Pov. Layla
MOS diakhiri dengan memilih kegiatan tambahan setelah pulang sekolah atau exschool. Aku mengikuti Olimpiade Fisika, Matematika dan Debat karena tidak tertarik dengan hal-hal yang yang mengandalkan tenaga dan kekuatan. Kelebihanku hanya belajar.
"Olimpiade ? cih"
Aku menengadah melihat si Oranye lagi di sebelahku, menghakimi apa yang kutulis pada formulir yang dibagikan kakak-kakak Osis
"Ikut basket aja biar gak cupu lagi" semburnya, di belakangnya sahabat-sahabatnya menertawai aku.
"Kamu aja ikut rois sana. Biar baikan dikit ahlakmu. Dasar Goku"
"Ye kawat.., kawat rel kereta no lo pasang sekalian di gigi lo" semburnya
Aku kesal. Aku kesal karena tidak bisa membalas. Mataku berkaca-kaca. Aku pergi dari kelas. Kenapa sih Rama ngeselin ? Dari apa manusia macam dia diciptakan ? Tuhan jauhkanlah aku dari Rama..., gak suka soalnya.
***
Aku pulang ke rumah dengan muka bete. Aku cerita sama mama soal Rama. Mama adalah ibu terbaik di seluruh jagat raya sekaligus sahabat terbaikku. Walaupun sepintar Albert Ainsten mama memilih jadi ibu rumah tangga, untuk ada di setiap proses anaknya. Mangkanya aku bilang dia mama yang hebat. Dia selalu menunggu aku dan kakak pulang sekolah untuk bertanya "Bagaimana di sekolah ?"
Aku dan kakak selalu menceritakan semuanya pada mama. Tapi anehnya reaksi mama sama menyebalkannya dengan Rama "Tahu gak istilah benci jadi cinta"
"Apa itu ?" aku meregangkan kaki sambil duduk di sofa
"Istilah yang populer di kalangan mama ketika mama masih SMA dulu"
"Oh"
Cuma begitu reaksiku. Tapi mama masih melanjutkan "Siapa tahu nanti kamu jatuh cinta sama Rama"
"Uek" aku pura-pura muntah saking jijiknya "Istilah macam apa yang mama bawa dari SMA mama" Aku hengkang dan angkat kaki ke kamar. Untuk pertama kalinya mama sama sekali tidak membantuku menyelesaikan masalah.
***
Setiap pagi beberapa guru akan berbaris di depan gerbang kedua untuk menyapa para siswa satu persatu. Itu adalah kebiasaan/aturan di sekolahku. Untuk meleburkan kecanggungan antara murid dan guru, sekaligus sarana para guru BP untuk melihat kerapian kami sebelum masuk ke dalam kelas.
Jujur saja, orang tuaku mampu untuk menyekolahkanku di sekolah swasta tapi mama lebih suka anak-anaknya berbaur. Menurut pendapat mama, sekolah Negri lebih banyak variasi anak-anaknya. Dari yang bengal sampai yang cute sampai yang kerjanya bolos mulu, ada semua. Selain itu mama bilang akan lebih mudah cari Kuliahnya kalau sekolah di SMA Negri.
Aku bercita-cita sekolah di Harvard dan menjadi Hakim Agung seperti teman mama, namanya tante Wuri. Dia pintar banget, aku terinspirasi sama dia.
Aku akan mengepakkan sayapku suatu hari nanti. Menuju cita cita yang mulia.
Aku mengulur nafas, itu adalah hari yang indah, sekolah yang indah dan guru guru yang baik. Aku siap melewati tiga tahuku di SMA BUDI PEKERTI.
Bel motor mengagetkanku, aku lantas lompat ke sisi kiri "KawwwaaaaaT" Teriak Rama.
Aku menghentakkan kakiku. Hari ini buruk sih kayanya. Di awal pagi yang begitu indah moodku udah dirusak anak Badung itu.
Kami diperbolehkan naik kendaraan. Meski Rama belum tujuh belas tahun. Tapi kan gak ada polisi di sekolah. Aku yakin Rama pasti nembak SIM deh. Motornya gede banget. Dia sok-sok-an biar keliatan keren.
Aku menyalami guru satu persatu "Kamu Layla Asmaragia ya ?" tanya seorang guru ber bedak tebal dan berlipstik merah terang. Di name tagnya bertuliskan Srimulayani.
Aku mengangguk membenarkan
"Kamu yang menang kejuaraan Debat Kewargnegaraan itu kan ?" tanyanya dengan menggebu-gebu
Aku mengangguk "Aku juga menang debat bahasa Inggris buk"
"Sombong" kata satu suara gak jauh dariku.
Wah aku sampai pangling liat warna rambutnya udah jadi hitam. Dia keliatan.., lebih baik dengan rambut hitam. Paling gak, gak keliatan lecek.
"Rama..." Bu Sri melihat sepatu Rama "Mana sepatu hitammu ? Siapa suruh pakai sepatu lain sebelah"
"Ih ibu ini memang model sepatunya kaya gini"
"Mana ada pabrik sepatu gila. Masak ngeluarin sepatu lain sebelah ?"
Pak Husain berdiri berkacak pinggang "Pulang sana Rama ganti dulu"
"Pak astaga, sepatu hitamku basah pak. Ibuku terlanjur cuci. Kakiku bauk dong pake sepatu basah pak ?"
"Ganti sepatu dulu Rama" Suara pak Husain rendah dan menakutkan matanya mengancam ke arah Rama.
"Pak...." meski sudah diperingati Rama masih saja membantah
Bu Sri menepuk bahuku "Ketemu di kelas ya"
"Terimakasi bu" Kami harus sering mengucapkan terima kasih, salam dan kata maaf, menurut sekolahku itu adalah sebuah Adab. Selain karena beberapa hal yang kusebutkan sebelumnya alasan ku sekolah disini, karena sekolah ini adalah sekolah yang menjujung Adab dan budi pekerti sebagai Visinya dalam mendidik para siswa.
Aku melihat dari balik bahu, Rama bersikiras menolak pulang mengganti sepatunya yang beda warna. Lagian ada ada aja, kenapa gak nurut aja sih biar cepat. Kenapa mesti nyari gara gara ? Kenapa susah banget ngikutin aturan yang ada ?
Lalu terdengar suara di kepalaku "Sebagaian anak diciptakan untuk membangkang pada aturan"
***
Anak badung itu memang punya pesona, Rama gampang akrab dengan siapa saja dan punya begitu banyak teman. Beda banget sama aku, meski aku sudah tersenyum hampir pada semua kawan sekelasku gak ada yang mau ngajakin aku ke kantin atau main bareng. Memang hanya buku dan soal-soal-lah sahabatku.
Anyway entah kutukan apa bagaimana, aku sekelas sama Rama. Satu tahun kedepan hidupku tidak akan tenang.
Ada beberapa anak yang mendekatiku hanya untuk bertanya "Kamu anaknya Mansur Abraham kan ?" tanya seorang dari mereka, dia bahkan tidak memperkenalkan namanya terlebih dahulu padaku sebelum bertanya soal keluargaku "Kata mamaku, papamu orang nomor satu di Kota ini"
"Emang papanya gubernur apa ?" tanya seorang cewek
"Papanya orang kaya nomor satu lebih kaya dari pada Gubernur. Lo pikir Gubernur kaya apa ? mereka cuma menang nama doang. Kalo yang paling kaya ya pengusaha begok. Uang mereka segebok di puter-puter sampe jadi triliuner"
Aku cuma bisa diam membiarkan mereka berasumsi tentang papaku yang aku tahu tidak gitu-gitu amat. Meski aku punya sopir pribadi dan rumah di kawasan elit Kota, tetap saja terkadang papa susah karena proyeknya gagal atau modalnya gak balik. Itu sering tejadi.
Dan masuklah Rama ke kelas yang sama denganku. Kelas 10.4. Itu kelasku. Aku pikir Rama tersenyum padaku. Baru di sapa pagi ini aku sudah ngerasa GR duluan. Tapi matanya memandang jauh ke belakangku, di mana ada cewek tinggi, cantik berambut panjang lurus dan bergigi putih dan bersenyum indah. Iya dia Tiara.
Rama suka banget sama dia, memang cantik sih.
Aku mengikat rambutku. Dan membuka buku "Ngapain lo buka buku ?"
"Belajar" Jawabku singkat
"Hah kita kan belum mulai belajar kale"
"Ya aku terbiasa belajar lebih dulu sebelum guru menjelaskan di sekolah supaya lebih priper dan mudah memahami. Apalagi matematik dan Fisika yang rada sedikit sulit buatku"
Si cewek geleng-geleng "Gak bisa gue gak bisa !" ujarnya tampak putus asa padaku.
"Hai aku Salman" itu pertama kalinya ada anak kelas 10.4 yang memperkenalkan diri dengan cara sopan padaku "Ini Neti" Di menarik tangan Neti
Neti melambai dengan senyum dipaksakan. Aku cukup mengangguk "Aku Layla" kataku
"Kamu punya lesung pipi" dia menunjuk pipinya sendiri
Aku mengangguk "Dari lahir udah ada, aku gak operasi kok"
"E Salman minggir lo. Gue duduk di situ !" Rama berdiri di sampingku, dia melipat tangannya sombong "Gue harus duduk dekat anak pinter, supaya gue gak kena omel karena rapot gue jelek"
Oh maksudnya mau nyontek gue. Gak akan gue kasi kale, gue kan pelit banget. Kerja sendiri dong.
"Lama lama lo betingkah kaya jadi Raja di kelas ini" omel Salman
"Oke jadi yang namanya kayak raja memang harus lo"
Raja Salman maksudnya, gue langsung kepikiran muka arab karena Salman mukenya pribumi banget gak ada arab-arabnya
"Udah pergi sana ! Selain bisa nyontek sama si kawat gigi gue tinggal nengok kanan bisa ngeliat masa depan gue"
Nengok kanan juga deh gue. Dan gue melihat Tiara.
Salman terkikik tertawa "Coba aja lo kalo sampe bisa jadian gue traktir rokok satu slop"
"Anjing pegang omongan lo !"
Aku menggeleng geleng. Menutup telingaku dengan headshet. Aku suka banget dengerin musik. Tahun lalu papa membelikan aku ipod sebagai hadiah ulang tahun, Ipod itu hampir tidak pernah jauh dariku, selalu kubawa kemana-mana bahkan kamar mandi.
"Eh Lela kawat gigi mahal, lo dengerin apa ?"
Aku denger sih, tapi aku gak mau jawab pura-pura budek aja. Dia menarik satu headshetku
"Lo dengerin apa ?"
Aku melihatnya dengan sebel. Dia menarik hidungku
"Kok muka lo nyolot sih ?"
Aku menjauh "Kenapa lo pegang pegang. IH !" aku ngapusin hidungku, ku gosok sampe najis dari tangan Rama hilang di permukaan kulitku.
"Lo gak jawab, lagi dengerin apa ?"
"Coldplay. Yellow"
That time, i realized he had a charming smile. Ketika dia tersenyum satu taringnya keluar. Bibirnya terangkat membentuk sudut yang ku suka ditepian matanya. Dan senyumnya menular. Aku jadi senyum tanpa alasan.
"Cekep juga selera musik lo. Coba dengerin yang Fixs you deh"
Gak mau keliatan senyumin dia, aku memalingkan wajah, memilih lebih fokus pada bukuku "Belum donwload"
"Ntar gue kirimin"
"Gak usa gue download aja"
"Ya udah..." jawabnya kesel. Dengan jail menarik bukuku dan membalinya menjadi cover di depan "Nyebelin lu kawat !"
"Iseng lo, aneh !"
Dia terkekeh. Aku menyembunyikan bibirku yang membingkai senyum sementara dia keluar dari kelas.