(POV Rara)
“Tidak ....”
Satu kata yang keluar dari Aaris sore kemarin, terus menghantuiku, mengingatkanku bahwa apa yang Irsyad perintahkan tidak akan berjalan lancar, semulus jalan aspal. Yang ada hanya jalan berbatu yang penuh dengan aspal panas.
“Leni ... plis, kali ini bantu aku ya—“
“Kali ini ?” Alis Leni terangkat, jelas terlihat tidak terima dengan kalimatku barusan.
“Hem, gak, maksud aku kali ini bantu aku lagi, ya ....” Aku buru-buru menggoresi kalimatku barusan, sebelum Leni bad mood, dan menolak mentah-mentah permintaanku, atau permohonanku.
“Emang buat apa sih lo jadi pengasuh Sandrina? Lo butuh uang?” tanya Leni. Aku mendesah panjang, teringat akan perjanjianku dan Irsyad.
“Celitanya panjang ....” gumamku yang sebenarnya enggan menceritakan semua kronologi kenapa aku berada di titik ini, sangat menginginkan posisi sebagai pengasuh Sandrina. Yap, adik dari Irsyad dan Aaris.
“Kalo gitu ceritain ...,” sahut Leni, yang tentu saja ingin aku tolak. Namun belum sempat menolak, Leni langsung menambahkan kalimatnya. “Cerita atau gak usaha minta bantuan gue!”
Aku pun tunduk pasrah pada permintaan Leni. Aku mulai menceritakan semuanya dari awal, mulai dari boneka yang rusak, hutang pada Irsyad dan terakhir soal permintaan maaf yang akan dianggap lunas jika aku berhasil menjalankan misi yang Irsyad berikan, yaitu misi membantu Aaris menghilangkan rasa takutnya berinteraksi dengan orang lain.
“Kenapa Irsyad mau lo ngelakuin itu? Emangnya lo psikiater? Setahu gue, Aaris punya psikiater-nya sendiri,” respon Leni setelah cerita panjang itu berakhir.
Aku menggeleng pelan. “Aku juga gak tahu alasan kenapa Ilsyad mau aku bantuin Allis, tapi yang jelas ... aku butuh banget bantuan kamu bial bisa masuk ke lumah itu. Satu-satunya cala ya cuma jadi pengasuh Sandlina.”
“Kalo gitu, kenapa lo gak minta bantuan Irsyad aja? Diakan anaknya. Tante Rita, pasti lebih dengerin permintaan Irsyad, ketimbang gue.”
“Itu masalahnya!” sahutku cepat, apa yang aku pikirkan sangat sama dengan apa yang sekarang Leni pikirkan. Tapi, bukan Irsyad jika jalan pikirannya tidak membuatku kesal.
“Ilsyad bilang kalo dia gak akan bantu aku sedikit pun. Aku halus usaha sendili. Itu sebagai bukti kalo aku selius buat jalanin misi ini.”
Leni mengangguk-ngangguk, sepertinya dia paham derita apa yang harus sahabatnya ini tanggung, akibat permintaan Irsyad.
“Oke. Gue bakal bantuin lo.” Kalimat yang sejak tadi aku tunggu-tunggu. Leni memang bisa diandalkan, meski memiliki darah yang sama dengan Irsyad, tapi Leni tidaklah menyebalkan. Leni lebih dati sahabat bagiku, dia selalu mau membantuku. Leni pahlawan, mesku tanpa kekuatan super! Dia terbaik!
Aku tersenyum girang, baru hendak memeluk Leni, tapi satu kalimatnya seketika membuatku ingin menarik semua kalimatku tadi.
“Ayo ke sana, sekarang ....” ujar Leni.
“Sekarang ?! Tapi—“ Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Leni dengan santainya, menarik tanganku masuk ke dalam mobilnya yang baru saja datang, sekarang mobil itu melaju ke rumah Irsyad, tanpa bisa aku hentikan.
“Besok gue gak ada waktu, besok lusa juga. Jadi, mau , gak mau, lo harus mau,” jelas Leni, setelah kami berada di depan rumah Irsyad. Dan di sinilah aku sekarang, duduk di sofa dengan perasaan campur aduk, antara bingung, malu dan kaget menjadi satu. Semua berkat Leni. Ternyata darah menyebalkan Irsyad ada pada Leni juga.
Darah memang selalu lebih kental dari pada air, itu yang sering Leni katakan. Sepertinya itulah artinya.
“Kamu yakin mau jadi pengasuh Sandrina?” tanya tante Rita yang sekarang duduk di hadapanku, wajahnya terlihat rama, menyambut kedatangan kami, tapi nada suaranya terdengar ragu saat menanyakan pertanyaan tadi. Jelas saja, siapa orang yang tidak ragu saat melihat anak sekolah yang belum mengganti seragam sekolah, datang melamar perkerjaan, kalo aku jadi tante Rita, aku akan langsung ragu tanpa bertanya.
“I-iya tante ...,” sahutku gugup, tante Rita menatapku seksama, sebelum melempar tatapannya pada Leni yang duduk santai di sebelahku, sangat santai untuk orang yang sudah menyeretku di sini.
“Leni—“
“Tante, gimana kalo kita tanyain Sandrina dulu. Dia suka atau gak sama Rara,” sela Leni, yang sadar betul kalo tante Rita hendak menolakku.
“Oh, iya ....” Tante Rita mengangguk sekilas, lalu memanggil Sandrina, gadis kecil itu berlari-lari kecil, sedikit kaget dengan kehadiranku di sana, setelahnya, ia tersenyum dan langsung berlari menghambur ke arahku. Hal yang sama sekali tidak aku duga. Aku kaget, tapi untungnya manusia diciptakan dengan gerakkan refleks yang baik. Aku berhasil menangkap tubuh Sandrina yang sekarang duduk manis di pangkuanku.
“Sandrina kenal sama kakak ini ?” tanya tante Rita yang terlihat kaget mendapati Sandrina begitu akrab denganku.
“Kita pernah ketemu, Tante. Di kedai es cream pekan kemalin,” sahutku. Keberadaan Sandrina di sisiku membangkitkan tingkat percaya diri seratus persen.
“Nanti beli es cream lagi ya, Kak ...,” gumam Sandrina dengan pipi yang naik-turun, mengemaskan.
“See, Te ... Sandrina suka sama Rara. Itu artinya ...”
“Tapi, apa orang tua Rara gak masalah?”
Aku langsung menggeleng cepat. “Tidak, Tante. Mumy tidak masalah jika Lala membantu di sini. Hitung-hitung belajal jadi tante yang baik, jadi nanti kalo anak bang Gino lahil, Lala bisa bantu jagain.”
“Emang abang lo udah mau nikah?” tanya Leni, spontan.
“Belum. Tapi belajal ‘kan boleh sekalang.” Aku senyum selebar iklan pasta gigi.
“Kalo gitu, tante terima Rara bantu di sini. Sepulang sekolah, Rara bisa datang ke sini buat bantuin jaga Sandrina.”
“Selius, Tante?” tanyaku masih tidak percaya ini terjadi. Ini pengalaman pertamaku melamar perkerjaan, dan aku berhasil. Boneka berbi bang Gino pasti iri kalo tahu fakta ini! Mumy, Lala berhasil !
“Iya. Kamu bisa mulai besok. Bisa, kan?”
“Insyallah bisa, Tante,” sahutku dengan semangat 45, semangatku makin membara saat melihat Irsyad lewat. Ingin rasanya aku berteriak di telinga cowok itu dan mengatakan, kalo aku tidak sebodoh yang dia pikirkan! Aku bisa tanpa bantuannya !
“Len, jangan lupa ajak pulang teman lo itu. Gue lagi gak mood berantem sama dia.” Irsyad menangkap basah aku yang melempar tatapan kemenangan ke arahnya.
Aku tercengang, bisa-bisanya dia mengusirku ! Padahal dia—
“Irsyad, kamu kenapa? Kenapa baju kamu kotor gitu?” seru tante Rita, yang baru menyadarkanku kalo penampilan Irsyad tidak seperti biasanya. Bajunya lecek, rambutnya berantakan bagai di terpa tornado dan wajahnya cemong penuh debu.
Aku jadi ikut bertanya hal yang sama, tapi Irsyad hanya mendengus pelan dan bilang ke tante Rita kalo dia mau cerita setelah aku pergi. Dia memang cowok paling menyebalkan di muka bumi!
..