"Apa, sih, fungsi dari senyuman?
Benarkah senyum seringkali digunakan sebagai pencitraan rasa bahagia?
Mungkin pula cuma sekadar kamuflase penutup lara?
Di sana kamu bersuka ria.
Di sini ada hati yang kamu patahkan, tengah berduka cita.
Lalu ... bagaimana aku bisa percaya cintanya seorang pria?"
CEISYA Z. REYES
⠀
Ceisya melangkah mundur ketika mendengar suara derap kaki menuju pintu kamar. Dari gerakannya, terdengar jelas kalau itu adalah langkah Daddynya. Dengan cepat Ceisya berlari menuju kamarnya. Ia menunggu hingga suara langkah itu menghilang. Mengintip ke luar jendela. Benar saja, tidak lama berselang, mobil Daddy keluar dari garasi.
Huh.
Lagi, Daddy pergi dari rumah. Bukannya menyelesaikan masalah, Daddy malah lari dari tanggung jawabnya. Ceisya menyentuh dadanya yang terasa begitu sakit.
Ia melangkah menuju kamar orang tuanya. Suara isak tangis Mommy masih terdengar lirih dari dalam kamar.
Ceisya membuka pintu. Menyaksikan Mommy yang tengah mengumpulkan serpihan beling bekas guci. Wanita paruh baya itu terperanjat kaget saat melihat Ceisya sudah berada di dalam kamar. Tanpa sengaja tangannya tergores pecahan beling. Darah segar seketika meluber menetesi lantai.
Dengan cepat Ceisya melangkah mendekati Mommy. Menarik tubuh Mommy, menjauh dari sisa-sisa kemurkaan Daddy.
"Ayo kita ke kamar Ceisya aja, Mom," ucap Ceisya prihatin. Menatap mata sendu yang bengkak karena air mata. Ia mengusap permata bening di pipi Nyonya Clara. Merasa begitu iba terhadap Mommynya.
Sebenarnya ada apa di antara Mommy dan Daddy? Kenapa Daddy tega bicara sejahat itu?
Nyonya Clara tersenyum pahit. Berusaha sekuat mungkin menghentikan derai tangisnya. Putrinya tidak perlu tahu alangkah berat duka lara yang ia tanggung selama ini. Betapa besar rasa kecewanya pada sang suami. Ia tak ingin Ceisya ikut menanggung beban batin yang ia derita.
Ceiya menarik tubuh Nyonya Clara untuk berdiri, lalu memapahnya menuju kamarnya. Ia sempat memanggil Bik Narsih untuk membereskan pecahan guci di kamar orang tuanya, kemudian mengambil kotak P3K. Mengobati luka di tangan Mommy dengan telaten.
Entah luka hatinya yang terlalu dalam dan menyakitkan, sampai-sampai Nyonya Clara tidak merasakan ketika sisa beling di jarinya dicabut oleh Ceisya. Wanita itu sudah berhenti menangis memang, tetapi Ceisya tahu, mungkin dalam hati, Mommy sedang menjerit pilu. Ceisya hanya sanggup mengobati luka fisik, bukanlah luka hatinya. Hati Mommy, hanya Daddy yang bisa obati.
⠀
Makan malam mereka berdua diantarkan oleh Bik Narsih ke balkon kamar Ceisya. Mereka duduk berdua di teras balkon sambil memandang bulan yang tertutup awan di langit sana. Mereka makan sambil Ceisya bercerita tentang kesehariannya di kampus. Lalu bagaimana anak-anak Panti menyambutnya siang menjelang sore tadi. Semua yang ia ceritakan tidak ada kaitannya dengan kesedihan Nyonya Clara.
"Apa kamu sudah bertemu dengan adikmu?" tanya Nyonya Clara.
"Ya."
"Dia mau ikut bersama kita, 'kan?"
"Ya, dia bersedia. Dia juga memberiku kado ulang tahun."
"Oh, ya? Ulang tahunmu 'kan masih lama," ucap Nyonya Clara sedikit heran. Tapi ia memilih mengangkat bahu. "Mana? Coba Mommy lihat," lanjutnya lagi sambil tersenyum penasaran.
Ceisya masuk ke dalam kamar, kemudian kembali dengan membawa tote bag, mengeluarkan isinya.
Nyonya Clara berseru kagum melihat ukiran kayu di tangan Ceisya. Ksatria berkuda hitam.
"Jangan bilang adikmu sendiri yang mengukirnya. Dia tidak mungkin punya cukup tabungan untuk membeli benda mahal ini, 'kan?" Nyonya Clara membolak-balikkan, serta mengelus permukaan ukiran. "Kenapa dia menyerahkan kado ini terlalu cepat?"
"Karena pria yang mengajarinya membuat ukiran menyuruhnya menyerahkan kado ini segera. Takutnya kejadian tahun lalu, waktu Zicho menyerahkan kado untukku, Daddy malah menghancurkannya. Jangan sampai hal menyedihkan itu terulang kembali. Kasihan Zicho."
Nyonya Clara mengangguk paham. "Tunggu. Siapa pria yang mengajarinya mengukir?"
Ceisya menceritakan pertemuannya dengan Zicho. Betapa Zicho sangat mengagumi pria yang banyak menolongnya. Sosok yang menjadi teladannya.
"Dia bahkan menjadikan pria itu sebagai model ukiran kayu ini. Berdoa semoga aku mendapatkan jodoh pria yang tampan, cerdas, kuat dan sebaik pria itu," tandas Ceisya.
Ibu dan anak itu saling berpandangan, lalu tertawa bersamaan.
"Dia sudah memikirkan siapa jodohmu di usianya yang masih 15 tahun," komentar Nyonya Clara di sela-sela tawanya. "Kalau memang pria yang mengajarinya masih muda, tampan, cerdas, kaya, baik hati seperti itu, kenapa bukan model ukiran ini saja yang menjadi suamimu nanti," ceplos Nyonya Clara lagi.
"Mommy ...," Ceisya merengut. "Kita tidak tahu siapa sesungguhnya pria itu. Bagaimana kalau ternyata dia pria yang berbahaya? Pria itu bahkan tidak mau identitasnya di ketahui dengan alasan menjaga privasi. Aku tidak bisa begitu saja percaya."
Nyonya Clara menangkup wajah Ceisya. Hadiah Zicho ini telah menjadi pengingat baginya, bahwa putrinya suatu saat nanti akan pergi mengikuti suaminya dan meninggalkan Mommynya. Seandainya Adam mencintainya, bayangan masa tuanya tentu tidak akan terasa sepi dan sesuram itu, batin Nyonya Clara pilu.
"Mommy rasa, adikmu tidak akan sembarangan menilai seseorang. Dia sejak kecil selalu membatasi bergaul dengan orang-orang tertentu. Tidak mudah memberi kepercayaan terhadap orang lain. Tapi kali ini, sepertinya berbeda.
Semoga pria yang Zicho temui, benar-benar orang yang baik."
Ceisya mendesah lelah, menekuk lututnya. Memandangi bulan yang semakin tertutup awan. Suhu mulai semakin dingin.
"Sejujurnya aku sangat takut dengan yang namanya pernikahan."
Nyonya Clara memeluk pundak putrinya.
"Apa ini karena kamu melihat pernikahan Mommy dan Daddy?" ujar wanita itu lirih.
Ceisya hanya terdiam.
"Ketika kamu melihat pernikahan yang buruk, memohonlah perlindungan pada Tuhan agar dihindarkan dari takdir buruk itu. Tetapi, saat kamu melihat pernikahan yang bahagia, maka kembalilah memohon pada Tuhan agar dia memberikan takdir yang bahagia untukmu juga.
Jangan minta bahagia seperti mereka. Kamu tidak tahu perjuangan di balik kebahagiaan itu. Banyak juga pasangan yang terlihat bahagia di depan publik, tetapi ternyata hancur-hancuran dari dalam."
Ceisya meresapi perkataan Mommy. Merasa bahwa Mommy sedang membicarakan pernikahannya sendiri. Pernikahan dengan kebahagiaan semu.
"Kenapa Mommy masih bisa tersenyum di hadapan orang lain, bahkan aku, ketika sebenarnya Mommy ingin menangis?"
Nyonya Clara menghempaskan napas berat.
"Ada hal-hal yang dinamakan 'aib' yang harusnya disembunyikan dari semua orang. Kalau Mommy tidak bisa mengendalikan emosi dan raut wajah Mommy di hadapan orang lain, orang akan bertanya dan berspekulasi yang bukan-bukan. Apalagi keluarga kita, khususnya Daddymu dan kamu sangat dikenal orang. Cukup mereka tahu kita bahagia. Itu saja. Jadi, mereka tidak akan mengeluarkan komentar atau gosip yang memperburuk keadaan keluarga kita."
"Daddy sudah sangat luar biasa menyakiti Mommy. Berselingkuh dan bermain dengan wanita mana pun yang dia suka. Bahkan Zicho sendiri ...."
"Ssshhh ...!" Nyonya Clara menghentikan ucapan Ceisya. "Zicho tidak ada hubungannya dengan kesalahan Daddymu. Dia hanya anak tak berdosa yang harus menanggung beban karena kesalahan orang tuanya. Lupakan saja."
Sungguh sulit dipercaya. Seberapa luas sebetulnya kesabaran Mommy, tapi Daddy malah menyia-nyiakannya. Harusnya Daddy bersyukur memiliki Mommy di hidupnya.
"Kenapa Mommy tidak mengajukan gugatan cerai saja? Daddy sering kali membentak dan berlaku kasar pada Mommy."
Nyonya Clara menatap Ceisya dengan tatapan menegur.
"Daddymu senang berselingkuh. Suka bermain-main dengan wanita nakal. Dia memang kasar dan sering kali membentak. Ketika marah juga suka memecahkan barang-barang.
Tapi apa kamu tahu, selama kami menikah, dia TIDAK pernah sekali pun menampar atau memukul Mommy. Mencubit pun tidak. Begitu dia benar-benar murka, dia pasti akan pergi dari rumah dan pulang dalam keadaan yang jauh lebih tenang."
Ceisya menyentuh dadanya yang terasa begitu sakit. Sungguh terlampau dalam cinta Mommy pada Daddy. Mommy masih bisa bicara kebaikan Daddy di saat hatinya sangat terluka. Mata Ceisya mulai berkaca-kaca.
"Yang terpenting dari semua itu, dia mencintaimu dengan tulus sebagai putrinya. Itu sudah cukup buat Mommy. Mommy yakin, suatu saat nanti ... Daddy pasti akan berubah."
Mana ada orang yang begitu saja berubah sifat dan tabiatnya. Apa harapan Mommy tidak terlalu tinggi? Ceisya tahu bagaimana perangai Daddy sejak ia kecil. Ceisya hanya bisa meng-aamiin-kan harapan Mommy tadi dalam hati.
Air mata Ceisya menetes. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana jika dirinya berada di posisi Mommy. Ceisya rasa ia tidak akan kuat untuk tetap bertahan dalam toxic relationship seperti itu. Puluhan tahun pula.
Nyonya Clara memeluk putrinya. "Jangan menangis, sayang. Nanti pasti semua yang tidak menyenangkan akan berlalu. Semua akan berganti bahagia.
Mommy harap, suatu saat Ceisya juga akan mendapat kebahagiaan Ceisya. Mendapat pernikahan yang sempurna. Punya suami yang luar biasa cintanya untukmu."
"Aamiin."
"Aamiin."
Ceisya memeluk Mommy erat. Merebahkan kepalanya di pundak Mommy. Ia ingin selalu bersama Mommy. Memberi kebahagiaan untuk wanita itu. Dia tidak akan meninggalkan Mommy. Ceisya tahu ia tidak akan bisa membenci Daddy, karena seperti yang dikatakan Mommy tadi, Daddy sangat menyayanginya. Kasih sayang itu sama sekali bukan rekayasa. Hanya saja, Ceisya membenci perlakukan Daddy pada Mommy.
Masih ada beribu pertanyaan yang belum bisa Ceisya tanyakan. Pertanyaan itu bisa menghancurkan Mommy dan Ceisya tidak mau menambah beban pikiran Mommy lagi. Betapa besar rasa ingin tahu Ceisya, apa alasan Daddy begitu membenci Mommy dan keluarga besar Mommy? Apa maksudnya Mommy pernah mengkhianati Daddy?
Ceisya membelai wajah Mommy.
"Ceisya pernah dengar, kata orang, kalau pria suka menyiksa dan mempermainkan wanita, jika dia punya seorang putri, besar kemungkinan putrinya juga akan menderita hal serupa."
Mommy mendelik. "Orang bodoh mana yang bicara seperti itu?!"
"Mereka bilang namanya karma."
"Tidak ada karma! Doa Mommy yang akan melindungimu dari semua nasib buruk. Kamu adalah istri yang paling dicintai suamimu nanti."
"Paling? Berarti dia punya istri lainnya yang kurang dicintainya dibanding aku?" canda Ceisya.
"Ini bukan lelucon, sayang. Jangan sampai malaikat menjawab ucapanmu." Nyonya Clara menghempaskan napas, menggelengkan kepala. "Ayo masuk ke dalam, sudah malam. Jangan sampai masuk angin," omel Nyonya Clara.
Ceisya hanya cengengesan mengikutinya.
⠀
Aqila Craft Room^
"Ceis ..., loe udah denger belum. Andra udah nggak kuliah di kampus kita lagi, loh!" cetus Lica saat ia bergabung duduk di karpet bulu ruang kerja Aqila. Menggeser tali temali dan kardus packing jualan Qila.
Ceisya dan Qila yang tengah memberi label pada produk mereka sama-sama terperangah.
"Jangan bilang loe nggak tahu, Ceis. Dia 'kan cowok loe."
Ceisya menundukkan wajah. Ia sama sekali tidak tahu. Ia sudah mencoba menelepon, mengirim pesan sms dan chat, meminta penjelasan alasan kenapa Andra ingin mereka putus. Tapi pria itu tidak membalas. Teleponnya bahkan tidak bisa dihubungi. Ia juga tidak pernah terlihat online lagi.
"Gue udah putus sama Andra."
Kedua sahabatnya kontan menjerit histeris.
"Sejak kapan?" Aqila tampak begitu emosi.
"Sudah tiga hari yang lalu," jawab Ceisya lemah.
Kedua sahabatnya saling kerling, lalu menatap Ceisya sendu.
Lica mengernyit. "Gue perhatiin kisah percintaan loe kok ngenes mulu, ya. Gue sih cuma sekali kena prank cowok rayuan pulau kelapa. Nah loe Ceis, ini sudah yang kesekian kalinya. Kok bisa?!"
"Mana gue tahu." Ceisya mengangkat bahu.
"Ini aneh, loh. Waktu kita SMA, loe pernah jadian sama kapten tim basket, lalu tiba-tiba itu cowok dapat beasiswa bergabung di klub basket profesional. Loe akhirnya ditinggal tanpa pesan," ucap Lica berapi-api.
"Bener juga loh. Trus ada si Fathur, anak OSIS. Tiba-tiba pindah juga dengan alasan sekolah ke luar negeri sambil ngobatin Ibunya yang sakit tumor. Padahal Ayahnya udah nggak ada. Dari mana dia bisa dapat uang, yak? Dia 'kan nggak pinter-pinter amat buat dapet beasiswa. Tajir juga nggak," cecar Aqila.
"Ditambah lagi si Haris. Baru PDKT aja udah hilang. Gue denger dia digebukin sama siapa gitu. Sekarang Andra. Apa alasannya Andra minta putus?"
Ceisya mendesah lelah. "Dia bilang nggak cocok sama gue. Kita temenan aja."
"Alasan klise!" Lica menyilangkan tangan ke d**a. Gadis berambut hitam bergelombang itu tampak luar biasa kesal. "Bilang aja dia sudah punya cewek lain!"
Aqila terkikik. "Tseeh ... yang keki karena diselingkuhin!"
Lica menjitak kepala sahabatnya, membuat Aqila merengek mengusap-usap kepalanya. Ceisya hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan mereka berdua.
Sejujurnya, daripada mengkawatirkan tentang mantan pacar yang raib tanpa kabar, Ceisya lebih cemas dengan masa depan dan pernikahan. Bagaimana bisa ia mempercayai lelaki kalau contoh di hadapannya adalah Daddynya dan barisan mantan yang tidak bertanggung jawab. Ada juga Ceisya di-ghosting^^ mulu sama mereka.
Ceisya memandangi foto ksatria berkuda hitam yang ia jepret lewat handphone-nya tadi pagi. Mempostingnya di akun instalkgram-nya dengan caption:
⠀
❝Mysterious knights with black war horses.^^^
Terlalu banyak pujian justru mencurigakan. Buatku dirimu tak lebih sekadar Pangeran Kegelapan.❞
⠀
"Hei! Post apa?" Lica merebut ponsel di tangan Ceisya. "Pangeran Kegelapan dengan kuda perang hitam. Loe punya gebetan lain, ya?"
"Mana mungkin!" Ceisya merebut ponselnya kembali.