Wira sekeluarga sudah selesai sarapan.
"Abah, aku ingin memberikan jawaban." Razzi menatap Wira. Ziah, dan Wirda menatap Razzi.
"Tepatnya keputusan mungkin. Aku sudah mengambil keputusan. Aku bersedia menikah dengan Vanda."
"Alhamdulillah!" seru Wira, dan Wirda. Hanya Ziah yang diam saja, ditatap lekat putranya. Ziah merasa ada kesedihan pada nada suara putranya. Sikap Razzi juga menunjukkan tidak ada kegembiraan pada dirinya. Ziah merasa, Razzi sedang tertekan.
"Aku akan menelpon Paman Soleh."
"Ya, kabari mereka secepatnya, Wira."
"Aku ganti pakaian dulu," Razzi berlalu menuju kamarnya. Tiba di dalam kamar. Razzi memejamkan mata, menahan rasa perih di dalam hatinya. Impian yang terajut sekian tahun, harus ia lepaskan kini. Bukan Vanda, yang ia puja di dalam hatinya. Bukan Vanda yang jadi istri impiannya. Bukan ....
"Razzi." Suara panggilan Mama'nya membuat Razzi terkejut. Dibuka pintu kamar. Mama'nya berdiri di hadapannya.
"Ini berkas yang harus ditanda tangani Abbanya Rara. Kamu bawa ke rumah Kai Soleh ya. Setelah itu antarkan ke ruko. Abba Rara meminta Abahmu untuk di kantor saja, sementara Nini di rumah sakit."
"Iya, Ma."
"Mama' tahu, masalah pernikahan ini adalah pilihan sulit bagimu. Tapi, yakinlah, jika kamu ikhlas, Allah pasti akan memberikan yang terbaik untukmu." Ziah mengusap lembut bahu putranya, yang sangat mirip dengan Abahnya.
"Aamiin, Insya Allah aku ikhlas, Ma."
Ziah mengusap pipi Razzi, lalu pergi dari hadapan Razzi, karena tidak ingin Razzi melihat air matanya.
Razzi menatap Ziah sesaat, lalu menutup pintu kamar, dan mengganti pakaiannya.
☘️?☘️
Sementara itu, di rumah Soleh. Aska juga sedang sarapan bersama istri, dan putrinya.
Ponsel Aska berbunyi.
"Abba ... Assalamualaikum, Abba ada apa?"
"Razzi sudah setuju untuk menikah dengan Vanda. Wira baru saja menelpon Abba."
"Alhamdulillah. Jadi kapan rencana pernikahannya, Abba?"
"Nanti kita bicarakan setelah Ammamu ke luar dari rumah sakit."
"Ya, Abba."
"Ini Asma ingin video call katanya."
Video call dari Asma masuk.
"Sifa, lihat keponakanmu, dia terus tersipu begitu tahu kalau Razzi yang akan menjadi suaminya." Asma tampak tertawa menggoda putrinya. Asifa juga ikut tertawa. Tapi, Rara terdiam. Ia terkesiap mendengar kalau Razzi adalah calon suami Vanda.
Terdengar suara tawa Kai, dan Nini juga. Tampaknya semua orang tengah berbahagia.
"Rara, lihat sepupumu, ternyata diam-diam dia memang menaruh hati pada Razzi. Amma seperti tahu saja ya, siapa pria yang dicintai cucunya."
"Amma, ih!" Vanda terlihat cemberut.
"Selamat ya, Kak Vanda." Akhirnya, ucapan itu bisa meluncur juga dari sela bibir Rara, setelah ia bisa menguasai rasa terkejutnya.
"Terima kasih, Rara."
"Rara harus sekolah ...." Rara bangkit dari duduknya, lalu menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Rara bersandar di balik daun pintu. Air mata yang sejak tadi ia coba tahan, kini jatuh membasahi pipinya.
Pria yang ia cinta semenjak bocah, menginjak remaja, dan saat kini ia beranjak dewasa, ternyata ditakdirkan bukan untuk menjadi jodohnya. Tapi, akan menjadi suami sepupunya.
'Kamu kuat, Ra. Kamu kuat. Kamu hebat, kamu pasti bisa tetap tersenyum menerima kenyataan ini. Dengar tawa gembira keluargamu. Lihat wajah bahagia mereka. Kepedihan yang kamu rasakan, adalah untuk kebahagiaan semua anggota keluargamu. Singkirkan egomu, pupus rasa cintamu. Hapus nama Razzi dari lubuk hatimu. Mimpimu tentang Razzi sudah berakhir. Kamu kuat, Ra. Kamu hebat, kamu pasti bisa menahan rasa sakit.'
Rara masuk ke dalam kamar mandi, ia cuci mukanya. Ia tidak ingin terus menangis, dan membuat matanya bengkak.
Diambil tas sekolah, dan dipasang masker penutup mulut, dan hidung, untuk menghindarkan debu dari masuk ke dalam mulutnya.
Rara ke luar dari kamar, ia menuruni anak tangga. Ia berpamitan pada kedua orang tuanya yang masih berada di ruang makan.
"Rara berangkat ya, Abba, Amma." Rara mencium punggung tangan, dan pipi Aska, dan Asifa.
"Hati-hati di jalan. Kalau waktu pulang, langsung pulang, jangan mampir kemana-mana."
"Iya, Amma. Assalamualaikum."
Rara menuju pintu depan, saat ia membuka pintu, tepat saat Razzi naik ke teras rumah. Rara melepas masker di wajahnya.
Mereka saling tatap sesaat. Razzi yang biasanya menundukkan wajah saat tatapan mereka bertemu, kini menatap wajah Rara dengan sangat lekat. Namun, tidak ada yang bicara di antara mereka.
Akhirnya, Razzi yang bersuara lebih dulu.
"Assalamualaikum," sapa lirih suara Razzi.
"Walaikum salam. Mencari Abba?" Rara berusaha menetralisir perasaannya.
"Iya," kepala Razzi mengangguk.
"Sebentar, Rara panggilkan."
Rara kembali masuk ke dalam. Razzi menatap gadis yang ia cinta, namun tak bisa ia raih untuk menjadi teman hidupnya. Razzi mengusap matanya.
"Abba, ada Kak Razzi."
"Suruh duduk dulu, Ra. Abba cuci tangan dulu."
"Ya."
Rara kembali menemui Razzi. Tatapan mereka kembali bertemu. Ingin sekali Razzi mengungkapkan isi hatinya, namun ia tak mampu melakukannya. Tapi, sorot matanya menunjukkan isi hatinya. Sorot mata, yang bisa Rara pahami maknanya. Sekarang Rara tahu, kalau Razzi juga mencintainya. Tapi, semua sudah terlambat bagi mereka.
"Masuk, Kak Razzi. Rara harus sekolah, Assalamualaikum."
Rara meninggalkan Razzi. Razzi menatap Rara, ia merasa ada yang hilang. Tak ada lagi sikap ceria Rara.
'Rara, apa kamu juga merasakan, apa yang aku rasakan?'
"Razzi."
"Oh, Assalamualaikum, Paman."
Razzi mencium punggung tangan Aska.
"Terima kasih, karena kamu mau memenuhi keinginan Nininya Rara."
"Tidak perlu berterima kasih, Paman. Aku senang, bisa membuat Nini bahagia."
"Ya, Nininya Rara sangat bahagia."
Razzi hanya bisa tersenyum, di dalam luka hatinya.
BERSAMBUNG