Tak-Tik 2 (POV RARA)

1103 Kata
“Iya mumy... “ Kali ini aku mangut-mangut. “Bisa gak pas mumy ruqiyahnya sampai pas sesi makan? Lala kan lapar habis yasinan.” Mumy menghela nafas panjang, mumy sepertinya sangat bahagia karena aku sudah mau meluangkan waktu untuk menjeda me time-nya. Aku tahu ini sangat baik. “Apa pendapat mumy?” ulangku. “Hem ... menurut mumy, lingkungan memang sangat mempengaruhi karakter seseorang. Setelah dididik di rumah, seorang anak akan terjun ke lingkungannya. Sebagian waktu juga dihabiskan di luar, itulah kenapa lingkungan juga menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter seseorang.” Aku mangut-mangut. Tips ketiga dari Leni sudah berhasil. Menyamakan perspektif. “Itulah kenapa mumy dan papy selalu berusaha memberikan kalian lingkungan yang baik ... insyallah anak-anak mumy anak yang baik. Ya meski agak sedikit aneh ....” “Nah karena itu mumy ...” Aku menarik nafas panjang. Bagian inti dari misi ini, membujuk mumy. “Lala, lasa sekolah Tunas Bangsa gak baik buat pertumbuhan dan keceldasan Lala.” Wajah sumringah mumy seketika berubah berganti dengan kening berkerut. “Kamu yakin ?” tanya mumy. “Yakin mumy ... buktinya Lala gak pintal-pintal di sana.” “Bang Gino pintar kok sekolah di sana.” Terjadi jeda yang panjang. Kali ini bukan karena tips dari Leni. Melainkan karena aku lupa menyusun dialog selanjutnya setelah kalimat mumy tadi. Mumy juga ikut diam seperti menunggu kalimat selanjutnya dariku. Lain kali aku harus membuat dialog lebih panjang. “Hem itu ...” Aku jadi bingung. “Sayang ...” Mumy meraih tanganku. Menarik kembali fokus mataku yang semula berputar-putar memikirkan dialog selanjutnya. “Maaf kalo mumy tadi malah banding-bandingin kamu sama bang Gino, mumy tahu ini gak baik. Tapi mumy harap kamu paham apa maksud mumy.” “Untuk menjadi pintar bukan hanya ada di lingkungan sekolah yang baik. Memang benar lingkungan bisa mempengaruhi bagaimana kebiasaan kita, membentuk kita menjadi semakin giat belajar atau malah sebaliknya. Tapi semua itu, kembali ke diri masing-masing, sebaik apa pun lingkungan belajar kamu, kalo kamu gak mau belajar gimana mau pintar?” “Leni, dia ada di lingkungan sekolah Tunas Bangsa, menurut kamu dia pintar gak?” “Pintal. Sangat pintal.” “Jadi selain di lingkungan yang baik, kamu juga harus belajar dan berusaha. Ingat, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kamu apabila kaum itu tidak mau berusaha,” tutup mumy, lalu kembali meraih bukunya yang sejak tadi mumy abaikan. “Iya mumy. Tapi kali ini masalahnya bukan sekedar gak mau belajal.” Aku langsung mengangkat dua jariku membentuk tanda peace. “Dua kali lipat dari itu ...” tambahku dengan nada suara penuh urgent. Mumy menghela napas, panjang. “Lala gak bisa sekolah di sana lagi, tadi Lala buat masalah sama anak kepala sekolah.” Aku mulai merengek, biasanya cara ini paling ampuh melelehkan hati mumy yang selembut kapas. “Kalo kamu buat masalah, berarti kamu harus minta maaf. Mudah, kan? Gak perlu sampai pindah sekolah,” sahut mumy enteng. “Tapikan gak semudah itu mumy, dia itu olangnya ...” Aku cemberut mumy tidak lagi menyimak. Mumy nampak larut dalam bacaannya. “Mumy ....” Aku kembali merengek, berharap mumy mau mempertimbangkannya sekali lagi. Ini hidup dan mati. Ini sangat urgent ! “Lala gak bisa sekolah di sana lagi. Lala bakal lakuin apa aja kalo mumy mau pindahin Lala ke sekolah lain.” “Beneran? Mau lakuin apa aja?” Mumy kembali tertarik setelah mendengar penawaranku. Senyum seketika mengembang di wajahku. Ini sepertinya berhasil. “Kalo gitu, bisa tolong mumy buat memberi mumy waktu me time?” Mulutku seketika tergangga, pupus sudah semua harapan yang ada. Remuk rasanya hati ini .... “Hahahahahhah ....” Suara tawa membahana memenuhi ruang tengah. Siapa lagi pelakunya kalo bukan bang Gino. Manusia nyebelin yang selalu tertawa di atas penderitaan adiknya sendiri. Aku mendengus kesal. “Gino ....” tegur mumy yang sudah berkali-kali mengingatkan bang Gino untuk tidak tertawa berlebihan seperti itu. “Maaf mumy ... keceplosan habisnya lucu banget sih.” Bang Gino menoleh ke arahku dengan mulut bergetar, masih menahan tawa. “Tapi bagus kamu ada di sini, mumy butuh bantuan kamu. Bisa tolong bantuin adik kamu buat kalimat permintaan maaf ? Kamu, kan anak basket, pasti jago buat kalimat permintaan maaf.” Bang Gino kembali melirikku, alisnya naik-turun seperti ulat bulu yang siap panen, aku menatap dongkol. Tiba-tiba satu lengan beratnya tersemat di bahuku. Berat banget! Aku memberontak tidak terima. “Tenang mumy, sebagai abang yang baik, Gino bakal bantuin adik tercinta.” Bang Gino kembali menoleh, memperlihatkan bibirnya yang bergetar menahan tawa. Rasanya aku mau muntah mendengar kalimat hoax itu. “Yuk dek, abang ajarin ...” ujarnya dan langsung menyeretku menjauh dari mumy. Aku langsung memberontak, tapi bang Gino malah makin mempererat lengannya. Entah apa rencana yang ada di kepala bang Gino. Ya Allah tolong hamba .... “Bang lepasin!” protesku untuk kesekian kalinya. “Cius mia apa?” sahutnya sok imut. Aku langsung melepaskan diri dari cengkraman bang Gino. “Kenapa sih suka banget ganggu olang ....” “Emang kamu orang ?” sahut bang Gino sembari mengudarkan suara sumbangnya. Aku mendengus, mencoba menghentikan suara sumbang bang Gino dengan cara menginjak kaki bang Gino, tapi bang Gino sudah terlatih membaca pergerakan kakiku, aku nyaris terjengkang karena kehilangan objek sasaran. Tawa bang Gino makin menjadi-jadi, aku mengeram kesal. Ujung ekor mataku tanpa sengaja melihat ke arah rak koleksi berbi bang Gino. Tanpa pikir panjang aku berlari cepat memasuki kamar bang Gino, kemudian meraih satu boneka berbi dan menghempas keras ke lantai. “Nih rasain !” sekarang giliran aku tertawa puas, berbanding terbalik dengan bang Gino yang seketika tergangga dengan mata melotot nyaris seperti hendak keluar. “Lo tahu berapa harganya ?” Aku mengangkat bahu, acu. Memang siapa yang peduli. Paling juga cuma sepuluh ribu. “Sepuluh juta !” sahut bang Gino pelan, aku nyaris terpekik mendengar dua kata itu. “Gak lucu ...” Aku tertawa hambar, menutupi rasa cemas yang sekarang menyelimuti hatiku. Seketika perkataan mumy mengiangan dibenakku, melampiaskan kemarahan hanya akan membawa masalah baru ... diam saat marah, maka kamu akan selamat. Aku harap bang Gino hanya sedang mengertakku, mana ada berbi semahal itu, kan? Tapi apa yang tidak mungkin? Lukisan Monalisa saja lebih mahal ketimbang rumah ini. Seketika tenggorokanku terasa sangat kering. “Eh, jangan lari lo !” bang Gino langsung menangkap ujung bajuku yang sudah siap kabur. “Itu punya orang dan lo harus ganti !” “Diskon ya bang ... jadi sepuluh libu.” “Pekan depan harus ada uangnya,” tutup bang Gino sadis. Aku meringgis, lutukku tiba-tiba terasa sangat lemas. Sepuluh juta? Dari mana uang sebanyak itu? **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN