Sudah dua hari, tetapi masih belum ada kabar juga dari Andra, membuat Cinta semakin khawatir saja. Ditambah lagi, tak ada satu pun pesannya yang dibaca pemuda itu, Andra seolah menonaktifkan ponselnya. Semua pesan yang dikirimnya masih bertanda centang satu dengan warna abu-abu.
"Lu masak atau mau melamun?"
Cinta tersentak. Beberapa detik dia gelagapan sebelum mematikan kompor. Asap tipis mengepul dari penggorengan, disertai aroma gosong yang pekat. Cinta mengibas-ngibaskan tangan mengusir asap, bibirnya mengerucut melihat ikan yang sudah berwarna hitam di dalam penggorengan..
Cinta meletakkan spatula ke atas penggorengan dengan sedikit keras. Menarik napas panjang, dan mengembuskannya dengan pelan melalui mulut, mencoba mengusir kesal yang kini tengah memenuhi dadanya. Dia kecewa pada dirinya sendiri. Ini adalah pertama kali dia gagal memasak setelah pandai melakukannya.
Cinta melangkah ke ruang tengah, mencari Andre untuk memberi tahu jika makan malam mereka akan terlambat. Dia harus memasak ulang. Pemuda itu tadi langsung meninggalkan dapur setelah menegurnya karena kedapatan melamun saat menggoreng ikan yang menyebabkan tidak bisa dimakan.
Namun, Cinta tidak menemukan Andre di ruang tengah. Di ruang tamu juga Andre tak terlihat. Ke mana pemuda itu pergi? Apa jangan-jangan Andre keluar untuk makan malam sendirian? Tak ada masalah untuknya, itu justru lebih baik karena dia tak perlu menunggu. Mungkin saja, 'kan Andre sudah lapar, dan tidak dapat menunggu lagi.
Dengan langkah gontai Cinta kembali ke dapur, membuka lemari pendingin untuk mengambil bahan makanan yang akan dimasak, menggantikan ikan cantik yang berubah warna menjadi hitam. Namun, dua tak menemukan apa pun di dalam lemari pendinginnya, stok bahan makanannya habis, dan dia lupa berbelanja.
Cinta lemas, hampir merosot jika tidak berpegangan pada pintu lemari pendingin. Tertatih dia melangkah menuju meja makan dan duduk di sana. Pantas saja Andre pergi keluar untuk makan, di rumah sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa digunakan untuk mengganjal perut. Bahkan sebutir telur pun tidak ada.
Bagaimana mungkin dia bisa sebodoh ini? Sekali lagi Cinta menyesali kebodohannya yang sudah lupa berbelanja kebutuhan sehari-hari. Semuanya karena Andra. Jika saja pemuda itu tidak langsung pergi tanpa memberi kabar sampai sekarang, tidak akan dia melupakan semuanya.
Cinta merebahkan kepala di atas meja, dengan kedua tangan yang terlipat sebagai bantalan. Dia menelungkup, sedetik kemudian bahu mungilnya berguncang. Saking kesalnya Cinta menangis. Dia kelaparan, di rumah tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Sementara untuk pergi keluar sekedar membeli makanan dia tidak berani. Tak ada kendaraan yang bisa digunakannya, dia juga tidak bisa mengoperasikan motor sekalipun.
Bunyi perutnya yang meminta jatah untuk diberi makan membaut air mata Cinta semakin deras. Dia kesal, kelaparan, dan sendirian. Sungguh merupakan paket komplit dari sebuah penderitaan. Cinta tergugu, dia lupa kapan terakhir merasakan lapar yang begini hebat. Sejak bertemu Andra dan menjalin hubungan dengannya sebagai sepasang kekasih, seluruh kebutuhannya dicukupi oleh pemuda itu. Andra juga yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi, termasuk saat berbelanja bahan.kwbutuhan sehari-hari.
"Makan!"
Suara itu terdengar bersamaan dengan suara benda diletakkan, di depannya. Cepat Cinta mengangkat kepala, tetapi segera ditundukkannya lagi setelah matanya bertemu dengan obsidian Andre yang juga tengah menatapnya dengan datar.
Pipinya terasa panas. Ini sangat memalukan, Andre mendapatinya menangis untuk kedua kalinya. Rasanya dia tak punya lagi keberanian untuk sekedar bertatap muka dengannya lagi. Hal yang tak mungkin terjadi karena Andre tinggal di rumahnya untuk menggantikan Andra.
Bukan, dia dan Andra tidak tinggal serumah, sedapat mungkin mereka menghindarinya sebelum menikah. Hanya kadang-kadang Andra menginap di rumahnya, tidur di kamar yang berbeda. Biasanya saat Andre tak ada di rumah mereka karena sibuk bekerja,.dan tidak pulang.
Itu yang sering dikeluhkan Andra padanya. Bukan Andra yang menginginkan perhatian dari saudara kembarnya, tetapi Andre yang terlalu sibuk sampai-sampai tidak peduli dengan kesehatannya sendiri. Kata Andra, waktu istirahat Andre sangat sedikit. Baru beberapa hari berada di rumah, Andre sudah pergi lagi. Yang lebih parah, terkadang Andre baru beberapa jam kembali sudah pergi lagi beberapa hari.
Entah sesibuk apa pemuda yang kembali meninggalkannya di dapur sendirian, sehingga nyaris tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Namun, sepertinya kali ini Andre memiliki waktu libur yang lebih panjang, yang digunakannya untuk menjaganya sesuai permintaan Andra.
Cinta meraih kantong plastik yang tadi diletakkan Andre di depannya. Membuka dan mengeluarkan isinya. Nasi kotak. Seketika perutnya bersorak melihatnya, Tanpa peduli Andre ada di dapur atau tidak, Cinta langsung memakannya sampai habis. Percayalah, saat seseorang kelaparan, terkadang rasa malunya terkalahkan oleh kebutuhan akan makanan.
***
Cinta bergerak gelisah dalam tidurnya. Bulir-bulir keringat mulai muncul di pelipisnya, padahal suhu udara cukup sejuk, atau bisa dikatakan dingin. Hujan turun lebat sejak dia memasuki kamar, membuatnya cepat-cepat menarik selimut, dan berusaha masuk ke dalam dunia mimpi sesegera mungkin.
Suara petir dan halilintar bersahutan di luar sana, menambah suasana menjadi sedikit menakutkan. Untung saja tidak disertai lampu padam, jika tidak penderitaan Cinta benar-benar lengkap. Dia takut akan petir, trauma. Entah karena kejadian apa, seingatnya berhubungan dengan keluarganya
Cinta terbangun bersamaan dengan suara petir yang kembali terdengar nyaring, seolah dekat dengan telinganya. Cinta menarik selimut sampai menutupi lehernya. Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya tersengal, keringat dingin tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga leher dan punggungnya.
Cinta menutupi telinga dengan kedua tangan, berusaha meredam suara petir yang bersahutan. Gemetar dia menyalakan lampu tidur, bayangan daun-daun yang bergoyang karena tertiup angin, di jendela membuatnya semakin meringkuk di dalam selimut.
Cinta sudah menangis sekarang. Dia benar-benar ketakutan. Biasanya, di saat hujan berpetir seperti sekarang ini, ada Andra yang selalu menenangkannya. Andra akan memeluknya sampai dia tenang dan tertidur. Namun, tidak ada Andra saat ini, atau Ibu panti tempatnya tinggal dulu. Hanya dua orang itu saja yang mengetahui tentang traumanya.
Cinta tinggal di panti asuhan sejak berusia delapan tahun setelah kedua orang tuanya meninggal. Mereka tewas karena tersambar petir, tepat di depan matanya. Saat itu hujan lebat, mereka bertiga baru pulang setelah dari membawanya ke pusat perbelanjaan untuk bermain. Mereka yang hanya mengendarai motor tentu saja kehujanan. Papa memutuskan untuk berteduh di bawah pohon saja agar tidak kebasahan. Mama menurutinya.
Itulah yang menjadi penyebab kematian mereka. Pohon itu disambar petir dan mengenai tubuh mereka. Sementara Cinta yang saat itu sedang bermain air hujan tanpa sepengetahuan orang tuanya yang tengah asyik membjacrakan sesuatu, selamat karena tidak berada di bawah pohon saat petir menyambar.
Sejak itu, Cinta jadi takut dengan petir. Tubuhnya berkeringat dan menggigil, napas menjadi sesak, bahkan terkadang dia berteriak memanggil kedua orang tuanya bersamaan dengan suara petir.
Itu yang terjadi saat ini. Saking ketakutannya, Cinta berteriak setiap kali petir berkilat menyambar. Suara teriakannya bahkan terdengar ke telinga Andre yang tengah berada di ruang tengah. Ia sedang melakukan transaksi bisnis dengan Tante Lita. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah tak lagi muda itu memintanya untuk menemani selama satu minggu dengan tarif yang fantastis.
Tentu saja Andre menerimanya. Kesempatan emas tak boleh disia-siakan. Tante Lita merupakan salah satu pelanggannya, sudah beberapa kali wanita itu menyewa jasanya untuk menghangatkan ranjangnya. Ini adalah transaksi yang kesekian, dan tidak akan ditolaknya. Tante Lita selalu membuatnya dengan harga yang sangat tinggi.
"Mama!"
Sekali lagi indra pendengarannya menangkap teriakan Cinta. Meskipun tersamar dengan suara hujan dan petir, suara itu masih terdengar jelas di telinganya. Penasaran, Andre bangkit dan melangkah menuju kamar Cinta, setelah mengakhiri obrolan melalui pesan dengan Tante Lita.
Andre menempelkan telinga di pintu kamar Cinta yang tertutup. Sekarang ia dapat mendengar semuanya dengan lebih jelas. Tak hanya suara teriakan Cinta yang bersamaan dengan suara petir, ia juga mendengar isakan.
Apakah Cinta menangis? Namun, kenapa? Apa sampai sebegitunya Cinta merindukan Andra sehingga menangis malam-malam seperti ini?
"Mama!"
Andre menjauhkan telinganya dari pintu mendengar teriakan itu. Teriakan tertahan karena disertai isakan. Entah mengapa Andre merasa khawatir, padahal sebelumnya ia tak pernah peduli pada orang lain selain adik kembarnya.
Tanpa mengetuk, Andre membuka pintu kamar Cinta, dan masuk begitu saja tanpa permisi. Tubuh mungil yang tertutup selimut itu bergetar, mata terpejam, kedua tangan menutupi telinga. Andre yakin Cinta seperti ini bukan karena dia merindukan saudara kembarnya, melainkan karena takut dengan petir.
Tak ada yang dilakuin Andre selain mengamatinya. Beberapa menit berlalu, Andre hanya diam melihat Cinta yang selalu berteriak bersamaan dengan suara petir. Ia tidak tahu harus melakukan apa.
Tubuh mungil itu menggigil. Andre sedikit panik, ia tidak tega. Entah bagaimana sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk bergabung bersama Cinta di tempat tidurnya. Dengan masih mempertahankan tatapan datarnya, Andre memeluk tubuh berbalut selimut tebal itu.
Ajaib! Reaksi Cinta di luar dugaannya. Perlahan, tubuhnya yang menegang menjadi mengendur, Cinta tak lagi gemetar dan menggigil. Napasnya pun mulai teratur. Tangan yang tadi menempel di telinga, sekarang turun di sisi tubuhnya. Hanya terdengar suara isak yang tak lagi kentara, tak ada lagi tangis. Air mata Cinta juga sudah tak lagi merembes melalui celah kelopak matanya yang terpejam.
Andre menaikkan sebelah alisnya. Apa yang terjadi? Apakah Cinta terbiasa seperti ini? Maksudnya, selalu dipeluk saat terjadi hujan berpetir. Andre mengembuskan napas melalui mulut, sepertinya malam ini ia akan berada di sini sepanjang malam.
***
Pagi masih diselimuti mendung, matahari belum menampakkan diri karena tertutup awan abu-abu tipis. Namun, suara kicauan burung tetap menyemarakkan pagi. Titik-titik embun berjatuhan dari dedaunan setelah terkumpul menjadi tetes air.
Pagi yang dingin, tetapi tidak bagi Cinta. Rasanya hangat, seperti berada di bawah siraman matahari pagi. Ditambah dengan aroma kayu manis dan hutan Pinus yang memanjakan indra penciumannya, membuatnya semakin sulit untuk membuka mata. Daripada terjaga, Cinta malah semakin merapatkan tubuhnya pada sesuatu yang menjadi sumber kehangatannya.
Namun, tak berlangsung lama. Mata bulatnya langsung terbuka setelah menyadari apanyang terjadi tadi malam. Hujan, petir, dia menangis ketakutan, dan meringkuk di balik selimut karena trauma masa kecilnya yang sangat takut akan petir.
Tadi malam itu dingin, hujan sangat lebat. Cinta yakin pagi ini juga akan dingin. Namun, kenapa dia tudak merasakannya? Kenapa dia justru merasakan sebaliknya?
Mata bulat Cinta mengerjap. Dari posisi tidurnya yang menyamping ke arah kiri, pemandangan yang dilihatnya pertama kali saat membuka mata, sangat tak biasa. Pemandangan ini berbeda dari sebelumnya. Sudut pandangnya menjadi menyempit, dia juga tak bisa bergerak. Baru saja Cinta menyadari, bagian kaki dan pinggangnya terasa berat.
"Lu cuma habis bangun tidur, bukan seseorang yang baru bangun dari koma. Gue yakin lu masih ingat apa yang terjadi sama lu tadi malam."
Suara dingin itu terdengar menusuk di telinga Cinta. Cepat dia mendongak, mencari tahu pemilik suara, dan harus menahan napas setelah mengetahui siapa yang tadi berbicara.
Jantung Cinta melakukan lompatan salto di rongga dadanya, dan mendarat dengan sempurna. Debarannya begitu terasa, membuat seluruh tubuhnya bergetar. Tak hanya itu, pipinya juga terasa panas, dia yakin warna merahnya sempurna. Cinta sangat ingin memalingkan muka, atau setidaknya mengembalikan kepalanya ke posisi semula agar matanya tak lagi bersirobak dengan mata elang yang bersinar tajam itu. Apakah semalaman Andre memeluknya? Pantas saja rasanya sangat nyaman, dia tak lagi ketakutan dan tidur dengan nyenyak.
Eh, apa?
Astaga, apa yang dikatakan hatinya? Cinta berusaha menggelengkan kepala, tetapi tak dapat melakukannya. Lehernya kaku, tak dapat digerakkan. Bahkan saat Andre menunduk dan mendekatkan wajahnya. Dia tak bergerak.
Jantung Cinta seakan berhenti berdetak, seolah lepas dari tempatnya. Benda kenyal dan hangat menempel di bibirnya, mengecup pelan dan hati-hati. Mata bulat Cinta melebar sedetik, di detik berikutnya terpejam menikmati lumatan lembut di sepanjang garis bibirnya.
Kelembutan yang tak bertahan lama. Lumatan itu berubah menjadi liar dan menuntut beberapa detik setelahnya. Cinta gelagapan, indra pengecap Andre berada di dalam mulutnya. Entah bagaimana dan kapan, dia tak menyadarinya, tahu-tahu mulutnya sudah dipenuhi benda lunak itu.
Cinta mengerang tertahan. Ciuman ini berbeda dengan ciuman yang biasa diberikan Andra. Ciuman Andre lebih menuntut dan sedikit kasar.
Andre?
Cinta membuka mata. Tatapannya bersirobak dengan obsidian yang bersinar tak terbaca. Tangannya berusaha mendorong bahu Andre yang sekarang sidah berada di atasnya, dia juga mencoba menggerakkan kepala, menolak ciumannya. Namun, apalah tenaga seorang gadis sepetinya yang dengan petir saja dia takut. Tubuhnya melemas seiring Andre menyesap lembut bibirnya. Matanya kembali terpejam, tangannya merosot. Percuma juga mendorong, Andre bahkan tidak bergerak, posisinya masih sama.
"Bibir lu manis, gue suka."
Cinta belum dapat mencerna kalimat itu, Andre sudah kembali membungkam bibirnya dengan ciuman yang lebih panas. Dia bahkan belum menghirup udara untuk menambah pasokan oksigen di dadanya, yang menipis. Sekali lagi Cinta mendorong bahu Andre, menggunakan seluruh tenaganya yang tersisa. Jika Andre tak juga melepaskan bibirnya, dia akan pingsan.
Cinta menghirup udara rakus begitu Andre melepaskan bibirnya. Dia terengah, dadanya naik turun dengan cepat, seiring tarikan napasnya. Detak jantungnya menggila, Andre masih berada di atasnya, menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikannya. Ibu jarinya mengusap bibir bawahnya.
"Ucapan makasih karena gue udah nolongin lu tadi malam."
Cinta mengerjap beberapa kali. Andre turun dari atas tubuhnya, melangkah keluar seolah tak pernah terjadi apa-apa. Cinta mengusap bibirnya. Astaga, apanyang sudah mereka lakukan?