PART. 5

741 Kata
Wira sekeluarga sudah kembali ke rumah. Sekarang mereka sudah memiliki mobil sendiri. Meski mobil dibeli dengan cara mencicil pada Soleh. Bukan mobil baru, tapi masih sangat bagus. Harga yang harus dicicil, sesuai dengan harga yang harus Soleh bayar pada penjualannya. Jadi, Soleh tidak mengambil keuntungan sama sekali. Niatnya memang hanya untuk membantu Wira saja. Saat mereka kembali, tepat saat Razzi juga baru pulang. "Bagaimana keadaan Nini?" "Cukup baik, tapi tetap harus menjalani perawatan." "Alhamdulillah kalau begitu. Insya Allah, besok setelah pulang bekerja, aku akan menjenguk beliau." "Kamu sudah sholat Isya?" "Sudah, Ma" "Sudah makan?" "Sudah Nini." "Kalau begitu, duduklah. Ada yang ingin kami bicarakan." Wira menunjuk Sofa di ruang tengah. Meski merasa bingung akan apa yang ingin dibicarakan, tapi Razzi menurut saja. "Ada apa, Abah?" "Usiamu sudah dua puluh empat tahun. Abah kira, sudah cukup matang untuk menikah. Apa kamu sudah memiliki pilihan hati, Razzi?" Razzi diam, semakin bingung, kenapa tiba-tiba Abahnya menanyakan hal itu. "Kamu mendengar pertanyaan Abah, Razzi. Apa kamu sudah memiliki pilihan hati?" "Tidak ada, Abah," kepala Razzi menggeleng. Meski seraut wajah berkelebat di dalam benaknya. Tapi, ia tak mampu mengungkapkan itu pada Abahnya. "Alhamdulillah kalau begitu." Wira menarik napas lega, begitupun Wirda. Hanya Ziah yang diam sambil menatap lekat putranya. "Begini, Razzi. Nini Cantika, ingin sekali menikahkan Vanda dengan segera. Nini Cantika sangat berharap, kamu mau menjadi suami Vanda." Wajah Razzi terangkat. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Maksud, Abah?" "Kamu mau menikah dengan Vanda? Dia gadis baik, sopan, tidak banyak tingkah. Dan, dari keluarga yang sangat baik. Saking baiknya, kita banyak berhutang budi pada keluarga mereka, Razzi." "Abahmu benar, Razzi. Vanda itu gadis istimewa. Persoalan cinta, itu bisa datang perlahan. Abah, dan Mama'mu dulu juga menikah tanpa cinta, dan mereka bisa bahagia." "Boleh aku berpikir dulu, Abah, Nini?" "Ya, pikirkanlah." "Kalau begitu, aku permisi dulu." "Ya, kami tunggu jawabanmu secepatnya, Razzi." "Iya, Abah." Razzi masuk ke dalam kamarnya, dengan perasaan yang gelisah. Ia duduk di kursi belajar. Ditarik satu buku dari meja belajarnya. Dibuka buku itu, ditatap buku tabungannya yang terselip di antara helaian buku. Dibuka buku tabungannya dengan tangan bergetar. Suara ketukan di pintu, dan suara Nininya yang memanggil, membuat Razzi meletakkan lagi buku tabungannya di antara helaian buku. Lalu ia letakan lagi buku itu, diantara buku lainnya. "Razzi ...." "Sebentar, Ni." Razzi membuka pintu. "Boleh Nini masuk?" "Iya, Ni." Razzi melebarkan pintu. Wirda masuk ke dalam kamar cucunya. Ia duduk di tepi ranjang, Razzi duduk di kursi belajar. "Razzi ...." "Iya, Ni." "Harapan Nini, sama dengan harapan Nini Cantika. Berharap, ada keturunan kami yang bisa bersatu." Razzi menundukkan kepala. "Dulu, Abahmu mencintai Asma, Ammanya Vanda. Namun cinta itu tidak membuat mereka berjodoh. Dan, Nini juga tadinya tidak berani berharap, ada dari keturunan Nini yang berjodoh dengan keluarga Ramadhan." Wirda menarik napasnya sesaat. "Tapi, keinginan Nini Cantika untuk menikahkan kamu, dan Vanda. Membuat harapan itu tumbuh lagi di dalam hati Nini. Nini ingin kamu tahu, kalau bersatunya dua keluarga adalah harapan Nini. Tapi, keputusan tetap di tanganmu, Razzi." Wirda bangkit dari duduknya, ditepuk lembut bahu cucunya, lalu ia ke luar dari dalam kamar Razzi, tanpa bicara lagi. Razzi menatap Nininya. Lalu ia bangun dari duduknya, untuk menutup pintu kamarnya. Razzi duduk di tepi ranjang. Diusap wajah dengan kedua telapak tangannya. 'Ya Allah. Kebahagiaan keluargaku di atas segalanya. Apapun akan aku lakukan demi mereka. Aku mohon, beri kelapangan pada hatiku, untuk menerima semua.' ☘️️?☘️ Asma, Revano, Vanda, dan Soleh yang menunggu di rumah sakit. Aska, Asifa, dan Rara pulang ke rumah. Karena, Rara harus sekolah. Rara membujuk orang tuanya untuk mengatakan siapa pria yang akan dijodohkan dengan Vanda. "Ayo dong, Amma. Katakan, siapa yang ingin dijodohkan Nini dengan Kak Vanda." "Belum saatnya, Rara. Nanti kamu juga tahu." "Apa bedanya tahu sekarang, atau nanti, Amma?" "Sekarang belum pasti. Kalau nanti, itu sudah pasti." "Apa maksudnya nih, Rara tidak paham." "Nanti juga kamu paham." "Abba, Abba Rara yang ganteng, yang pintar, yang baik hati. Beritahu Rara dong," mohon Rara dengan mimik wajah, dan suara memelas. "Tidak sekarang ya, Sayang." "Abba tidak asik ah, main rahasia sama Rara. Rara tidur aja deh. Rara jangan dibangunkan ya, kalau sampai rumah. Abba harus gendong Rara ke kamar." "Kumat manjanya," gumam Asifa. "Biarkan saja, jarang-jarang dia manja." Sebenarnya Rara tidak tidur, telinganya tegak, untuk menajamkan pendengarannya. Siapa tahu orang tuanya membicarakan tentang calon suami Vanda. Tapi, sampai ia benar-benar tertidur, nama yang ia tunggu, tidak disebut juga. BERSAMBUNG komen 50 aku posting next part. 1 akun hanya boleh 3 komen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN