(POV Rara)
Seharusnya aku tahu sejak awal kalo Leni dan Irsyad bersaudara, tepatnya mereka sepupu. Ayah Leni merupakan adik dari Papanya Irsyad. Mereka bisa dibilang saudara dekat, tapi aku sangat yakin kali bukan cuma aku yang tidak tahu hal ini, anak sekelas juga tidak tahu kalo Leni dan Irsyad sepupuan. Secara tipe wajah mereka sangat berbeda. Wajah Leni mengikuti ibunya yang memiliki wajah khas cewek oriental dengan ciri khas mata sipit, kulit putih dan hidung yang tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan Irsyad yang memiliki mata sedang, hidung mancung, dan kulit kuning langsat, mengikuti mamanya.
Fakta itu tidak membuatku takut, lantaran aku tetap bisa menjamin kalo Leni berada di pihakku. Leni bilang, dia tidak terlalu dekat dengan Irsyad lantaran Irsyad memiliki otak yang sama cerdasnya dengan otak Leni, atau bisa dibilang lebih pintar Irsyad dua kali lipat ketimbang Leni.
“Len, aku gak mau ah belajar sama Irsyad.”
“Kenapa? Kalo dia ganggu lo, lo tenang aja, gue bakal kasih dia pelajaran.”
“Pelajalan matematika? Buat apa?”
“Ck! Bukan itu.” Leni memutar bola matanya. “Pokoknya lo gak perlu khawatir.”
Aku spontan menepuk pundak Leni, bangga. “Len, aku terhalu banget deh. Segitunya ya kamu mau aku jadi pintal kayak kamu?”
Leni tersenyum kecil. “Makanya lo harus bantu gue.”
“Bantu apa?”
“Dengan lo mau belajar sama Irsyad, itu udah ngebantu gue kok ...” Leni tiba-tiba tersenyum miring. Aku pernah baca di n****+, biasanya senyum tidak simetris ini biasanya digunakan oleh tokoh antagonis saat memikirkan hal-hal yang buruk.
“Gue yakin kalo Irsyad ngajarin lo, dia bakal kesal banget. Terus dia jadi malas belajar. Nah itu peluang bagus buat gue, biar lebih pintar dari dia,” tutur Leni, terdengar sangat mulia di telingaku.
“Itu jadinya baik apa buluk sih ?”
“Baik,” sahut Leni penuh keyakinan. “Orang mah belajar buat hidup, kalo Irsyad hidup untuk belajar. Biar dia gak terlalu sering belajar. Jadinya baik, kan?” Leni tersenyum simpul.
Sedang asik-asiknya melamun, tiba-tiba suara melengking bang Gino mengagetkanku, hampir saja aku jatuh dari kursi belajar.
“Astagfirullah! Ini gak mungkin !” suara melengking bang Gino sukses menarikku kembali dari lamunan. “Sejak kapan dek kamu mau belajar ?” tanya bang Gino dengan wajah terkaget-kaget seolah baru saja melihat kucing terbang.
Aku mendengus, menjauhkan bukuku dari tatapan lebay bang Gino. “Udah Bang jangan ganggu Lala. Lala mau fokus belajal.”
“Eh?” Mata bang Gino mengerjap. “Dek, lima tambah dua berapa?”
“Dua,” jawabku asal.
Bang Gino tersenyum lebar. “Ternyata bener ini Rara.”
“Eh ?” Aku menoleh. “Kan jawabannya salah ....”
“Nah itu, sejak kapan sih adik gue pintar. Makanya kalo salah itu berarti benar adik gue,” sahut bang Gino diiringi tawa yang sepertinya tulus dari hati terdalamnya.
“Bang! Lala mau belajal. Bisa gak jangan ganggu Lala?” sahutku geram. Kehadiran bang Gino berhasil membuyarkan fokusku belajar, ya setidaknya meningkat menjadi dua persen dari sebelumnya.
“Idih, gitu doang marah.” Bang Gino beranjak duduk di ujung sudut kasur. “Mau abang bantu gak?”
“Gak! Lala udah punya catatan mujalab!” sahutku penuh percaya diri. Leni memang tidak berhasil membujuk Irsyad menajdi guru dadakanku, tapi Leni berhasil mrmbuat Irsyad mengeluarkan buku ‘catatan mujarab’ yang berisi banyak rumus simpel yang Irsyad susun sendiri. Buku catatan mujarab ini, berukuran A4 dengan halaman hampir seratus lebih halaman, yang dibalut hard cover yang kuat. Buku ini sangat tahan banting. Tetesan air tidak akan bisa menembus tebalnya cover berwarna hitam pekat itu.
Catatan mujarab ini, menjadi langkah awal bagiku untuk bisa mendapatkan nilai yang bagus (dibaca: setidaknya tujuh) di ulangan matematika besok. Dengan begitu semua masalahku yang berhubungan dengan Irsyad akan segera selesai.
“Catatan mujarab? Catatan apa? Punya kamu?”
“Bukan. Punya teman. Katanya buku ini yang mempermudah dia belajal.makanya dia bisa pintal, kalena di belajal telus. Gak kayak bang Gino yang sukanya scroll f*******: telus.”
Penjelasanku yang cukup baik seketika membangkitkan jiwa penasaran bang Gino. Bang Gino bangkit dari ujung kasur yang baru saja ia buat berantakan dan tanpa basa-basi langsung merebut buku itu dari hadapanku
“Coba abang liat dulu. ... penasaran gimana buku bisa buat lo jadi pintar ....” kata bang Gino sembari membolak-balik buku dengan alis menaut.
“Ih, Bang, sini, Lala mau belajal !” Aku menarik ujung buku itu, tapi bang Gino menahannya.
“Liat dulu bentar, Dek ....” bang Gino memperkuat genggamannya di sisi ujung buku. “Lo lupa ya? Lo kan pelupa, takutnya lo malah belajar buku sihir.”
“Gak ada hubungannya pelupa sama buku sihil, Bang !” geramku. Aku menaikkan satu tangan kiriku untuk membantu tangan kananku dalam mempertahankan buku catatan mujarab Irsyad.
“Ih, abang Lala mau belajar !” pekikku lalu menarik buku sekuat tenaga.
“Bentar doang, dek!” bang Gino bersikukuh.
“Gak boleh !” Aku menghitung dalam hati. Satu ... dua ....
“Tiga!” teriakku kencang, mengeluarkan semua tenagaku untuk mengalahkan bang Gino.
Crek !
Aku terhuyung ke belakang, kembali terduduk di kursi belajar dengan mulut masih terbuka lebar.
“Ternyata covernya gak sekuat yang terlihat,” gumam bang Gino santai, berbanding terbalik dengan aku yang rasanya ingin punya kekuatan super mengulang waktu.
“Catatan ini gue buat hampir satu lebih. Jadi buku ini sangat-sangat berharga buat gue. Gue sebenarnya gak mau pinjamin lo benda berharga ini, tapi demi uang gue, gue rela pinjamin buku ini selama sepekan buat bantu lo biar sedikit pintar.”
“Tapi ingat ya! Lo harus jaga buku ini sebaik-baiknya, gak boleh ada coretan, apalagi kerusakan di buku gue! Kalo itu sampai terjadi—“
“Bayar denda? Ada denda ya? Plis jangan mahal-mahal.”
“Nyawa lo dendanya.”
Aku bergidik begitu kembali teringat percakapanku dengan Irsyad tadi di sekolah.
“Bang, Lala bisa mati kalo yang punya tahu bukunya lusak ...” ratapku, nelangsa.
Bang Gino menepuk pundakku, berlagak seperti para motivator yang berusaha menenangkan orang. “Itulah kehidupan dunia. Penuh ujian dan cobaan. Tapi tenanglah anak muda, ini hanya sementara. Kelak kita semua akan kembali ke kampung halaman—akhirat. Jika kamu mau duluan, itu tidak masalah.”
Aku menatap bang Gino, ingin rasanya aku berteriak, ini sama sekali tidak lucu! Tapi ketegangan ini rasanya menghilangkan semua suaraku.
“Udah jangan sedih, nanti abang bantuin ...”
“Selius, Bang?”
“Iya, lo tenang aja. Lanjut belajar lagi gih ....”
Karena sangat percaya pada perkataan bang Gino, aku bisa kembali fokus belajar selama semalam suntuk, ada baiknya juga ketegangan itu, membuatku tidak bisa tidur dan memiliki banyak waktu untuk belajar. Dari 100 persen pelajaran matematika yang aku pelajari, ada sekitar 20 persen yang aku pahami. Itu berita yang sangat baik, biasanya cuma 5 persen.
“Gimana, bang, udah dibenelin sampulnya?” tanyaku sewaktu sarapan .
Bang Gino mengangguk pelan, sembari menutup mulutnya yang baru saja menguap. Sepertinya semalam bang Gino begadang main game terlihat dari matanya yang sayup dan kantong matanya menghitam.
“Udah tenang aja. Entar pas jam istirahat abang anterin ke sekolah lo,” kata bang Gino sembari menutup mulutnya yang hampir saja menguap lebar. Mumy sering mengingatkan bang Gino untuk menjaga udara tetap sehat dengan tidak mencemarinya dengan hawa naga milik bang Gino.
“Gue masih ngantuk, habis sarapan mau lanjut tidur ....” gumam bang Gino. Hari ini bang Gino tidak ada jadwal kuliah. Bang Gino bisa seharian santai di rumah, yang bang Gino lakukan tentu saja, makan, tidur dan main ponsel, selayaknya beban pada umumnya.
“Ih enak banget ... Lala juga ngantuk, tapi halus sekolah,” sahutku sembari memasukkan sesendok nasi goreng bluben buatan mumy.
“Iya dong namanya juga kuliah. Emangnya sekolah mesti tiap hari,” ejek bang Gino, sembari mengunyah roti selai kacang.
Aku spontan mendengus, rasanya ingin cepat-cepat kuliah, biar bisa hidup sesantai bang Gino. Tidak mesti membawa banyak buku, satu buku saja cukup. Tidak perlu pakai seragam, bisa bebas memilih mau pakai baju apa. Dan yang terpenting tidak banyak PR seperti di SMA.
“Udah ah, Lala mau belangkat sekolah ...” ujarku begitu selesai meneguk segelas s**u hangat.
“Bang, jangan lupa antelin bukunya.” Aku mengingatkan bang Gino lagi. Jaga-jaga biar bang Gino tidak lupa.
“Iya,” sahut bang Gino terdengar malas.
Aku tersenyum lebar. “Makasih, Bang.”
Sesampainya di sekolah, hal yang pertama Irsyad tanyanya sudah tentu buku catatannya. Sesuai perjanjian, Irsyad ingin melihat bukunya setiap hari untuk memastikan kalo bukunya baik-baik saja.
“Buku gue baik-baik aja, kan?” selidik Irsyad. Aku spontan menelan ludah, sedikit panik, tapi bang Gino bilang semuanya baik-baik saja. Jadi ...
“Baik,” jawabku. “Tadi semalam aku juga belajal pake catatan itu.”
“Oke. Nanti istirahat gue mau liat buku gue.”
“I-iya, kamu tenang aja,” kataku sedikit gemetar.
“Yang harusnya tenang itu lo.” Irsyad mengangkat satu alisnya, terlihat bingung memperhatikan tanganku yang terbiasa membolak-balik pensil jika panik.
“Entah kenapa gue makin gak tenang setelah lo ngomong gitu.”
Blush. Rasanya seperti ada sengatan hangat di wajahku. Kenapa Irsyad seolah bisa membaca pikiranku.
“Udah lo jangan ganggu Rara dulu. Jam pertama ulangan, biarin dia ingat-ingat ulang apa yang dia pelajari. Iya, kan, Ra?” sela Leni.
Kehadiran Leni seolah memberi udara yang sempat terputus dari paru-paruku. Aku kembali bisa bernapas lega, begitu Irsyad menyelesaikan sesi tanya-jawabnya dan memilih kembali duduk ke bangkunya.
“Gimana belajarnya?” tanya Leni basa-basi sebelum membuka bukunya dan tidak lagi peduli pada jawabanku.
Sesuai kata Leni tadi, aku kembali mengingat-ingat pelajaran yang semalam aku pelajari. Semuanya masih aku ingat, bahkan saat bu guru membagikan soal ulangan harian matematika. Aku melihat beberapa soal yang bisa aku jawab, aku segera meraih pulpen.
“Ya Allah ngantuk ....” gumamku, spontan menjatuhkan kepala di meja, lalu pelan-pelan tanganku meraih kertas jawaban dan ...
“Oke. Waktu ulangan sudah selesai !”
Aku tersentak, kaget menatap sekitar. Teman-temanku beranjak dari bangkunya membawa selembar kertas ulangan ke depan kelas.
“Eh, ulangan udah selesai?” tanyaku masih linglung.
Leni mengangguk. “Iya buruan kumpul kertas lo!”
“T-tapi .... aku sama sekali belum isi jawaban apa pun. Aku tadi ketidulan.”
.
.
(POV Irsyad)
Sudah gue duga hal ini akan terjadi! Dari awal gue memang tidak bisa mempercayai gadis itu sepenuhnya. Dia, gadis menyebalkan!
“Lo tahu apa yang hari ini terjadi ?” ujar gue dengan nada menggebu-gebu pada Aaris yang sedang menonton televisi
“Abang, mau popcorn,” sela Sandrina, mencoba meraih pop corn dengan tangan mungilnya ke arah gue.
“Ini.” Gue menyerahkan pop corn pada Sandrina, begitu mendapatkan apa yang dia inginkan barulah gadis kecil itu duduk tenang, sibuk mengunyah pop corn caramel kesukaannya.
“Gue baru berapa kali ketemu dia, tapi setiap pertemuan selalu aja dia buat gue kesal!” sambung gue lagi, masih tetap dengan rasa kesal yang menggebu-gebu serta Aaris yang hanya diam, mendengarkan, sembari setiap dua menit sekali membenarkan kacamata hitamnya yang melorot.
“Kabar menyebalkan pertama, uang gue baru bisa balik bulan depan, lagi-lagi karena dia manusia menyebalkan yang bisa-bisanya tidur saat ulangan.
“Kabar menyebalkan kedua.” Gue menarik napas dalam-dalam, sebelum menceritakan kejadian yang paling membuat gue dongkol sampai keubun-ubun. No comment.
“Dia ubah buku catatan gue jadi buku anak TK!” ujar gue nyaris berteriak kencang. Gue langsung mengeluarkan buku catatan mujarab gue yang sekarang sudah di sulap dengan hard cover berwarna pink dengan motif bunga lengkap dengan gambar love dan beruang cokelat dengan pita warna merah.
“Beruang ....” seru Sandrina girang. Tangan mungilnya, mencoba mengapai buku yang gue pegang.
Sandrina mulai merengek. Aaris mencoba menenangkan Sandrina. Dari satu-satunya manusia di rumah, hanya Sandrina yang sering Aaris ajak berbicara, sedangkan yang lain, hanya sesekali atau sepatah saja.
“Ini buku penting punya kakak. Sandrina gak boleh maini buku kakak. Oke?”
“Kalo Sandrina gak nangis, abang beliin donat. Mau donat gak?” bujuk gue. Tapi bukan Sandrina jika ia langsung menurut. Bocah lima tahun itu, selalu teguh pada pendirinya.
“Sandrina mau buku beruang ....” ulang Sandrina terus-terusan.
See ... Semua ini karena gadis itu! Dia memang gadis menyebalkan !
“Kakak mau ke mana? Beli donat?” tanya Sandrina yang semula hanya fokus pada buku milik gue yang berhasil dia kuasai.
“Mau keluar.”
“Ikut.”
“Gak boleh. Kakak bukan mau beli donat, tapi mau kasih pelajaran ke cewek yang namanya Rara!
**