Penyesalan

1737 Kata
(Pov Rara) “Dia pasti gak jajan karena gak punya uang,” gumamku sedih melihat Irsyad yang malah tidur di jam istirahat. Di saat semua orang mengisi perutnya untuk memperoleh energi, untuk kembali menyambung pelajaran yang akan berlangsung selama lima jam lamanya. “Apa perutnya gak pedih ya? Dia ada asam lambung gak? Apa jangan-jangan dia bukan tidul, tapi pingsan ?” Aku menggeleng-geleng pelan. Itu tidak mungkin, dia tadi barusan mengerjap karena ada nyamuk. “Sehalusnya dia bawa bekal, kayak aku ...” gumamku lagi, sembari mengeluarkan bekal makanan dari dalam tas. Karena uang jajan yang sudah habis, mumy menyarankan aku untuk selalu membawa bekal ke sekolah. Hari ini, mumy membawakan roti isi daging mayones. “Aku kasih ke Ilsyad aja.” Ide tiba-tiba muncul di otak kecilku, yang langsung aku Acc. “Aku juga gak lapal-lapal amat.” Baru hendak berdiri, tiba-tiba Bastian—anak paling jahil di kelas menghampiri mejakku, bersama dua temannya dari kelas lain, yang kelakuannya sebelas dua belas dengan Bastian. “Ra, Leni mana?” tanyanya sembari celingak-celinguk melihat bangku Leni yang kosong, lalu matanya beralih menyapu ke seluruh kelas. “Kok gue gak liat dari tadi?” “Dali tadi, Leni emang gak ada di kelas. Dia lagi ada lapat di luang labolatulium. Kumpul buat bahas lomba celdas celmat.” “Ini nih yang bikin gue malas ngomong sama lo. Lo kalo ngomong gak jelas!” Bastian mendengus. “Udahlah, kalo gitu lo omongin aja ke Leni kalo gue mau pinjam buku PR dia. Gue mau ngerjain PR.” “Eh—“ Aku buru-buru menarik tas Leni menjauh drai jangkauan tangan Bastian. “Kalo mau pinjam balang olang, halus tunggu olangnya hadil dulu. Gak bisa asal ambil aja. Ental Leni malah.” “Ck! Lo ngomong apa sih, belepotan banget kayak anak TK. R lo ke mana? Di curi orang? Lo mending balik jadi anak TK aja deh, gak cocok jadi anak SMA.” Mereka tertawa. Aku tidak peduli. Satu-satunya tawa yang membuatku kesal hanya tawa bang Gino. “Ental aja ya pinjam buku Leni, tunggu olangnya ada. Oke.” Aku beranjak dari bangku sembari membawa bekal makanan milikku ke bangku Irsyad. Sesampainya di sana, Irsyad masih tertidur pulas. Aku mencoba membangunkannya dengan cara memanggilnya plus menoel-noel lengannya dengan ujung pulpen, tapi itu sia-sia. Irsyad tidak bangun meski aku sudah melakukan semua itu berkali-kali. Sekarang hanya ada satu cara yang aku dapatkan dari Leni. “Cos 30 sama dengan seperempat.” “Salah! Yang benar setengah akar dua. Gitu aja gak tahu!” sahut Irsyad tiba-tiba. Rencana aku berhasil. “Ilsyad, kamu udah bangun ....” sapaku. “Lo lagi?! Masih belum kapok kemarin gue kasih pelajaran selama dua jam? Mau tambah lagi?” Seketika bulu romaku berdiri, kembali teringat akan kejadian kemarin siang, dimana Irsyad memberiku pelajaran matematika selama dua jam nonstop sebagai hukuman karena telah merusak catatan mujarabnya. Awalnya hukuman itu akan berlangsung selama lima jam, beruntung Leni yang juga dipaksa untuk ikut bergabung di kelas dadakan itu, memberontak dan melaporkan perbuatan Irsyad itu ke mamanya. Irsyad di suruh pulang karena belum makan siang dan kami selamat dari cengkraman manusia yang hidup untuk belajar. “Masih belum kapok lo? Apa hari ini lo mau gue buat kelas kimia nonstop?!” Aku langsung menggeleng cepat. Jelas aku tidak mau. Aku sangat sayang pada otakku. “Ih, jangan. Aku ke sini, bukan mau ganggu kamu. Tapi aku mau kasih ini.” Aku mendorong bekal makanan lebih dekat ke arah Irsyad. Irsyad menatap roti isi itu. “Selama jam istilahat, kamu tidul aja. Kamu pasti belum makan, iya, kan? Ini buat kamu.” “Inikan makanan lo. Dalam rangka apa lo kasih ke gue?” “Iya, tapi belum aku sentuh kok. Aku gak lapal. Jadi buat kamu aja.” “Gue lagi gak makan hari ini,” sahut Irsyad sembari mengembalikan bekal makanan miliku. “Eh?” Aku mengerjap. Memperhatikan semuanya. Apa aku melakukan kesalahan lagi? Aku berpikir cepat, seketika sadar di mana letak kesalahanku. Orang makanan pasti butuh minum. Irsyad tidak mau kalo makan tanpa minum. “Oke tunggu sebentar ....” Aku berlari kecil ke bangku, mengambil air mineral yang untungnya belum aku minum. “Nah ini air minumnya ....” seruku, sembari mengangkat botol sedikit lebih tinggi agar Irsyad bisa melihatnya dari bangkunya dan memikirkan ulang penolakannya tadi. “Oke, kan?” Aku mangut-mangut untuk mewakili Irsyad yang masih mode batu. “Aku ke sana lagi, tenang aja,” tambahku menenangkan Irsyad yang sepertinya gusar karena takut aku menyuruhnya mengambil makanan sendiri ke bangkuku. Kata Leni, selain hidup untuk belajar, Irsyad juga punya kebiasaan buruk jika sedang malas, Irsyad lebih memilih tidak makan ketimbang harus bergerak. Kok bisa ya ada manusia spesies seperti ini? Tidak mau ambil pusing soal itu, aku berjalan kembali ke meja Irsyad dengan dua tangan terisi. Hal itu yang membuat aku tidak memperhatikan jalan, aku tidak sadar kalo ada kaki Bastian yang melintang di depanku. Kakiku tersandung, botol air mineral menggelinding dan bekal makanan melayang ke udara dan tepat mendarat di wajah Irsyad. Sangat tepat. “Rara!” teriak Irsyad, murka. Wajah Irsyad kini di penuhi daging isi mayones. Melihat itu, semua sendiku seolah mendadak hilang, sangat sulit untuk kabur dari sini. Aku tidak kuasa membayangkan betapa mengerikannya hukuman Irsyad setelah ini. Biologi? Matematika? Kimia? Membayangkannya saja sudah membuat kepalaku migren. Aku harus apa sekarang? . . (POV Penulis) Semua orang di kelas menertawakan Rara yang hampir tersungkur, tapi mereka langsung bungkam saat Irsyad menyibak roti dari wajahnya. Tatapan tajam Irsyad, membuat semua orang merinding, dan buru-buru membuang muka berusaha menghindari kontak mata dengan Irsyad. Bahkan Bastian yang terkenal biang onar di kelas, memutuskan untuk meninggalkan kelas, saat matanya tanpa sengaja beradu kontak dengan Irsyad. Sekarang, hanya Rara yang masih bertahan di posisinya dengan wajah penuh peluh, lututnya gemetar, tapi dia tidak bisa lari. “M-maaf, k-kaki aku tadi—“ Irsyad bangkit dari kursinya, langsung pergi ke kamar mandi tanpa menghiraukan permintaan maaf Rara. Rara semakin getar-getir, beberapa hari ini Rara terus membuat Irsyad kesal dan baru hari ini Rara melihat Irsyad sekesal itu. Di kamar mandi, Irsyad mencoba meredam amarahnya dengan menghitung sampai sepuluh lalu berwuduh. Setiap kali kemarahannya kembali, Irsyad akan meredamnya dengan berwuduh. Hal itu sangat ampuh, Irsyad berhasil meredam rasa kesalnya. “Lucu parah! Gue gak bisa berhenti ketawa! Bisa-bisanya tuh cewek gak liat kaki lo, sampai hampir nyungsep.” “Makanya gue tadi langsung keluar kelas. Gue gak tahan mau ketawa. Apalagi pas liat roti isi melayang.” Suara percakapan orang itu, menghentikan pergerakan tangan Irsyad yang hendak membuka pintu. “Tapi tadi gak sampai nyungsep, Cuma kesandung doang. Gue emang sengaja ngalangi kaki Rara, buar dia nyungsep.” Terdengar suara tawa dari luar. “Jadi tadi lo sengaja?” “Iyalah. Gue risih banget setiap dengar dia ngomong R-nya selalu hilang. Dia tuh cewek aneh.” Irsyad keluar dari kamar mandi, Bastian dan dua orang temannya yang asik tertawa seketika saling memandang, antara kaget dan tidak suka akan kemunculan Irsyad. Irsyad tidak peduli itu dan langsung berjalan kembali ke kelas. “Sial, cewek itu lagi!” Irsyad menghentikan langkahnya saat dari kejauhan melihat Rara yang nampak celingak-celinguk mencarinya sembari membawa banyak tisu. Tidak ingin bertemu Rara, Irsyad langsung bersembunyi. “Kak Rara ....” panggil seorang siswi, menghentikan pergerakan Rara yang hampir saja mendapati Irsyad yang bersembunyi di belakang kursi yang ada di setiap lorong kelas. “Kak Rara mau ke mana?” tanya mereka dengan nada rama dibuat-buat. “Eh, kalian. Hem, ini kakak lagi nyali teman kakak.” “Nyali?” ulang mereka, yang langsung kompak tertawa. “Emangnya mau ‘nyali’ di mana kak? Nyalinya butuh pemantik gak bial apinya nyali,” sahut mereka. “Gak, gak butuh pemantik. Kalian liat gak teman kakak? Dia mulid balu di sini.” Mereka kembali tertawa mendengar kata yang Rara ucapkan, tidak peduli kalo Rara sedang serius. “Kak, mana ada mulid, yang ada itu murid. Coba kakak bilang mu-r-id.” “Mu-eer-id” “Bukan, Mueerid. R-nya mana kakak ? Hilang?” “Udahlah mulai sekarang kita panggil kak Rara, kak Eer-ra-er aja gimana?” Tawa kembali mengudara. Irsyad muak melihat kelakuan junior yang sama sekali tidak menghormati Rara yang notabennya setingkat di atas mereka. Mereka malah mengolok-ngolok Rara yang tidak bisa menyebutkan R dengan benar. Tapi Irsyad lebih kesal dengan Rara yang bisa-bisanya tidak sadar kalo dia sedang ditertawakan. Rara terlalu polos untuk sadar akan hal itu. Rara pikir mereka tertawa bersama, tanpa tahu kalo ialah yang ditertawakan. Miris. “Kak Rara, mau ke mana?” Tiga orang siswi itu menghadang jalan Rara. “Kak kita mau dengar dong kakak bilang, ular melingkar di atas pagar pak Umar.” Sekali mendengarnya saja Irsyad sudah tahu kemana arah kalimat itu? Tapi, lagi-lagi Rara tidak menyadari itu. Dengan sangat percaya diri, Rara mengucapkan kalimat itu, padahal Irsyad sangat yakin kalo Rara tidak akan bisa mengucapkan kalimat itu dengan benar. Dan benar saja, seteleh Rara mengucapkan kalimat itu, mereka semua tertawa. Ya mereka semua, termasuk Rara. Dia juga ikut tertawa. “Udah, kan, sekalang kakak boleh pelgi?” tanya Rara penuh senyum dan tentu saja sangat sopan. “Buru-buru banget, Kak ....” cegah satu siswi di antara ketiganya. “Kitakan belum selesai jumpa temu, sama kak Err ...” Mereka kembali tertawa. “Iya, kakak bulu-bulu banget. Soalnya—“ “Bu-ru bu-ru, kak ...” potong satu siswi yang berada di sebelah kanan Rara, tentunya dipenuhi gelak tawa. “Kalo bulu-bulu, itu yang ada di badan kucing. Bulu.” “Ya itu lah. Kakak mau ngasih tisu ke teman kakak. Kasih tadi wajah dia gak sengaja kena loti isi.” “Loti ....” Irsyad mendengus, entah sudah berapa kali tiga siswi itu tertawa bak penyihir jahat dan bodohnya lagi Rara tetap tersenyum bak gadis lugu yang tidak sadar-sadar kalo di hadapannya ada penyihir jahat. Semua itu membuat Irsyad muak, Irsyad memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya dan kembali ke kelas. “Dasar gadis menyebalkan !” gumam Irsyad. Kejadian tadi mengingatkan Irsyad pada seseorang yang memiliki masalah yang sama dengan Rara, mereka hampir sama tidak dapat mengucapkan kata R dengan benar, hanya saja .... “Terkadang menjadi terlalu bodoh seperti Rara tidak terlalu buruk ....” gumam Irsyad tanpa sadar. “Andai dia juga belajar hal itu dari Rara. Mungkin dia gak akan kayak gini ....” Irsyad tertegun, baru sadar ternyata matanya berair. “Sebagai saudara gue emang buruk. Maafin gue.” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN