(POV Aaris)
“Sampai ...” pekik Sandrina riang. Berbanding terbalik dengan aku yang seketika mematung di tempat. Aku memandang sekeliling dari dalam jendela mobil. Tidak terlalu banyak orang yang lalu lalang, tapi suara bising kendaraan terdengar di mana-mana.
“Ayo tulun, Kak ....” Sandrina tidak henti-hentinya menarik ujung kemeja kotak-kotak yang aku gunakan.
“Sabar ya Sandrina ... kita tunggu kak Irsyad datang dulu,” ujarku menenangkan Sandrina yang mulai merengek karena tidak sabar ingin segera turun untuk membeli es cream kesukaannya di kedai depan.
“Sekarang aja, Kak ....”
“Bentar ya, Sayang ...” Aku meraih ponsel, menelepon Irsyad tapi tidak kunjung di angkat.
“Duh, Irsyad mana sih?” gumamku yang sejujurnya mulai panik. Aku terus mencoba menelepon Irsyad yang bilang akan segera datang ke sana untuk menemani Sandrina membeli es cream.
“Ayo turun ....” rengek Sandrina, yang lagi-lagi tidak mampu aku penuhi. Sandrina mulai menangis karena permintaannya tidak dipenuhi, gadis kecil itu berusaha membuka pintu hendak keluar sendiri, beruntung dengan cepat aku mengunci pintu mobil.
Tidak hanya sampai di situ, Sandrina mulai mengamuk, semua barang di atas dasbor mobil dia buang sembari berteriak-teriak kencang.
“Dek, jangan teriak ...”Aku berusaha menenangkan Sandrina, tapi itu sia-sia. Tangis Sandrina makin menjadi. Tanpa aku duga, teriakan Sandrina menarik perhatian beberapa orang yang lalu lalang, menyoroti mobil kami.
Beberapa orang yang berhenti di depan mobil menatap ke arahku. Aku menunduk, rasa takut seketika menjalar hebat di benakku. Mereka berbisik sembari terus melempar tatapan curiga ke arahku. Tidak lama dari itu, hal paling aku takuti terjadi. Satu dari beberapa orang itu berjalan ke sisi samping mobilku. Dia membungkuk dan mengetok pelan kaca jendela mobilku.
“Mas, tolong buka kaca mobilnya ...” katanya.
Aku panik! Dadaku terasa sesak. Terlintas dibenaku untuk menginjak gas sekencang mungkin, tapi itu tidak mungkin. Aku tidak ingin Sandrina kenapa-napa.
“Mas ...” ketukan itu makin kuat. Dua orang kembali mendekat.
“Mas, buka kaca mobilnya, atau kami bakal pecahin paksa kaca mobil ini !” teriak mereka.
“Lo pencundang ...”
“Lo sampah ...”
“Lo orang aneh ....”
Dan sialnya, kalimat yang berusaha aku lupakan kembali terdengar dari sisi lain kepalaku. Aku meringkuk, merasakan menggigil di sekejur tubuh, rasanya seperti ada ribuan batu es yang menghantam tubuhku secara serempak, membuatku membeku dan mati rasa.
Tangisan, pekikan dan teriakan mereka seketika bias di telingaku. Aku tidak bisa mendengar apa-apa, sampai tiba-tiba suara khas seseorang gadis kembali terdengar samar-samar di telingaku.
“Pak, dia teman saya. Saya mengenalnya. Tolong, bial saya saja yang memintanya membuka pintu.”
“Hay, ini aku, Lala ....” Gadis itu melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku tidak mengerti, tapi entah kenapa melihat gadis itu seketika aku merasa sedikit tenang. Gadis itu memintaku membuka pintu mobil dan aku melakukannya bagai terhipnotis.
“Hey, adik manis, kenapa nangis ...?” Gadis itu berusaha menenangkan Sandrina. Dalam diam aku terus memperhatikannya.
“Aku mau beli es cream, Kak ...” jawab Sandrina di sela tangisnya. “Tapi, kak Aaris gak mau temenin.”
“Kalo gitu, mau baleng kakak, gak?” Gadis itu tiba-tiba mengangkat kepalanya, aku segera membuat muka.
“Boleh ‘kan aku ajak Sandrina beli es cream sebentar ke sana?” tanyanya yang langsung aku setujui. Harus aku akui, setiap kali aku mendengar gadis itu berbicara, aku seolah bisa melihat Aaris yang dulu. Aaris yang anehnya karena tidak bisa mengatakan kata R dengan benar.
Gadis itu membawa Sandrina ke kedai es cream yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat mobilku di parkirkan. Aku terus mengawasi mereka dari jauh, bukan tidak mempercaya pada gadis itu, hanya saja, aku takut terjadi hal buruk pada Sandrina. Aku harus memastikan kalo Sandrina aman bersama gadis itu, hal yang seharusnya aku lakukan, tapi aku malah duduk diam di sini, bak pecundang yang hanya bisa mengamati keduanya yang dengan riang, keluar dari kedai es cream.
“Es cream ...” Sandrina masuk ke dalam mobil dengan mata berbinar terang.
“Maafin, kakak ya ...” ujarku yang tentu saja tidak digubris Sandrina. Gadis kecil itu sibuk menjilati es cream yang ada di sisi cone es cream.
“Suka es cleam juga?” Rara tiba-tiba muncul di balik punggung Sandrina. Aku hampir merupakan keberadaan Rara yang masih berdiri di luar mobil.
“Ini buat kamu. Kata Sandlina, kamu suka es cream lasa vanila, makanya aku beliin ini buat kamu.” Rara menyodorkan satu cup es cream padaku. Aku bimbang untuk mengambilnya, tapi aku tidak mau membuat gadis itu kecewa. Hari ini dia sudah banyak membantuku.
“Kamu gak pelu sungkan, aku udah bayal kok. Anggap aja ini sebagai tanda pertemanan,” tambahnya lagi.
Aku segera meraih es cream itu, takut gadis itu salah paham lagi dengan rasa bimbangku. Saat aku mengambil es cream itu, aku melihat raut bahagia gadis itu dua kali lipat dari sebelumnya. Matanya berseri dan senyumnya mengembang lebar. Aku terkesiap, memikirkan kenapa dia begitu bahagia, hanya karena aku menerima es cream yang dia berikan ?
“Kenapa kamu tersenyum?” tanyaku spontan. Ini sudah kedua kalinya, gadis itu berhasil membuatku bertanya padanya. Entah energi apa yang ada padanya sampai membuat aku melupakan sejenak rasa takutku untuk berinteraksi dengan orang asing.
“Kalena aku sedang senang,” sahutnya, sangat jauh dari yang aku harapkan, aku pikir ada sesuatu seperti filosofi atau hal menarik yang terjadi di kepalanya. Ternyata tidak.
“Btw, aku sekalang tahu nama kamu ...”
Dia benar-benar mengingatkanku pada Aaris yang dulu. Aaris yang selalu merasa malu karena tidak bisa menyebut huruf R dengan benar. Tapi kenapa gadis ini sama sekali tidak merasa malu untuk itu, justru dia terlihat sangat menyukai hal yang aku anggap sebagai ‘kekurangan’.
“Iss ... Mulai sekalang aku bakal panggil kamu Iss. Soalnya aku gak bisa panggil nama lengkap kamu. Kamu kebelatan gak?”
Jika di mata Irsyad, dia gadis menyebalkan. Bagiku dia gadis yang sulit dijelaskan, dia baik atau terlalu polos. Aku tidak paham apa yang sekarang ada di kepalaku. Sejujurnya aku sangat suka keceriaan gadis itu. Keceriaannya seolah menarikku untuk ikut tersenyum dan bahagia.
Jika saja aku bertemu dengannya sebelum hari itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi ... mungkin kisah ini akan berbeda. Tapi semua tidak sama lagi. Keberadaan gadis itu tidak akan mengubah apa pun. Semua telah terjadi ... dan aku mungkin terjebak selamanya di sana.
“Tidak ....” sahutku datar, aku langsung menutup jendela mobil dan melaju pergi. Meninggalkan gadis itu yang masih berdiri di posisinya.
**