KAMAR HOTEL NOMOR 225

1409 Kata
Pov. Ramajati Gadis yang berkomunkasi dengan Cimen itu adalah Layla Asmara Gia. Dia menungguku dalam balutan baju haram bewarna merah yang mempertontonkan hampir semua bagian tubuhnya. Aku tidak mau menggambarkannya secara detail. Aku terlalu menghargainya. Lela berlari ke dalam kamar mandi sesaat setelah dia mengenaliku. Sementara aku, dengkulku lemas, aku sampai harus berpegangan pada tembok sembelum duduk termenung beberapa saat, berusaha memahami keadaan ini. Aku terus berbisik ini mimpi-ini mimpi tapi ini kenyataan, hotel ini nyata, kamar remang-remang ini nyata. Lela dalam bayanganku telah memiliki karir yang hebat, dia sedang membina rumah tangga yang diimpikan semua orang, pastinya tidak sebobrok rumah tanggaku. Lela dalam bayanganku telah memiliki anak-anak yang lucu seperti dirinya. Lela yang ku bayangkan bukan gadis berbaju haram yang menjual kesuciannya pada laki-laki b******k lewat situs kencan online. Euforia macam apa yang kurasakan setelah rindu belasan tahun yang kujalani ? Selama ini aku mencari Lela, tapi dia lenyap, di sosial media jenis apapun, di mesin pencari manapun aku tetap tidak bisa menemukannya. Ini gak adil, sedangkan aku ? Dia hanya tinggal menyebutkan namaku maka semua aibku akan bermunculan di internet. Suara dering telpon menyadarkanku dari bengong. Aku meraba kantong di dalam jaketku. Cimen. "Bos sorry banget gue ganggu ya ?" Aku tidak menjawab "Ini Agni ngirimin bukti transfer sepuluh ribu dollar ke rekening virtual Atas nama Layla Asmara" Dia berdaham "Jadi kalau tu cewek nodong lu lagi jangan mau bos" Gue menata perasaan gue, mengulur nafas dan menghembuskannya "Men, tinggalin mobil di parkiran. Lo balik naik taxi" "Cah lamak nih.." Belum selesai Cimen bicara aku mematikan telponnya. Lima belas menit berlalu Lela belum keluar juga dari kamar mandi. Aku menguatkan perasaanku yang membuncak. Pertanyaan telah berbaris di belakang start, balapan untuk bisa keluar dari mulutku. Kira-kira ada lima ratus pertanyaan. Aku berdiri dengan gelisah di depan pintu kamar mandi, perasaanku masih saja belum karuan. Aku berusahan mengatur nafas, memejamkan mata. Lalu coba kulikaskan senyumnya dikala kami SMA, lesung pipi dan kawat giginya muncul di benakku. Aku tersenyum, lalu ku ketuk pintu kamar mandi. Tok Tok... "Bisa kita bicara ?" Dia tidak menjawab "Lela.." panggilku Lela membuka pintu kamar mandi. Hatiku ngilu melihat sorot matanya yang berkaca-kaca dalam suramnya lampu hotel itu "Namaku Layla" Dia menghapus sebutir air mata yang mengalir di pipinya. "Bisa kita bicara ?" tanyaku takut takut Dia menggeleng. Pakaiannya sudah rapi. Kemeja putih dan bawahan coklat, dengan tas bahu yang besar "Tidak ada yang perlu kita bicarakan" Apa maksudnya ? Aku punya ribuan pertanyaan untuknya. Aku meraih tangannya "Please" ucapku memelas "Please" ulangku penuh kesungguhan. "Aku mau balik. Sepuluh ribu dollarmu aku kembalikan setelah Hpku selesai ku cas" "Padahal aku punya banyak pertanyaan" Dia menarik tangannya dengan kasar. Dia melangkah melewatiku. Aku terpantik. Aku menarik tas selempangnya dan melempar benda itu ke tembok dengan sekuat tenaga. Aku mendengar benda jatuh mengantam lantai hotel. pakaiannya, semua barang barangnya berhamburan di lantai. Tatapan nanarnya membuatku merasa bersalah. Aku memang tidak bisa menahan diriku. Aku kehilangan kontrol. Dialah pemantik semuanya. Iya dia. Iya kamu Lela. "Aku bilang akan kukembalikan sepuluh ribu dollarmu !" "Demi Tuhan Lela bukan uang masalahnya" aku menakan kata-kataku. Tidak sanggup melihat tatapannya yang kembali berkaca-kaca. "Memang. Memang tidak penting uang bagimu. Aku tahu. Ya aku tahu" suaranya putus putus dan dia sudah menangis. Dia berjalan melaluiku, merapikan barang-barangnya. Di antara semua barang-barang yang berserakan aku melihat gantungan kunci globe kecil yang pernah kuberikan untuknya. Sudut di hatiku merayakan keberadaan benda itu, dia masih menyimpannya. "Ceritakan apa yang terjadi padaku ?" Dia tidak menjawab, aku mendengar helaan nafas yang kuat kuat dihembuskannya. Ini berarti bukan hanya aku yang merasakan amukan emosi atas pertemuan yang tak terduga ini. "26 Oktober 2011. Kenapa kamu gak datang ? Kenapa tiba-tiba setelah hari itu kamu seperti ditelan bumi ?" Pernahkan sekali saja kamu mencoba mencariku seperti aku yang berusaha menemukanmu ?, tapi sisa pertanyaan hanya sampai ujung lidahku. Setelah semua barangnya dia punguti, Lela buru-buru meninggalkanku. Tidak satupun dari pertanyaanku dijawabnya. Dia menghempaskan pintu kuat-kuat dan aku mendengar suara sepatu kerja yang menjauh. "AAAAAA" aku berteriak mengacak acak rambutku. Kenapa aku selalu setolol ini kalau berurusan dengan dia ? Aku melihat pulbennya terjatuh dekat kakiku, PT. Astrio Komukasi Praya. Praya adalah Kota Kecil dimana kami berasal. Detik itu aku tahu dia bekerja di sana. Dan dia terbang ke Jakarta untuk sepuluh ribu dollar, untuk menginap di hotel murahan ini dan untuk kehilangan harga dirinya. Pasti dia sedang membutuhkan uang, kalau tidak dia tidak mungkin melakukan ini. Lalu bagaimana kalau dia menawarkan hal yang sama pada orang lain ? TIDAK ! Aku menggelengkan kepala kuat-kuat tidak ingin dia berakhir dengan laki laki lain. Ini adalah kesempatanku mengembalikkan keadaan, membantunya, menyelamatkannya dari siapa saja, aku ! Tuhan mengirimnya padaku. Aku ! Aku mengambil langkah lebar meraih topiku. Aku membuka pintu hotel, aku berlari. Sampai di depan Lift. Lift masih tertahan di lantai dua. Aku tidak sabar menunggu. Aku berlari ke tangga darurat dan menuruni anak tangga dengan langkah-langkah lebar. Aku membuka pintu tangga darurat lantai dasar. Dia di sana. Di lobi sedang menunggu Taxi. Aku berlari menghampirinya. Terengah-engah aku menarik tangannya Dia kaget, dia melihat ke kanan dan ke kiri. Aku melepaskan topiku. membungkuk menompang diri di pahaku. Aku lelah sekali menurni anak tangga, harusnya ngegym lagi nih "Jangan...hmmh..." Alisnya berkedut. Aku menelan ludah. Berusaha mengatur nafas, agar irama jantung dan otakku tetap sejalan, tetap bernafas dan tetap hidup. "Jangan dikembalikan. Let's do it. Seperti tujuan awal mu kemari" Tanganku masih menahan tangannya. Kenapa dulu begitu sulit berpegangan seperti ini. Kini kulitku menyentuh kulitnya, kini telapak tanggannya menyapu telapang tanganku. Kenapa dulu begitu sulit ? Kenapa setelah belasan tahun, aku baru bisa menggenggam tangannya. *** Kami kembali ke kamar hotel 225. Dia duduk di ujung ranjang dan aku di ujung ranjang lainnya. Dia bodoh dan t***l kan soal beginian ? ya, aku teringat Cimen bilang dia perawan. "Pernah ciuman ?" tanyaku Dia menggeleng. Aku mengangguk canggung. Berusaha memahami gadis yang hampir tiga puluh tahun tapi belum pernah berciuman ? Lalu teringat diriku bagaimana culunnya dia dulu. Semuanya kini terasa wajar. Kalau dia belum pernah ciuman kemungkinan besar dia belum pernah punya pacar. Dan bodohnya dia menjual..., ah ! Aku gak sanggup untuk mengucapkannya. Aku merasa jadi laki-laki paling jahat. Bagiamanpun hanya aku yang bisa menolongnya, dia bisa jatuh kepelukan laki-laki yang salah. Dia bisa mengalami trauma panjang. Terbangun di tengah malam, merasa jijik dengan dirinya sendiri. Aku tidak mau dia seperti itu. Tadinya aku ingin membuat perjanjian agar dia berhenti melakukan ini atau apasaja yang bisa jadi jalan keluar masalahnya. Lela tidak mau menceritakan apa yang terjadi, hal itu membuatku kesulitan membuka ruang diskusi antara kami. Aku juga tidak ingin melukai egonya, aku tidak mau dia pergi lalu kembali hilang. Anggap saja ini satu satunya jalan untuk saat ini. Sungguh, aku ingin pertemuan kembali kami lebih indah, tapi Takdir yang dibentuk Tuhan seperti ini. Dalam kamar hotel nomor 225. Aku menghela nafas dan menghembuskan ke langit. Aku menoleh melihatnya tertunduk. Dia memangku tas selempangnya yang besar. Aku berdiri dan berjalan mendekatinya. Aku berdiri di hadapannya. Dia meremas tasnya. Aku tahu dia tegang dan takut. Aku bersimpuh di hadapannya "Mau apa ?" tanyanya suaranya ketakutan sekali. Semua ini menjelaskan betapa tidak siapnya dia dengan situasi seperti ini. Gue sayang sama lo Lela, gue gak mungkin nyakitin lo, jangan takut. Ingin sekali gue bisikkan kata kata itu. Gue sadar, gue selalu begok di depan dia. Terkadang lidah gue jadi kelu seperti sekarang. Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku membuka sepatunya berlahan. Nyeri di hatiku ketika kulihat sudut sepatu kerja yang terkelupas dan sol sepatu yang hampir saja lepas. Apa yang dihadapinya ? Sesulit apa hidup yang dijalaninya setelah dia menghilang ? Kenapa untuk beli sepatu yang layak saja tidak bisa dilakukannya. "Lela" "Namaku Layla" dia mengoreksi "Aku akan pelan-pelan" Kesunyian lagi. Aku melihat kakinya yang putih. Kukunya diwarnai dengan pancar. Dia gak bisa beli kutek juga ? Lalu aku kaget waktu dia menyentuh pipiku, mengelusku dengan telunjuknya. Mata kami bertemu dan kami mencoba berkomunikasi hanya dengan tatapan. s**t ! s**t ! Gadis ini masih saja menggoda imanku. Dia bermata sayu, memiliki lesung pipi yang mudah sekali terlihat di pipinya, dia berwajah oval, dia berdagu bundar, dagu itu akan berkerut apabila dia sedang manyun. atau... mengigit bibirnya seperti sekarang. Dia keliatan tidak yakin harus melakukan apa. Kedua tangannya menyentuh pipiku. Bulu matanya lentik, mengerjap menyapu pipinya yang merona. Dia menunduk mendekatkan wajahnya, wangi nafasnya membuyarkan akal sehatku. Bibirnya penuh berwarna pink tanpa lipstik. Dia menyentuh bibirku dengan bibirnya. Anjiying... Dia gak bisa ciuman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN