Wejangan Bapak

1610 Kata
Setelah selesai makan siang dengan Kak Puspa dan Celine aku dan Abizar pamit duluan, untuk melanjutkan urusan kami mencari kebutuhan untuk seserahan besok, “Kita duluan, ya, Kak. Makasih, ya, untuk masukannya.” Kak Puspa mengangguk, “Ini makan siang, kalian, kan. Terus, itu, Celine titip bedak, lipstik, sama apa tuh, Lin. Kasih listnya ke Tante Tania.” Celine menyerahkan list belanjaan, kosmetik semua, ke aku, aku menerimanya sambil berpikir, ini anak, ngapain pake nitip segala, kan bisa, setelah pulang dari sini, mereka mampir dulu ke toko kosmetik. Lalu tiba-tiba, anak itu nyeletuk, “Beliin, ya, Tan. Kan Tante mau jadi tantenya aku, ya, itung-itung pedekate, lah.” Sambil ketawa, dia kembali ke handphonenya, Abizar yang menyahuti, “Iya, nanti dibeliin.” Setelah kami pamit, Abizar menyuruhku ke kasir, “Tan, bayarin dulu, ya. Uangku gak cukup kalo buat bayarin makan.” Aku mengangguk, ya sudahlah, itung-itung mentraktir calon Kakak Ipar dan keponakan. Makan kami siang itu habis hampir tiga ratus ribu, aku melihat rincian bon pembayaran, “Rendang lima potong, ayam bakar dua potong, ayam gule dua potong, kerupuk jange lima bungkus, sayur nangka satu porsi, sayur ubi tumbuk dua porsi, nasi lima piring.” Padahal aku hanya makan nasi setengah centong, ayam sepotong, dan sambel. Harus bayar segini, agak gak rela sebenarnya, tapi, ya sudah lah. Toh ini juga untuk calon keluargaku. Kan, keluarga Abizar bakal jadi keluargaku juga. Setelah selesai membeli semua perlengkapan untuk lamaran besok, aku minta ditemani Abizar ke tempat kue langganan Ibu, untuk memastikan pesanan kue buat besok, lalu membayar uang mukanya, “Bi, anterin aku ke Tante Tini, ya. Tempat Ibu biasa pesan kue.” Abizar mengangguk. Setelah selesai dengan urusan kue, aku juga mengantarkan barang-barang lamaran ini ke rumah temanku, untuk dihias. Sekitar jam setengah tujuh malam, urusan lamaran ini beres, kue, cincin, hiasan lamaran, selesai diantarkan. Ketika dalam perjalanan pulang, telepon Abizar berdering, “Udah dibeliin belom, Om, tadi semua titipan gw?” terdengar suara di seberang sana, dan tidak diragukan lagi, pemilik suara itu adalah Celine, keponakan Abizar yang perempuan. Gak pake salam, gak pake halo, hai, terabas aja, ngomong begitu, Abizar pun menjawab pertanyaan keponkakan kesayangannya itu, “Iya, iya, Lin, udah dibeliin semua.” Lalu menutup telepon. “Celine itu, dulu, waktu umur dua bulan, hampir meninggal, karena kena sakit kuning, dan saat itu, dia lagi ada sama aku, di gendong aku, karena ibunya sedang masak. Makanya, sampai sekarang, kalo mau bilang enggak untuk permintaan dia itu, aku kasian. Kamu tolong maklumin, ya, Celine memang begitu.” Aku hanya mengangguk. Dan setelah sampai di rumah, aku langsung turun, dan Abizar langsung pulang, “Aku langsung pulang, ya. Tadi Ibu nitip minta dibeliin sop kepala kakap. Kasian, udah berapa hari ini, napsu makannya berkurang.” Begitu alasan Abizar ketika aku ajak turun. Ya, sudah, aku juga udah capek banget hari ini. Setelah Abizar pulang, aku masuk ke rumah, dan menemukan Ibu yang lagi menangis, aku bisa mendengar isaknya dari pintu masuk tadi. Aku mendekatinya, “Bu, kenapa Ibu nangis? Ibu sakit? Kenapa, Bu?” tidak ada jawaban, Ibu hanya menggeleng, menyusut air matanya, dan melihat ke arahku, “Udah dewasa, ya, Nak, Tania. Ibu sama Bapak udah mau ditinggal nikah aja, gak kerasa, secepat ini.” Aku duduk di sebelah Ibu, aku tau, Ibu merasakan kehilangan, karena memang, selama ini, hidup kami hanya bertiga, Bapak, Ibu, dan aku. Padahal sebenarnya, walaupun aku menikah, toh aku tetap bisa maen ke sini, menginap di sini, “Aku kan gak pergi ke mana-mana, Bu. Aku tetap bisa ke sini, nginep di sini. Memangnya, kalo aku udah nikah, aku gak boleh ke sini lagi, ya?” Ibu menggeleng pelan, “Bukan begitu, kalo kamu udah nikah, fokusmu sekarang adalah ke suamimu, rumah tanggamu, Bapak sama Ibu gak bisa mendadak nyuruh kamu datang dan nginep di sini, harus izin suamimu.” Aku mengusap punggung Ibu, “Kamu udah beneran yakin, Tan, untuk nikah?” tiba-tiba Bapak keluar dari kamar. Aku diam, mencoba memilih kata-kata yang tepat, kedua orang yang aku kasihi ini, sedang bersedih, mungkin merasa kehilangan, aku tidak mau menyakiti mereka berdua. “Insyaallah, yakin, Pak. Abizar adalah lelaki yang aku yakin, bisa untuk menjagaku, bisa membahagiakanku.” Bapak mengusap wajahnya kasar, “Tapi gak tau kenapa, Tan, Bapak sama Ibu, sejak pertama melihat Abizar itu, kok ada kurang sregnya, gitu. Coba kamu pikirkan lagi, Nak. Mumpung masih mau lamaran, jika memang kamu berubah pikiran, atau minimal menunda pernikahan, masih belum terlambat.” Aku lekas menggeleng, “Enggak, Pak, insyaallah aku dan Abizar akan tetap melanjutkan rencana pernikahan kami. Doakan saja, Pak, Bu, biar langkah kami lurus, lancar.” Bapak dan Ibu diam, aku juga diam, tidak mau banyak berbicara, salah berpendapat atau mengungkapkan sesuatu, bisa-bisa kami malah bertengkar. Aku bangun, untuk menuju ke kamar, karena mau mandi, dan beristirahat, jadi aku pamit ke Bapak dan Ibu, “Aku pamit dulu, Pak, Bu, mau mandi dan istirahat, ya.” Ibu mengangguk, “Apa pun keputusanmu, kamu harus bertanggung jawab, ya, Tan. Jangan ada penyesalan di kemudian hari. Bapak gak mau, nanti kamu malah menyesal dengan keputusanmu. Pernikahan itu bukan perkara main-main, pernikahan itu taruhannya seumur hidup. Jangan sampai menyesal.” Aku mengangguk dan berjalan menuju ke kamar. Aku sudah mantap dengan pernikahan ini. Apa pun resikonya nanti, biar aku tanggung. Toh, selama ini juga, apa yang menjadi keputusan, apa yang aku hadapi, semua aku yang menjalani, Bapak dan Ibu menyerahkan semuanya ke aku, mereka tidak pernah ada, ketika aku butuh bantuan, mereka selalu menyerahkan semuanya kepadaku. Iya, benar, itu berarti mereka membebaskanku, menentukan apa yang menurutku baik. Tapi ada kalanya, aku juga butuh pendapat, butuh didengar, butuh masukan, bukan sekedar, “Bapak dan Ibu menyerahkan semuanya ke kamu, Tan. Bapak dan Ibu percaya, kamu bisa mengambil keputusan yang tepat, toh nanti semuanya kamu yang akan merasakan, kamu yang akan menjalankan.” Jadi, kenapa sekarang mereka malah meragukan keputusanku, meragukan pilihanku untuk menikah dengan Abizar. Tidur tadi malam sungguh tidak tenang. Bolak balik bangun, khawatir kesiangan, akhirnya, sekitar jam setengah enam pagi, aku bangun. Sengaja, hari ini aku izin dari kantor, aku izin ke kepala ruanganku dan bilang ada acara di rumah, tanpa menjelaskan secara mendetail ada acara apa. Nanti saja, ini kan masih tunangan, sekiranya sudah dekat ke waktu pernikahan, aku baru akan bicara ke kepala ruangan. Ketika bangun dan keluar dari kamar, aku melihat Ibu sudah sibuk menata meja makan, merapikannya. Ada adik perempuan Ibu yang membantu, dan beberapa tetangga yang memang langsung dimintai bantuan oleh Ibu. “Eh, calon penganten. Hayok, mandi, siap-siap. Makan dulu, bajunya udah disiapkan, belum? Udah rapih?” begitu tanya Bude Yana. Aku mengangguk, “Sudah, Bude. Aku mandi dulu, ya.” Ibu yang melihatku melintas ke arah dapur, menarik tanganku, untuk duduk di meja makan, “Sarapan dulu, baru mandi. Mana bajumu, udah disiapkan? Kue, kemarin katanya jam berapa mau diantar, udah dibayar, kan? Hubungi Dede, cek, apa seserahannya udah dihias, udah selesai apa belum?” aku menarik napas panjang, “Bu, satu persatu nanya nya, bingung aku jawabnya. Baju aku udah aku siapin, udah digantung juga, udah rapi. Kemarin kue udah aku bayar uang mukanya, nanti kalo datang, panggil aku aja, untuk pembayaran pelunasannya, Dede tadi udah aku telepon. Seserahan sebentar lagi selesai, sekitar jam sepuluh udah bisa diambil, aku juga udah bilang sama Abizar, untuk mengambil ke sana jam sepuluh. Aman, Bu, aman. Bapak mana?” aku bertanya, kemana Bapak, kok tidak kelihatan. “Itu, Bapak di belakang, lagi ngopi.” Aku mengambil nasi goreng yang Ibu udah buatkan, dan menyeduh kopi, lalu membawanya ke belakang. Aku melihat Bapak sedang menatap nanar, entah apa yang dipikirikan. “Pak, udah sarapan? Mau nasi goreng, aku ambilkan, ya.” Bapak menggeleng, “Ini, udah ada pisang goreng, Tan. Sini, sarapan sama Bapak.” Aku duduk di sebelahnya, “Dulu, kalo lagi ada acara rame begini, kamu tuh suka banget ngintilin Ibu. Sampe kadang Ibu tuh nyerah dan minta bantuan Bapak buat jagain kamu. Eh, sekarang, anak Bapak sendiri yang punya acara.” Aku menyendokkan nasi goreng dan berhasil nyangkut di tenggorokan. “Meskipun Bapak dan Ibu mungkin selama ini tidak pernah ikut membantumu dalam mengambil keputusan, terkesan acuh sama kamu, atau mungkin kamu berpikir Bapak dan Ibu gak open sama kamu, Tan, tapi percayalah, kasih sayang kami gak perlu kamu ragukan. Maafkan Bapak dan Ibu, ya, Nak, belum bisa menjagamu, belum bisa maksimal dalam memberikan kasih sayang dan perhatian kami. Kalo nanti, kamu disakiti Abizar atau keluarganya, atau ada hal yang mengganjal, datang, Nak, pulang ke sini, ya. Sejauh apa pun kamu pergi, Bapak dan Ibu selalu ada di sini, nunggun kamu untuk pulang.” Akhirnya, aku menyerah, pertahanan yang aku bangun dari tadi, untuk tidak menangis, runtuh, air mata satu per satu jatuh. Entah kenapa, ada sesak yang membuncah. Selama ini, aku selalu menganggap Bapak dan Ibu gak terlalu begitu perduli dengan hidupku. Baru kali ini, aku bicara dari hati ke hati sama Bapak. “Kamu mungkin sudah dewasa, sebentar lagi menikah, dan bahkan mungkin punya anak. Tapi kamu, tetap Tania, anak perempuan kami, anak kami satu-satunya. Jika Abizar berani nyakitin kamu, sampai penghabisan nyawa Bapak, kamu akan Bapak lindungi. Ingat itu, ya, Tan.” Bapak mengusap lembut kepalaku, ada tetesan kebahagiaan yang mengalir mengisi sendi-sendiku. Aku memeluk Bapak, ini pelukan pertama kali, setelah aku dewasa. Aku, Bapak, dan Ibu, bukan orang-orang romantis yang sering meluapkan dan mencurahkan perasaan kami, pelukan, elusan, itu adalah hal yang asing dan jarang kami lakukan. Setelah beberapa saat, akhirnya Bapak melepaskan pelukan kami, “Udah, sarapan dulu. Nanti kesiangan, kamu siap-siap. Belum mandi, kan?” aku mengangguk, menyusut air mataku, dan menyendokkan nasi goreng tadi, “Anyep, nih, Pak. Kena air mata.” Bapak tertawa melihatku, kami tertawa bersama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN