yang deketin Lo pasti ketakutan pas tahu kalau Lo itu punya tenaga sekuat gajah sama hobi nyiksa orang lain," ujar Shania, karena khawatir dengan nasib masa depan Fika nanti. Ia mengenali Fika lebih dari siapapun. Dari luar Fika itu memang memiliki wajah yang cantik, tapi jangan salah dengan isi sifat di dalamnya. Anak itu sama sekali tidak menyukai gaya feminim.
"Ya elah, Sha. Hal gitu Lo khawatirin. Kalau memang nanti gua susah nyari jodoh, gua 'kan masih punya Lo yang bakalan bantu gua. Lo gak akan pernah ninggalin gua karena Lo itu adalah best friend gua dari kecil dan bakalan jadi best friend gua untuk selamanya," ujar Fika dengan tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata dan itu ternyata berhasil membuat Shania tertawa.
"Kak Laras kenal sama Bika?"
Suara yang terdengar sangat familier bagi kedua gadis itu, seketika membuat mereka terkejut. Mereka kompak memandang ke depan, dan ternyata di sana sudah berdiri seorang anak kecil yang selalu menatap dingin akan segala hal.
"T-Tuan M-muda."
"A-andi."
"Kenapa? Kok liat Andi kayak lagi liat hantu," ujar anak itu keheranan.
"Ahh ... E-nggak, k-kami berdua cuma ... Cuma ...."
"Cuma sebatas kenalan maksudnya," sahut Shania yang langsung merampungkan kalimat terputus-putus yang Fika keluarkan barusan. "Fika dulu adalah teman dekat Kakak waktu di kampus," lanjut Shania, menjelaskan.
Mendengar itu Fika langsung memandang ke arah Shania, ia memberi tatapan seolah-olah menanyakan 'apakah tidak masalah ngasih tahu Andi tentang hal ini' dan Shania sendiri membalasnya dengan gelengan kepala seolah mengatakan 'tidak masalah'. Fika pun jadinya menghembuskan napas lega, ia khawatir karena tadi Shania ada menyuruhnya untuk membantu menyembunyikan indentitas Shania yang sebenarnya.
Shania sendiri mau mengakui itu karena ia tahu bahwa Andi bukan tipe anak yang super kepo seperti anak kecil kebanyakan, jadi Andi tidak akan mungkin mempertanyakan tentang hubungannya dengan Fika lagi setelah ini. Lagipula Andi juga tahu kalau sebelum Shania bekerja di sini, gadis itu pernah menjadi seorang mahasiswa. Kesimpulannya, alasan yang Shania berikan ini pasti akan diterima oleh anak majikannya itu.
"Oh gitu," respons Andi dengan mengangguk. See, terbuktikan.
"Iya," sahut Shania dan Fika secara kompak.
"Ya udah. Kak Laras sekarang ikut Andi," ucap anak itu yang langsung menarik lengan Shania, ia mengajak gadis itu pergi begitu saja tanpa memikirkan Fika yang menatapnya tidak percaya. Sahabat Shania itu merasa kalau kini posisinya sebagai Bibi dari anak itu sudah benar-benar tidak ada artinya lagi. Andi lebih memilih Shania dibandingkan dirinya.
"Gua pergi ya," pamit Shania. Meski sebenarnya ia tidak ingin berpisah secepat ini dengan Fika, tapi mau tidak mau ia harus berpihak pada Andi.
"Lohh ... Andi, Bika kok ditinggalin sendiri sih," ujar gadis itu, masih mencoba untuk menghentikan Andi.
"Gak perlu. Ini udah malem, Bika pulang aja. Anak gadis gak baik berada di luar rumah sampai tengah malam," ujar anak itu.
Fika mengorek kupingnya, ia tadi tidak salah dengar 'kan? Benar-benar. Balau bukan karena keponakannya sendiri, sudah Fika jemur anak itu dari kemarin-kemarin hari, biar sifat dinginnya itu mencair. Daripada dirinya depresot karena berlama-lama di sini, Fika pikir sebaiknya ia pulang saja. Mau Andi benar-benar melupakannya, Fika tidak terlalu mempermasalahkannya, lagipula ia sudah cukup senang karena telah bertemu dengan Shania.
Pas saat Fika hendak beranjak, handphone yang berada dalam saku celananya berdering. Itu panggilan telepon dari ibunya, segeralah Fika menghubungkan panggilan telepon tersebut. Ternyata ibunya itu menanyainya kenapa belum juga pulang, dan Fika mengatakan bahwa ia memang berencana akan pulang sekarang.
Di lain tempat, tepatnya di kamar Andi. Keduanya segera menuju meja yang terdapat berbagai jenis alat untuk melukis serta sebuah kanvas putih yang kini telah diberikan warna-warni dari cat cair.
"Kakak lihat ya lukisan kamu," ujar Shania sembari melepaskan kain yang menutupi lukisan karya Andi tadi.
"Iya," jawab anak itu karena lukisan yang ia buat memang diperuntukkan untuk Shania.
Setelah membuka, gadis itu seketika tercengang melihat keindahan dari lukisan tersebut. Itu adalah lukisan seorang perempuan yang tengah menatap ke luar jendela.
"Ini siapa?" tanya Shania.
"Kak Laras," jawab anak itu.
Shania tertegun, tidak menyangka kalau lukisan Andi itu sebenarnya didedikasikan untuk dirinya. Pantas saja Andi tadi menyuruhnya untuk keluar saat melukis, ternyata ini alasan yang sebenarnya.
"Lukisannya indah banget, kamu memang benaran anak yang cerdas, Tuan Muda" ujar Shania dengan masih tersenyum cerah.
"Kalau Kakak beneran suka, lukisan ini untuk Kakak saja."
Salah satu alis Shania terangkat. "Beneran? Gak papa, nih?" tanya Shania.
Andi pun menaik turunkan kepalanya, sebagai jawaban untuk pertanyaan Shania barusan.
"Terima kasih, Tuan Muda."